Cerita pendek atau biasa disebut cerpen adalah karya tulisan yang menceritakan kisah fiksi secara pendek dan jelas. Cerita pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan (Priyatni, 2010). Biasanya terdiri dari 1500-3000 kata atau 1-6 halaman. Cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi.
Cerita pendek di Indonesia pertama kali dikenal pada tahun 1936, kumpulan cerita pendek yang berjudul “Teman Doedoek” karya M. Kasim (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2016). Sejak saat itu banyak karya-karya cerita pendek lainnya dari berbagai sastrawan di Indonesia. Salah satu penulis dan ilmuwan sastra Indonesia yang sudah terkenal dengan karya-karyanya yang sangat luar biasa adalah Seno Gumira Ajidarma (SGA). Sastrawan yang lahir di Boston, Amerika Serikat ini mulai masuk ke dunia sastra pada tahun 1975 dengan karya pertama yang berbentuk puisi berjudul “Puisi Lugu” dalam majalah Aktuil dan cerita pendek pertama yang beliau buat berjudul “Sketsa dalam Satu Hari” dalam surat kabar Berita Nasional (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia, 2016). Tidak lupa dengan karya novel beliau yang cukup terkenal yang berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku” (2002). SGA dikenal sebagai penulis yang mengangkat isu sosial dan politik dalam karya-karyanya.
Novel karya SGA yang berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku” menceritakan tentang sepasang kekasih yang saling merindukan. Sang lelaki mengirimkan sepotong senja kepada sang kekasih melalui amplop yang ditutup dengan rapat namun, mengirimkan sepotong senja tidak semudah itu. Novel ini memiliki tiga belas cerita pendek yang dibagi menjadi tiga bagian yaitu, Trilogi Alina, Peselancar Agung, dan Atas Nama Senja. Pada bagian Peselancar Agung terdapat cerita pendek yang berjudul “Rumah Panggung di Tepi Pantai”.
Cerita pendek berjudul “Rumah Panggung di Tepi Pantai” ini berkisah tentang seorang lelaki yang menjalani kehidupan dengan kesendirian dan berbeda dengan orang-orang sekitarnya. Latar belakang cerita ini adalah sebuah rumah panggung di tepi pantai yang menghadap matahari terbenam atau senja dan suara-suara ombak yang terdengar dari laut. Dengan latar waktu sore hingga malam hari. Rumah panggung pada awalnya dibangun dari kayu oleh suku Betawi karena rumah panggung biasanya sangat kokoh, maka sering digunakan di pesisir pantai, tepian sungai, dan rawa untuk mencegah banjir, air pasang, dan bencana sejenisnya. Namun, tidak ada yang membicarakan tentang rumah panggung yang harus membelakangi pantai seperti yang terdapat di cerita pendek tersebut.
Dalam cerita pendek itu terdapat rumah panggung yang terletak diujung menghadap ke arah pantai. Rumah panggung masyarakat sekitar tidak ada yang menghadap ke arah pantai, mereka semua membelakangi pantai dan menghadap ke jalan raya. Karena posisi rumah panggung sang tokoh utama berbeda menjadi pembicaraan tetangga-tetangga yang berkata ‘“Pasti ada alasannya kenapa nenek moyang kita selalu membangun rumah panggung membelakangi pantai, aku sendiri tidak tahu kenapa, kita semua sudah mewarisinya. Sekarang tiba-tiba ada satu orang membangun rumah yang terpisah, memencil di ujung tanjung, menghadap ke pantai pula. Bisakah dibayangkan jika setiap warga kita membangun rumah sembarangan. Akan berbentuk seperti apa kampung kita?”’ (Ajidarma, 2002, p. 81). Dari kutipan dialog tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat setempat masih mempercayai budaya leluhur.
Cerita pendek ini memiliki sudut pandang ketiga karena tokoh utama disebut dengan ‘nama’. lelaki sang pemilik rumah panggung menghadap ke arah pantai dalam cerita pendek “Rumah Panggung di Tepi Pantai” bernama Sukab. Di cerita pendek itu Sukab jarang menampakkan diri melainkan melalui cerita-cerita atau pembicaraan orang-orang disekitarnya. Sukab memiliki sifat atau karaktek pendiam dan tidak bersosialisasi sehingga tetangga-tetangga sering membicarakan atau mengatakan bahwa Sukab itu “gila”. Dalam kisah ini dijelaskan bahwa Sukab menyukai pemandangan yang indah di malam hari dari pintu rumah panggung yang menghadap ke arah pantai. Hal itu dijelaskan pada narasi “Dari rumah panggung di tepi pantai yang pintunya selalu terbuka itu Sukab bersila menghadap ke laut. Segalanya begitu jelas dan begitu jernih. Ditatapnya setiap riak ombak, didengarnya setiap desah buih. Cahaya rembulan seperti menjelaskan segala-galanya. Di bawah rumah panggungnya lidah ombak berkecipak. Perahunya bergoyang menyentuh tiang-tiang.” (Ajidarma, 2002, p. 83).
