Mohon tunggu...
Lovely Christi Zega
Lovely Christi Zega Mohon Tunggu... Psikolog -

Untuk informasi terkini, terlengkap, dan terpercaya hubungi ketok magic kenalan terbaik anda.... - Pemilik majalah online a-and-o.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cuma Modal Tampang Doang

16 Maret 2016   19:42 Diperbarui: 16 Maret 2016   19:59 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saya beruntung kuliah di luar negeri karena disponsori kakak ipar? Pastinya. Hanya patut diingat bahwa penerimaan mahasiswa di Jerman itu sistemnya melamar. Jadi ada panitia seleksi yang memutuskan apakah kita diterima atau tidak. Melamar kuliah di Jerman bukanlah hal yang mudah. Selain pertimbangan nilai, ada jatah maksimal untuk orang asing di beberapa jurusan. Kebetulan jurusan yang saya tuju memiliki kuota untuk orang asing maksimal sebanyak 10 persen. 

Untungnya, penerimaan mahasiswa di jurusan dan universitas yang saya tuju termasuk banyak dibandingkan universitas lain. Selain itu, penerimaan mahasiswa baru pun dilakukan baik pada semester musim panas maupun semester musim dingin. Namun tunggu dulu, mahasiswa yang diterima pada musim dingin sebanyak 100 orang. Sedangkan mahasiswa yang diterima pada musim panas sebanyak 40 orang. Saya sendiri beruntung dapat diterima pada semester musim panas.

Saya beruntung kuliah di luar negeri karena disponsori kakak ipar? Tentu dong. Hanya patut dicermati bahwa sudah diterima pun ujiannya susah. Kadang memang saya dapat mengikuti ujian dalam bahasa inggris. Meski demikian, sebagian besar ujian harus saya jalani dalam bahasa Jerman. Apakah itu berarti bahwa ujian disini lebih susah karena harus menggunakan bahasa Jerman? Mungkin. Kebetulan saya lulusan S1 dari Indonesia. Nilai S1 dari Indonesialah yang saya gunakan untuk melamar kuliah ke jenjang berikutnya di Jerman. Kalau saya mengatakan bahwa ujian disini lebih susah daripada di Indonesia, itu seakan-akan mengatakan bahwa kualitas pendidikan kita tidak ada yang bermutu. Hal yang ingin saya katakan adalah kualitas pendidikan kita tetap ada yang bermutu. Kembali pada hal ujian, untung saja saya lulus ujian dan akhirnya lulus kuliah.

Saya beruntung kuliah di luar negeri karena disponsori kakak ipar? Masalah buat lo? Hanya patut diketahui bahwa saya mendapat beasiswa ketika sudah di Jerman. Ketika masuk semester satu, kebetulan ada pameran lembaga pemberi beasiswa di universitas. Karena sebagian besar lembaga pemberi beasiswa untuk orang asing mengikuti pameran di luar Jerman, maka dapat dimaklumi jika tidak banyak lembaga peserta pameran yang menyediakan beasiswa untuk orang asing. Saya melamar ke salah satu lembaga dari pihak pemberi beasiswa. Salah satu persyaratan mendapat beasiswa adalah surat rekomendasi.

Untuk mendapat surat ini bukanlah hal mudah bagi saya karena ketika kuliah saya bukanlah mahasiswa yang menonjol. Meski IPK saya diatas tiga, namun tidak ada dosen yang mengenal kemampuan saya sehingga saya harus menulis surat pada dekan agar bersedia memberikan surat rekomendasi bagi saya. 

Namun sayangnya, sang dekan tidak membalas email saya. Hingga suatu hari saya mendapat surat panggilan untuk mengikuti seleksi penerima beasiswa dari lembaga yang saya lamar tsb. Karena saya menerima surat undangan tsb dan ingin berterimakasih pada sang dekan, lewat facebook ternyata dikabarkan bahwa beliau telah berpulang ke hadirat YME karena kanker. Dari situlah saya baru mengetahui bahwa beliau menderita kanker dan tidak sempat membalas email saya. Maka datanglah saya menghadiri wawancara seleksi beasiswa. Pewawancara saya semuanya memiliki gelar doktor (S3). Diantara mereka ada seorang ahli Asia dan ada seorang psikolog.

Jadi bisakah orang sukses karena keberuntungan? Mungkin saja. Hanya perlu diketahui berapa tahapan yang harus dilalui untuk dapat memperoleh yang disebut orang sebagai "sukses" itu. Misalnya Jack Ma. Ia diuntungkan oleh aturan pemerintah negaranya yang melarang sesuatu berbau "asing". Sehingga, negaranya memiliki situs semacam "Facebook" sendiri. Jack Ma mengambil peluang itu dan membuat situs semacam "Amazon" di Cina. 

Untung? Mungkin. Pemerintah Cinalah yang jeli melihat potensi peluang bisnis di negaranya sehingga melarang penggunaan situs asing. Jika saja warga Cina tidak sering bertransaksi lewat internet, dapat dipastikan Jack Ma tidak akan beruntung dan tidak mencapai sukses sebagaimana sekarang. Meski demikian, perlu diketahui apakah tingkat kekayaan pemilik Amazon lebih banyak, setara, atau lebih sedikit dibandingkan Jack Ma. Maksud saya adalah, jika kekayaan setara dengan kesuksesan, maka jika pemilik Amazon lebih "miskin" dibandingkan Jack Ma, maka Jack Ma lebih sukses dibandingkan pemilik Amazon. Namun demikian, saya yakin baik Jeff Bezos, pendiri Amazon, maupun Jack Ma tidak berkompetisi dalam hal kekayaan.

Jadi, masihkah kita perlu melihat kesuksesan yang datangnya secara tiba-tiba? Mungkin saja perlu, namun jika itu hanya membuat pikiran yang bukan-bukan berjalan liar kian-kemari bermanfaatkah? Mungkinkah kita benar-benar tahu proses yang dijalani seseorang untuk sampai ditempat yang kita pandang sebagai "sukses" itu? Jika kita berkomentar panjang-lebar, tinggi-rendah, besar-kecil, dalam-dangkal, berbusa-busa, mengutip tokoh dan teori dari a sampai z, puaskah kita? Pastinya. Tapi apakah hal itu mengubah kenyataan atas kemampuan dsb dari orang tsb? Pastinya kita bukan Tuhan yang dapat mengubah kemampuan orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun