Mohon tunggu...
VEGA MA'ARIJIL ULA
VEGA MA'ARIJIL ULA Mohon Tunggu... KARYAWAN SWASTA -

Alumni Universitas Negeri Semarang. Hobi membaca koran, menulis dan bermain futsal. Penggemar tim sepakbola Arsenal FC. vegaensiklopedia10@gmail.com vegaensiklopedia10.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Menimbang Acara Televisi Indonesia

16 Maret 2018   22:42 Diperbarui: 16 Maret 2018   22:59 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Vega Ma'arijil Ula

Media menjadi penyambung informasi bagi masyarakat. Hal ini semata-mata karena media merupakan perantara sebagai sumber informasi dan hiburan bagi khalayak ramai. Didalam media itu sendiri, utamanya media televisi terkandung konten yang nantinya dikonsumsi oleh masyarakat. Tentu konten tersebut memiliki dua nilai yang tak lain adalah nilai positif dan nlai negatif. 

Apalagi televisi diminati hampir 94% penduduk Indonesia. Akan menjadi bermanfaat apabila konten tersebut bermuatan nilai-nilai positif, tetapi bagaimana jika konten tersebut berisikan nilai-nilai yang tidak layak untuk dikonsumsi terutama bagi anak-anak yang sedang dalam masa mencari jati diri serta terbilang masih rentan dengan lingkungan sekitar. Tentu hal itu  menjadi persoalan bagi kita semua.

Akhir-akhir ini sering kita menjumpai tayangan televisi yang sebenarnya tidak layak untuk ditonton, terutama bagi anak-anak. Tayangan televisi yang mempertontonkan adegan perkelahian, adegan geng-geng brutal, adegan berpacaran, adegan ciuman, dan adegan balas dendam tentu bukanlah hal yang patut untuk dilihat oleh anak-anak. Pasalnya, usia anak yang terbilang berada di umur 15 tahun hingga 20 tahun terbilang masih rentan dan rawan untuk meniru adegan tersebut. 

Dampaknya, tentu akan merugikan diri sendiri dan tentunya orang lain. Bayangkan jika anak-anak tersebut ikut-ikutan masuk kedalam geng motor yang suka melakukan aksi anarkis seperti mencuri di toko-toko, mengganggu pengendara lain, dan melakukan aksi kebut-kebutan dijalanan, tentu hal ini akan sangat mengganggu masyarakat dan tentu merugikan masa depan anak-anak tersebut. 

Kita tentu tidak menginginkan anak-anak yang seharusnya meraih prestasi justru berakhir masuk bui. Sudah banyak kasus yang terjadi dengan motif yang sama. Oleh karenanya masalah ini menjadi persoalan kita bersama.

Sebenarnya KPI telah berusaha untuk melarang tayangan berbau kekerasan tersebut. Namun nyatanya sinetron tersebut masih tayang. Dengan statistik angka yang menunjukkan jumlah jam yang dihabiskan anak-anak untuk untuk menonton televisi yang mencapai 30-35 jam per minggu tentu KPI harus bekerja lebih maksimal lagi guna menekan statistik tersebut agar berkurang. 

Konten yang terbilang tidak mendidik apabila dikonsumsi dengan jumlah yang begitu besar akan memberikan dampak buruk bagi karakter anak. Dalam hal ini kita masih sebatas membicarakan tayangan sinetron pada televisi, belum termasuk tayangan lain seperti drama rumah tangga yang kebanyakan berisi konten pelakor dan perebutan warisan. Belum lagi acara talkshow yang menggali kehidupan pribadi, atau acara talkshow yang rentan dengan aksi bully mem-bully walaupun dengan dalih sebatas candaan. Situasinya seharusnya tidak dapat seperti itu. 

Tayangan televisi seharusnya memberikan edukasi kepada penontonnya apalagi kebanyakan penggemar televisi adalah anak-anak. Stasiun televisi boleh mengejar rating karena memang dengan tingginya rating, akan banyak pemasukan untuk stasiun televisi tersebut melalui iklan yang berdatangan dan memang fungsi media adalah memberikan informasi, kontrol sosial, dan sarana hiburan. Tetapi tentu harus mempedulikan asupan edukasi kepada penonton, dalam hal ini adalah anak-anak.

Terlebih acara-acara seperti sinetron dan talkshow selalu tayang di "prime time" yang tak lain berada di pukul lima sore hingga sepuluh malam. Di rentang jam-jam tersebut seharusnya anak melakukan aktivitas belajar, mengerjakan PR dan beristirahat. Faktanya, hal tersebut tidak terjadi. Mayoritas lebih menjatuhkan pilihan untuk menonton televisi. 

Oleh karenanya, KPI harus lebih aktif untuk melakukan pengawasan seperti menarik tayangan yang tidak layak untuk ditonton secara tegas dan tidak memberikan izin tayang kembali. Angka berbicara bahwa sebanyak 954 responden, 92% responden merasa bahwa kebijakan sensor di televisi yang telah berlaku saat ini tidak memadai, dengan alasan masih banyak yang tidak tepat. 

Hal ini cukup beralasan mengingat acara-acara yang kurang mendidik itu masih saja menghiasi layar kaca hingga saat ini. Memang, KPI tidak bisa bertindak sebelum acara tayang, karena tugasnya memang sebatas mengawasi siaran televisi, dengan kata lain KPI baru bisa bertindak setelah siaran televisi tersebut tayang.

Oleh karenanya, KPI tidak dapat bertugas seorang diri. Disinilah peran Lembaga Sensor Film (LSF) untuk turut serta menjalankan tugasnya. Tak hanya KPI dan LSF melainkan televisi juga dapat berperan aktif dengan cara melakukan "self censorship" melalui kebijakan internal masing-masing televisi. Selanjutnya, tiap-tiap televisi dapat menanyangkan iklan layanan masyarakat yang ditujukan kepada orang tua agara mendampingi putra-putrinya saat menonton televisi. 

Berdasarkan pengamatan saya, sejauh ini baru TVRI yang konsisten menayangkan iklan layanan masyarakat yang berisi himbauan kepada orang tua untuk mendampingi anak-anaknya. Beberapa minggu ini Trans TV mulai mengikuti. Namun perlu diketahui bahwa persoalan ini tiidak cukup hanya dilakukan oleh satu atau dua stasiun semata melainkan harus seluruh stasiun televisi agar pesan yang disampaikan benar-benar serentak dan sampai kepada publik.

Terakhir, acara untuk anak-anak setiap hari Minggu atau hari libur sudah saatnya dikembalikan seperti dahulu. Memberikan porsi tayangan dengan jumlah besar akan mengurangi peluang anak untuk menonton siaran televisi yang ber-konten negatif. Peran orangtua juga harus menjadi garda terdepan didalam menemani dan membimbing putra-putrinya. 

Harapannya tentu agar masa depan anak tetap berada pada jalur yang semestinya. Karena generasi bangsa ini tentu bergantung kepada generasi penerus kita yang memiliki karakter positif.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun