Mohon tunggu...
Endah Sr
Endah Sr Mohon Tunggu... -

senang membaca, menulis, denger musik. ibu dari si kembar lintang & wahyu. twitter @twinstimur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Dongeng Kini, Masih Jadi Pengantar Tidur?

31 Desember 2012   06:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:45 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dongeng menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan Balai Bahasa berarti cerita yang tidak benar-benar terjadi (terutama tentang kejadian zaman dulu yang aneh-aneh). Berarti boleh diartikan juga kisah fiksi & imajinatif. Jadi jika buku yang saya bacakan buat si kembar masuk kategori buku fiksi anak, bisa dong saya dibilang tengah mendongeng buat mereka meski tidak memakai mantra ajaib “pada suatu hari…” atau “sawijining dino….”

Mendengar kata dongeng selalu melambungkan ingatan ke masa kecil dulu, ketika sebelum tidur bisa berdekat-dekat dengan Ibu, kadang Nenek, mereka kutagih untuk bercerita walau lebih sering menolak dengan alasan ini itu (hampir sama denganku kini). Yang paling kuingat adalah kisah Kancil Nyolong Timun (kisah yang gak keren tapi tertanam kuat). Selain dari sisi cerita yang memang meliarkan imajinasi, setelah kurenung-renung yang lebih kusukai hingga menagih Ibu atau Nenek untuk mendongeng adalah momen kedekatan-hangat itu (bisa sambil memeluk dan membaui aroma tubuh) dan lebih ke perasaan ditemani.

Jika ada yang bilang dongeng bisa jadi media untuk pendidikan karakter anak lho, saya sepakat. Kisah-kisah tentang nabi, fabel, kisah keseharian dengan bumbu gelak tawa seru, yang secara tidak langsung menyampaikan nilai-nilai baik buruk saya rasai berdampak juga bagi pedalaman saya di masa kini. Selain dari pencerapan pribadi, juga terbukti dari pengalaman orang lain juga. Kak Wees Ibnoe Sayy (dalam buku Dongeng Dari Verbal ke Visual, Taman Budaya Yogyakarta, Desember 2006) misalnya, berawal dari ketidaksengajaanmendongeng dia akhirnya tahu secara tak sengaja juga bahwa apa yang dia tuturkan lewat dongeng berdampak baik bagi sekelompok anak yang sering mendengarkan dongengnya seminggu sekali di rumah kontrakannya dulu.

Menurut pengalaman Paman Gery yang hampir setiap hari mendongeng di radio, “Ada orang tua yang menyampaikan rasa terima kasihnya karena putranya yang berkebutuhan khusus ternyata bisa berinteraksi secara audio dengan cerita dan suara saya. Buat mereka ini menjadi semacam pembuka hati, jangan pernah remehkan dunia mendongeng sebagai metode terapi ramah anak.”

Anda juga barangkali sepakat dampak baik bagi anak dari mendengarkan dongeng. Namun sayangnya, entah kenapa kita (kok kita, hehe… saya ding!) lebih sering absen mendongeng untuk anak. Saya tidak merasa bisa mengarang kisah verbal seketika, tak juga seekspresif pemain teater, maka kemudian memilih membacakan buku saja (sekedar olah vokal dan intonasi sih sanggup sayaaa J).

Maka ketika ada acara mendongeng untuk anak diselenggarakan saya gembira menyambut. Tatkala menemani anak mendengarkan dongeng yang dituturkan pendongeng di hadapan sekelompok anak, saya yang sudah bukan anak-anak lagi ini juga turut hanyut dan ikut menikmati, merasai senang hingga otomatis ikut senyum dari hati. Berterima kasih pula karena ada para pendongeng yang jumlahnya tak banyak ini ternyata bisa mengisi ruang kosong bolong yang semestinya jadi peran saya juga sebagai Ibu.

[caption id="attachment_232439" align="alignright" width="599" caption="Dongeng Paman Gery di Jogja National Museum"][/caption] Dongeng ala Pendongeng Senior

Pendongeng adalah penutur dongeng. Untuk tampil memukau melambungkan imajinasi audiens tentu perlu ketrampilan yang terus menerus diasah. Seiring perkembangan waktu, kegiatan mendongeng yang dilakukan oleh para gerilyawan dongeng ini selain mengandalkan kemampuan olah vokal, intonasi, karakter suara, penghayatan dari hati, alias si pendongeng itu sendiri sebagai media utama juga menyertakan media bantu.

Misalnya mereka menyiapkan properti yang bisa membuat penyimak sekaligus menjadi partisipan, mahkota untuk raja dan ratu, kain yang bisa berubah menjadi ombak bergulung-gulung dalam imajinasi audiens, boneka seperti yang dipilih teman-teman Papermoon di Jogja, bahkan sampai ke audio visual sebagai media yang diakrabi anak-anak jaman ini seperti yang dilakukan Paman Gery.

Salah satu pentas dongeng yang baru saja saya ikuti bersama anak-anak pertengahan Desember 2012 ini adalah Dongeng Paman Gery (Gery Puraatmadja) di Jogja National Museum dengan audiens anak-anak usia SD. Waktu setengah jam lebih sungguh tak terasa berlalu. Kisah fiksi tentang raja, ratu, dan pangeran di suatu negeri, berkelindan manis dengan tokoh binatang.