Kesendirian yang dialami Sukab bukan karena kesepian melainkan menjadi kedamaian untuk dirinya sendiri. Kesendirian adalah situasi dimana seseorang mengurangi diri dari interaksi dengan orang lain. Tetapi tidak merasakan kesepian karena kesepian adalah ketika seseorang merasa bahwa cara bersosialisasi tidak sesuai yang diharapkan. Memahami bahwa kesendirian adalah hal wajar karena menyediri memberikan hal-hal positif seperti, dapat mengendalikan emosi dengan baik, pemikiran positif untuk membantu kelancaran aktivitas, dapat mengerjakan tugas-tugas dengan berkonsentrasi, mengatakan hal-hal baik untuk diri sendiri, tidak mendengarkan omongan orang lain karena kebahagiaan sendiri bukanlah tanggung jawab orang lain atau dari tuntutan orang lain yang menginginkan kita sempurna dan setiap orang dapat memiliki batasan terhadap orang lain yang membuatnya tidak nyaman, Seperti Balu, tetangga Sukab yang selalu membicarakan tentang kehidupannya. Namun, Sukab tidak menghiraukannya ia lebih memilih menikmati malamnya dengan meniup seruling sendirian dan itu membuat orang-orang terdiam, yang dijelaskan melalui narasi “Suara seruling itu dibawa angin sampai ke kampung. Orang-orang terdiam.” (Ajidarma, 2002, p. 84)
Melalui tanggapan Sukab yang menghirukan Balu, sang tetangga. Membantu Sukab untuk melanjutkan kehidupannya dengan damai. Dalam kesendirian kita dapat menemukan kedamaian, mengevaluasi diri, mengarahkan atau menentukan masa depan, meningkatkan rasa percaya diri, memperkuat hubungan dengan orang-orang yang ada dalam hidup kita sehingga lebih bermakna, dan dalam kedamaian dapat meningkatkan kreativitas, dan lebih mendekatkan diri kepada sang pencipta disituasi apapun seperti seseorang yang melihat Sukab sholat di tengah badai ‘“ia tidak mencari ikan, ia tidak mengangkut barang, tapi ia sungguh berani mati mengarungi lautan sendirian. Kami pernah melihat ia sholat di tengah badai. Orang itu gila.”’ (Ajidarma, 2002, p. 88)
Kesendirian Sukab adalah salah satu bentuk sebagai penyembuhan dan bentuk perjuangan karena dalam novel “Sepotong Senja untuk Pacarku” Sukab memberikan sepotong senja kepadan sang kekasih, Alina. Sukab ingin menunjukan senja yang berada di pantai dengan burung terbang serta bebatuan yang berwarna indah. Untuk mengirimkan sepotong senja yang berada di dalam sebuah amplop membutuhkan perjuangan yang sangat sulit. Sukab harus menghadapi polisi yang mengejarnya, menjadi bahan pembicaraan orang-orang sekitar, membangun kapal kecil untuk berlayar di tengah badai. Setelah sepuluh tahun sepotong senja yang dikirim oleh Sukab sampai kepada Alina.
Melihat Sukab yang menyukai kesendirian sebenarnya ada cara untuk menghadapi kesendirian tersebut. Beberapa orang biasanya mengatasi itu dengan melakukan aktivitas diluar ruangan untuk menemukan suasana baru, mengikuti seminar agar mendapatkan ilmu dan relasi, bergabung dengan komunitas yang diminati karena itu salah satu cara untuk kembali bersosialisasi, menjaga hubungan dengan orang-orang yang berarti dalam hidup kita, memelihara hewan adalah salah satu cara terbaik untuk mengatasi kesendirian karena hewan bisa menemani dan bertingkah unik saat kita sedang merasa sendirian.
Tidak semua orang memiliki cara yang sama, Sukab mengatasi kesendirian dengan caranya sendiri menikmati keindahan alam. Melalui pembicaraan Balu dan Bolong, anak kecil yang ditemukan Sukab saat berada di sebuah pulau terpencil. ‘“Sukab memandang senja, memandang bulan purnama, memandang lautan yang terbentang keperakan, mendengar angin, menyimak lolong anjing, dan meniup seruling. Sukab memperhatikan senja yang jingga, senja yang kelabu, maupun senja yang berhujan dengan mendung hitam bergumpal-gumpal. Sukab memperhatikan pasang surut laut, jingking yang berlarian, dan basah pantai yang memantulkan langit. Sukab menyimak saat sebelum gelap, ketika pantai begitu kelabu menjelang malam, hanya menyisakan suara-suara ombak. Tidak semua ombak berdebur, sesekali ombak hanya berdesah, berbisik dan Sukab tidak bisa memberi nama suara air yang meresap ke pasir. Sukab mempelajari suara-suara angin, yang menghembus kencang atau pelahan, yang mengirimkan salam dan membangkitkan kenangan. Sukab menceritakan kembali riwayat yang dibawa ombak dan angin dari balik cakrawala.”’ (Ajidarma, 2002, p. 86) dialog itu menggambarkan bagaimana Sukab mengatasi kesendirian.