Oleh: Vega Ma'arijil Ula
Pulau Bali atau yang juga dikenal sebagai Pulau Dewata ini telah memiliki keindahan alam yang tak diragukan lagi. Pesona pulau ini telah menjadi daya tarik tersendiri baik bagi wisatawan domestik maupun wisatawan luar negeri.
Bali sendiri ramai dikunjungi setiap musim liburan. Tak jarang penerbangan dari Bandar Udara Internasional I Gusti Ngurah Rai ramai wisatawan dan bahkan dalam sekejap tiket penerbangan ke bandara tersebut ludes karena habis terjual.
Pariwisata Bali dirasa mumpuni memenuhi keinginan wisatawan yang ingin melepas penat dari kesibukan sehari-hari mereka. Fasilitas seperti penginapan dan hotel, berbagai pusat perbelanjaan, beberapa tempat rekreasi, cafe dan bar, serta sarana fasilitas olahraga seperti Bungy jumping, Water boom, Banana boat, Surfing, Snorkeling, Diving, Parasailing, Jet ski, Water Ski, Flying fish dan Flyboarding dirasa sangat cukup memenuhi hasrat liburan para, wisatawan di Pulau Dewata.
Sebuah situasi yang tak perlu diragukan lagi. Bahkan Situs penyedia informasi tentang turisme yang berbasis di Amerika Serikat yakni TripAdvisor turut memberikan penghargaan "The World's Best Destination" kepada Bali di ajang TripAdvisor Travellers' Choice Award 2017 tahun lalu.
Sebelumnya di tahun 2016, TripAdvisor juga pernah memberikan penghargaan kepada Pulau Bali yaitu posisi ke 5 dari Top 10 Islands in the World atau lebih spesifiknya Pulau Bali meraih posisi 1 Â dari Top 10 Islands in the Asia. Bali juga meraih predikat pulau wisata terbaik kedua di dunia pada tahun 2015 setelah Kepulauan Galapagos di Ekuador, versi majalah Travel and Leisure.
Masih dengan majalah yang sama, Bali juga pernah menjadi tiga besar pulau wisata terbaik dunia. Tak hanya itu, Majalah Travel+Pleasure turut menyematkan Bali sebagai top 5 best honeymoon di tahun 2016.
Berbagai penghargaan yang diraih Pulau Bali tentu menjadi tantangan tersendiri bagi seluruh stakeholder. Baru-baru ini beredar maraknya sampah plastik yang menghiasi wajah Pulau Bali. Sampah plastik masih menjadi masalah tahunan di Pulau Bali. Mayoritas sampah berasal dari oknum wisatawan yang berkunjung ke Pulau Bali.
Dalam sehari, Indonesia memproduksi sekitar 130.00 ton yang terdiri dari sampah plastik dan sampah padat. Dengan alokasi rincian setengah dari jumlah tersebut mendarat di lokasi pembuangan sampah, demikian menurut Yayasan Rivers, Oceans, Lakes and Ecology di Bali. Sementara sisanya dibakar atau diibuang ke sungai atau ke laut. Sebuah situasi yang tentunya sangat miris dan tak patut dibanggakan.
Meski hal ini telah sampai ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, kebijakan pemerintah setempat patut dipertanyakan, ditambah lagi kesadaran warga akan budaya membuang sampah di sembarang tempat juga harus mendapatkan teguran yang tegas.
Hal ini turut menjadikan Negara Indonesia sebagai negara pencemar plastik terbesar kedua setelah Cina. Situasi yang sangat ironis mengingat Bali menyabet beragam penghargaan setiap tahunnya.
Merasa terpanggil, Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Udayana mengambil inisiatif untuk meneliti sampah tersebut, hasilnya adalah 45% jenis sampah yang ada yakni sampah plastik 'lunak' atau soft plastic . Kemudian plastik keras atau hard plastics sebanyak 15%. Sisanya merupakan karet, kayu, busa, baju, gelas, dan barang lainnya.
Dari sampah plastik itu, terbanyak adalah plastik kemasan makanan dengan persentase 40% kemudian sedotan sebanyak 17% dan plastik kresek 15%. Banyaknya plastik juga merambah area vital yang juga menjadi destinasi wisata yaitu pantai Serangan, pantai Kedonganan, pantai Kuta dan pantai Legian.
Situasi ini bisa menjadi parah mengingat plastik yang berada di laut akan menjadi mikroplastik yang tentunya akan menjadi masalah bagi biota laut.
Mikroplastik sendiri berukuran sangat kecil yakni kurang dari lima milimeter. Tentu hal ini merugikan biota laut didalamnya. Penyu misalnya, Penyu tidak mempunyai kemampuan membedakan antara ubur-ubur yang notabene memang makanannya dengan mikroplastik yang jelas bukan makanannya.
Akibatnya, saluran pencernaan penyu akan kacau karena usus terobek oleh mikroplastik tersebut dan penyu terancam mati. Tidak hanya itu, apabila mikroplastik masuk ke otak penyu tentu dapat mengakibatkan tumor. Jika ingin berbicara lebih jauh, mikroplastik juga berpotensi merusak rantai makanan.
Kita ambil contoh plankton yang memakan mikroplastik. Kemudian plankton tersebut akan dimakan oleh ikan-ikan kecil yang dalam hal ini juga menelan mikroplastik tersebut. Ikan-ikan kecil tersebut selanjutnya akan menjadi mangsa ikan besar yang pada akhirnya juga mengonsumsi mikroplastik tersebut. Fatalnya, ikan besar tersebut nantinya juga akan kita konsumsi. Sebuah rentetan dampak negatif akibat mikroplastik.
Tentu masih ada asa guna menanggulangi sampah plastik yaitu dengan cara memasang perangkap sampah dengan harapan memberi batas agar sampah tidak masuk ke laut. Kemudian juga dapat diatasi dengan cara menaikkan pajak hotel dan restoran dengan harapan meminimalisir penggunaan sampah plastik.
Selanjutnya dengan cara mewajibkan satu rumah satu tong sampah dan ditambah lagi dengan mendekatkan tempat pengolahan sampah dengan pemukiman penduduk. Hal ini guna mengurangi terbuangnya sampah ke suran air ataupun ke laut. Jangka panjangnya adalah merubah pola perilaku masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya.
Semua ini semata-mata untuk masyarakat Bali sendiri dan untuk nama Indonesia yang lebih baik kedepannya. Kita tentu malu jika pulau Bali dengan segudang prestasi dan potensi wisata justru dirusak oleh pribadi kurang terpuji dengan membuang sampah plastik di sembarang tempat.
Terakhir, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat harus bekerjasama menyelesaikan masalah sampah plastik di Pulau Bali agar penghargaan yang diterima benar-benar setara dengan situasi nyata yang ada dilapangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H