Menyesuaikan dengan usia audiens yang mayoritas baru kelas 1 atau 2 SD, materi yang diselipkan dalam kisah itu adalah hal-hal yang sudah diakrabi semisal aneka rasa di dapur istana, atau bagaimana ya suara-suara binatang di dalam hutan. Sesuai dengan bidang kerja yang digelutinya sebagai broadcaster di Female Radio, maka Paman Gery mengemas dongengnya dengan dukungan audio yang sudah dirancang urut sesuai plot dan emosi cerita.

Partisipasi aktif anak-anak juga sedari awal sudah disulut melalui lagu, gerak, kesepakatan, tawaran siapa mau jadi Raja? Ratu? Lebah? Hingga pesan yang dititipkan melalui karakter Pangeran supaya anak-anak tidak meniru perilaku yang kurang bagus benar-benar meluncur dibarengi antusiasme anak-anak. Hoho, tak semudah kelihatannya dan perlu jam terbang yang lumayan.

Benar saja, ternyata Paman Gery mengawali kegiatan mendongeng sejak tahun 1991. Belajar secara otodidak, pertama kali diajak mendongeng oleh Ibu Debra Yatim dan dalam perjalanan mendongeng secara tidak langsung belajar dari sosok Gatot Sunyoto.

Beberapa pendongeng terpanggil menekuni bidang dongeng kerap kali terpicu dari pengalaman masa kecil. Paman Gery misalnya, ketika kecil pernah mendapatkan pengalaman yang menyenangkan lewat dongeng dari Bapak & Ibu Kasur. Ria Papermoon yang sudah jalan-jalan ke luar negeri bersama perangkat teater boneka-nya, tertarik dengan dongeng berkat Kepala Sekolah SD-nya yang sering mendongeng di depan kelas mengisi jam kosong, juga dari Ayah, Eyang Putri, dan almarhum Kakak pertamanya.

Manfaat Dongeng bagi Pendongeng

Manfaat dongeng bagi anak sudah jelas, tapi ternyata bagi pendongeng sendiri juga ada. Tidak melulu soal duit, banyak yang rela mendongeng gratis tanpa ditumpangi pesan sponsor.

“Pengalaman yang saya dapatkan dari mendongeng bukan hanya asyik, tapi justru menjadi pembuka akal pikiran saya. Berinteraksi dengan anak-anak berarti berinteraksi dengan dunia kepolosan, kejujuran, keceriaan. Sebagai orang dewasa kita kadang lupa bahwa pernah memiliki komponen-komponen itu dalam hidup kita. Saya diingatkan kembali dan melihat diri saya dalam diri anak-anak.” Itu versi Paman Gery.

Ternyata ada juga saat-saat tak terlupakan bagi pendongeng. Paman Gery berbagi kisah, pernah mendongeng di sebuah RS Kanker di bagian anak-anak, rata-rata pasien sudah dalam fase stadium akut. Mendengarkan dongeng dengan botol infusnya, ada yang datang dengan lubang pelepasan yang mengalirkan nanah dan darah, ada yang terbaring di ranjang dengan paras kesakitan.

“Tapi tetap saya bisa lihat sekelebat cahaya senang di mata mereka. Saya mendongeng dengan paras lucu dan selalu tersenyum walau hati saya hancur melihat kondisi mereka. Cahaya di mata mereka itu merupakan berkah dan petunjuk luar biasa buat saya, hingga beberapa hari kemudian saya dengar kabar kematian mereka satu persatu. Terima kasih Tuhan, aku mendapatkan kesempatan memeluk jiwa mereka sebelum Engkau merangkul mereka dalam kasih-Mu….” (dikutip dari email Paman Gery).

Buat Kak Wees, momen yang membuat gembira bahkan terharu adalah ketika mendengar pengakuan seorang Ibu yang ingin berterima kasih karena sejak ikut mendengarkan dongeng cucunya bisa mandi sendiri, pakai baju sendiri, makan selalu habis, bila mau pergi main selalu pamit, dan jika mau berangkat sekolah selalu cium tangan (dikutip dari buku Dongeng Dari Verbal ke Visual, Taman Budaya Yogyakarta, Desember 2006).

Epilog

Saya pribadi terbantu dan bersyukur, dengan adanya orang-orang yang terpanggil untuk mendongeng dengan sepenuh hati dan menggunakan dongeng untuk menyampaikan pengetahuan, sejarah, nilai-nilai dan apapun kepada anak-anak. Namun tetap saja, menyerahkan kekosongan hubungan batin dan kedekat-hangatan komunikasi yang bisa dijalin melalui obrolan sebelum tidur bersama anak hanya kepada para gerilyawan-dongeng ini sama dengan melimpahkan tanggung jawab pengasuhan anak melulu kepada pengasuhnya. Alangkah meruginya kita.

Mengutip Kak Wees lagi, “Mendongeng sebetulnya bisa menjadi salah satu alternatif untuk menghangatkan hubungan batin antar manusia. Jika setiap rumah penghuninya merasa nyaman karena batinnya dekat, komunikasi jelas, dan terhindar dari salah paham, maka kemudian suatu RT akan menjadi guyub dan selanjutnya sampai ke tingkat RW, kelurahan, kecamatan, kabupaten, bahkan bisa jadi negara.”

Jadi… agendakan waktu untuk mendongeng buat anak kita yuuuk!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun