Mohon tunggu...
Fitriyah Fitriyah
Fitriyah Fitriyah Mohon Tunggu... -

still learning :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sun Flower

12 Juni 2011   15:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Malamnya, Rama tampak murung menghadap jendela kamarnya. Ia menatap sayu rembulan purnama yang tampak rapuh. Rama merasa seluruh badannya melemah mengingat cerita Annisa siang tadi.

“Rama tahu tidak? Aku sangat marah saat Fahrudin mulai memegang tanganku, menyentuhku, lalu menjamah sekujur badanku. Beruntung sekali, di sampingku ada sebilah pisau yang baru saja kupakai untuk mengupas apel. Aku menusuk perutnya agar nafas mesumnya terputus. Kusayat tangannya agar ia tidak mampu menjamahku lagi. Kutusuk matanya agar ia tidak mampu menatapku lagi dengan tatapan penuh nafsu. Kulukai kemaluannya agar ia bertambah malu dan takkan mampu lagi merenggut kehormatan kaum wanita. Aris dan Danang mengalami nasib serupa. Aku takut melakukannya, tapi aku bahagia. Aku benar-benar merasa merdeka setelah melakukannya. Oiya, kumohon Matahari jangan merasa takut. Karena aku sayang Matahari. Sangat!” tutur Annisa sambil berlinang air mata namun berusaha untuk tetap tersenyum.

“Astaghfirullah, Annisa... “ bisik Rama sambil tetap memandang rembulan. Resah hatinya semakin menjadi saat senyum manis Annisa siang tadi menghiasi pikirannya.

***

Tiga bulan kemudian... Rama berjalan tegap menyusuri jalan setapak yang bersih. Di tangannya tampak seikat bunga matahari dengan pita berwarna hijau segar. Senyum tulus menghiasi garis wajahnya yang tegas. Rama memungut daun-daun kering yang mengotori pusara sederhana itu. Kemudian, ia meletakkan bunga matahari di atasnya.

Usai mengucap doa, Rama berucap,” Kau masih ingat, Annisa? Kau pernah mengirim pesan padaku. Katamu, ‘Sometimes, I am scared and feel so lonely although there are many people around me. But, I feel the same when there is no one beside me.’ Tak perlu takut, Nisa. Bukankah kau juga pernah berkata dalam puisimu bahwa matahari itu hangat meski jauh? Aku mencintaimu, Annisa! Sangat.” Annisa dihukum mati. Namun, cintanya buat Matahari tidak akan pernah mati.

Angin bertiup lembut. Matahari bersinar cerah menghangatkan. Rama tersenyum manis, bahkan terlampau manis.

***

Bunuh Diri

Aku menghukum diri dalam penjara pikiranku Diiring terror dalam mimpi Berkhayal matahari datang menghampiri Lantas hidup dalam kematianku...

Harusnya aku yang melihatnya terbit dan tenggelam Bukannya dia menyaksikan aku Berakhir seperti ini

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun