Mohon tunggu...
Fitriyah Fitriyah
Fitriyah Fitriyah Mohon Tunggu... -

still learning :D

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sun Flower

12 Juni 2011   15:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

*** Jika harapan yang selama ini tumbuh subur di hatinya ternyata hanyalah obsesi, berarti hidup Annisa hancur olehnya. Namun, jika harapan yang terus ia pelihara memang benar-benar kunci kebahagiaannya, perjuangan Annisa untuk terus mempertahankannya tidaklah sia-sia.

*** Malam ini Annisa tertidur dalam duduknya. Usai matanya terpejam, sampailah ia di sebuah taman luas lagi penuh dengan kilauan bunga matahari yang tertimpa sinar dari langit.

Annisa tampak lelah. Ia memilih duduk di bawah naungan setangkai bunga matahari yang tampak begitu besar dan indah.

Annisa dan sang bunga matahari pun bercakap-cakap. “Mengapa kau melakukan semua itu?” tanya sang bunga. “Apa, apa yang telah kulakukan?” Annisa balik bertanya. “Membunuh para lelaki itu,” jawab sang bunga tanpa ekspresi. “Dengan membunuh mereka aku terbebas dari jeratan tali yang begitu menyakitkan,” jawab Annisa sambil tersenyum simpul. “Mengapa harus mereka yang yang kau bunuh?” sang bunga berbisik pelahan. “Karena mereka membangkitkan keberanianku untuk membunuh,” tutur Annisa jauh lebih pelahan, “Membunuh rasa sakitku.” “Ternyata ramalan itu benar. Kau masih ingat? Seorang temanmu pernah meramalmu. Dia melihat di garis tanganmu ada potensi untuk membunuh,” kata sang Bunga sambil membuka telapak tangan Annisa. “Ya, aku belum lupa,” ucap Annisa lirih.

Tiba-tiba semua bunga matahari yang ada menatap Annisa dengan tajam lalu menghujatnya dengan teriakan yang memekakkan telinganya. “Mengapa kau membiarkan ramalan itu terjadi? Kau seorang pembunuh!”

“Kau tidak berhak menghakimiku! Jika aku tidak membunuh mereka, kehormatanku yang akan terbunuh!” teriak Annisa. “Harusnya, kau tidak membunuh mereka. Kau sakit, Annisa! Kamu sakit!” para bunga berteriak kembali. “Tidak, aku tidak sakit! Apa yang kulakukan itu benar!” Annisa berupaya mengalahkan suara para bunga. “Kamu pembunuh, Annisa!!! Pembunuh! Pembunuh...!” Suara teriakan itu memenuhi kepala Annisa. Annisa merasakan sekujur tubuhnya seolah terbakar. Panas.

***

Saat terbangun, Annisa mendapati dirinya berada dalam ruangan yang jauh lebih bersih dan hangat. Ia terbaring di atas dipan yang empuk dengan selang infus tampak tertanam di pergelangan tangannya yang kurus. Sebuah selimut berwarna hijau menghangatkan badannya.

Annisa tertegun memandang sesosok lelaki yang duduk menghadap jendela, menatap sinar matahari yang ikut serta menghangatkan.

Lambat laun, Annisa mengenalinya. Tegap meski tidak begitu tinggi. Matahari. “Kau sudah bangun, Nisa?” tanya laki-laki itu setelah menyadari Annisa telah terbangun. “Tak kusangka, kau akan menjengukku, Matahari...,” bisik Annisa, “Aku senang sekali.” “Jangan memanggilku seperti itu. Panggilah aku dengan namaku,” jawab Sang Matahari. “Terimakasih, Matahari. Aku sangat mencintaimu. Sungguh,” ucap Annisa sambil memandang punggung Matahari. “Nisa, tak seharusnya kau membunuh mereka,” ucap Sang Matahari sambil tersenyum, “Caramu menghabisi mereka benar-benar sadis.” “Aku tahu, Matahari. Bukankah aku pernah bercerita kepadamu tentang tekadku untuk membunuh siapa saja yang berani mengusik kehormatanku, yang berani merendahkanku, yang berani membuatku merasa tidak berharga lagi sebagai manusia?” ucap Annisa getir. “Mereka mati dengan sangat mengenaskan, Annisa. Terpotong-potong seperti ayam yang siap kau masak,” ucap Matahari sedih. Sesaat mereka hanya terdiam, sementara sinar matahari semakin tinggi dan panas, hingga akhirnya Rama, Sang Matahari, berbisik pelahan, “Aku mencintaimu, Annisa! Sungguh. Namun, aku sama sekali tidak mencintai pembunuh.” Annisa menangis.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun