Mohon tunggu...
Aurora Velvet
Aurora Velvet Mohon Tunggu... -

You are what you read and write.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Di Bawah Bendera Revolusi, Idealisme di Mata Kaum Kapitalis

18 Maret 2012   07:55 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:53 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika menyebut judul di atas, perhatian kita sudah pasti langsung tertuju pada sosok salah satu Proklamator Indonesia, Ir. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi adalah buku semi biografi beliau yang berisi tentang kisah hidup dari masa kecil, remaja sampai menjabat sebagai Presiden pertama RI. Buku tersebut juga berisi pemikiran-pemikiran Soekarno, menentang sisa-sisa Imperialisme barat yang masih begitu dekat dalam kehidupan bangsa  setelah dijajah oleh asing selama lebih dari 300 tahun lamanya.

Khasanah ilmu yang sesungguhnya dan sebenarnya sarat oleh pelajaran yang sangat berguna untuk menumbuhkan kembali rasa nasionalisme bangsa Indonesia yang notabene, sangat dipertanyakan belakangan ini.

Pandangan dan pemikiran Soekarno sangat terpengaruh oleh paham Marxisme, terdorong rasa keprihatinannya akan nasib sebagian besar rakyat Indonesia yang adalah kaum proletar dan buruh jajahan asing dan kaum kapitalis. Dalam perjalanannya, banyak lagi pengaruh-pengaruh paham Sosialis dan Komunis (Komunis sebagaimana dikatakannya dalam buku DBR (Di Bawah Bendera Revolusi) merujuk pada Komunis Sosialis yang anti Borjuis), berbuah menjadi paham Marhaenisme yang  memegang dua prinsip, yaitu sosio demokrasi dan sosio nasionalisme. Marhaenisme sendiri di ambil dari nama Marhaen, seorang petani yang dijumpainya saat berada di Bandung.

Buku ini, jika boleh diibaratkan adalah pegangan untuk rakyat Indonesia yang benar-benar ingin membangun sebuah Negara yang mempunyai jati diri, sebagai pengingat bahwa berjuang itu tidak hanya ketika perang saja.

Di Bawah Bendera Revolusi di terbitkan pertama kali pada tahun 1959, dan mengalami beberapa kali cetak di kisaran tahun 1963-1965. Dan saat ini karena kelangkaannya, keberadaan buku hasil buah pikir Presiden pertama RI ini barangkali mungkin anda juga belum sempat membacanya secara langsung. Dalam hal ini saya sedikit beruntung karena almarhum Bapak saya masih sempat menyimpan satu buku tersebut, jilid satu. Dengan sampul kulit warna biru tua dan tulisan tinta emas pada judul luarnya tebalnya sekitar hampir 700 halaman. Koleksi pribadi si Bapak dan sampai kini masih tersimpan di lemari buku beliau.

Saya pertama kali membacanya saat masih SD, tidak mengerti sama sekali isinya karena semua tertulis dalam ejaan lama. Terlintas dalam benak saya, kenapa Bapak sangat gemar membaca buku setebal itu? Apakah gerangan isi buku yang demikian tebalnya?

Karena isi buku yang sempat dilarang beredar oleh pemerintahan Suharto di jaman Orde Baru ini jugalah yang membuat buku ini demikian sulitnya dicari di pasaran, kebanyakan sebatas jadi koleksi pribadi atau inventaris di perpustakaan-perpustakaan. Kelangkaan inilah yang membuat harga buku terbilang sangat mahal untuk ukuran sebuah buku saja, dari segi ini saya memang berani berkata bahwa harga menentukan kualitas.

Kualitas buku tsb, tentu saja, pertanyakan pada diri anda sendiri jika masih tersimpan sedikit saja keinginan untuk membacanya.  Itung-itung untuk menambal nasionalisme yang mulai retak di sana-sini dan serasa musiman. Musim bola, musim kompetisi antar Negara dan musim-musim lainnya.

Di sini juga letak kekecewaan saya terhadap beberapa orang yang dengan sengaja mengkapitalisir kelangkaannya dengan menjual buku-buku ini dengan harga yang gila-gilaan. Memperjuangkan simbol perjuangan seorang pemikir rakyat hanya demi rupiah.

Coba sesekali anda searching atau googling dan ketikkan keywords ‘buku di bawah bendera revolusi’. Percayalah, 80% dari hasil pencarian adalah link ke situs-situs jual beli buku, dan anda akan temukan ratusan orang yang menawarkan buku tersebut dengan harga bervariasi. Buat saya, ini tak ubahnya memperjual belikan tugu monas. Ataukah saya yang berlebihan?

Ironis sekali, ketika buku yang di dalamnya berisi pemikiran seorang tokoh yang meneriakkan anti kapitalisme malah dimanfaatkan oleh individu-individu kapitalis yang bersaing mencari keuntungan dari keadaan. Betapa kecewanya Soekarno andaikan beliau masih bisa bicara saat ini, melihat DBR diperdagangkan seperti itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun