Mohon tunggu...
veeda al-Fauztina
veeda al-Fauztina Mohon Tunggu... -

aku suka membaca aku suka belajar bagiku hidup terasa mudah dengan selalu membaca dan selalu belajar....

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Korupsinya Sang “Guru”

6 Juni 2013   15:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:27 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Halo Sobat, kali ini saya akan berbicara tentang profesi akhlak seorang guru. Beberapa hari yang lalu ada bazaar buku di depan Perpustakaan Daerah kami. Buku - bukunya bagus dan harganya terjangkau. Saya dan salah seorang penanggungjawab perpustakaan di tempat kami bekerja membeli buku dengan jumlah yang lumayan banyak., biasa, untuk persiapan tahun ajaran baru.

Selang tiga hari kemudian, saya datang dengan patner saya mengajar, kami beli buku untuk walimurid yang selama ini aktif menulis tanggapan di buku komunikasi, dengan uang kami sendiri karena sekolah tidak ada program atau anggaran seperti itu. Waktu itu ada dua orang ibu guru, bajunya coklat - coklat yang juga sedang membeli beberapa buku. Katanya begini kepada sang penjual buku: "Mas, ini ditulis di nota, trus saya minta nota kosong yang ada tanda tangannya sampeyan,trus dikasih stempel".

Saya melongo, tapi pura - pura nggak dengar. "Notanya tinggal dua bu, untuk mbaknya (saya) dan untuk ibu",jawab sang penjual buku sambil menulis nota buat saya. "Wah...gimana sih...lha itu nota kosongnya mau untuk nulis lagi buku - buku yang sudah tak beli, buat mencairkan dana. Harganya yang bukan harga diskon. Biar aku dapat untung, lha kalo begini ni, aku ya nggak dapat untung to maaas, dah capek, kehilangan bensin lagi", tutur Sang Guru marah - marah. Sang penjual diam sambil menulis. Teman saya yang baru setahun menjadi guru berbisik, "Astaghfirulloh...kalau seperti itu berarti nggak jujur ya?". Saya termenung, setelah kami membayar buku itu, kami kembali ke sekolah.

Sedih dan kecewa, jelas itu yang saya rasakan. Seorang guru yang mentalnya seperti koruptor. Bagaimana ia mendidik murid - muridnya? Apakah beliau mendidik seperti yang ia lakukan? Saya lalu merenung, apa yang terjadi barusan, sangat berbeda jauh dengan "sekolah" tempat kami mengajar dan mendidik. Di sekolah kami, semua anggaran sudah jelas berapa dan untuk apa,setiap akhir semester dilaporkan. Semua sudah diposkan sesuai dengan pos yang telah ada. Tak ada uang lelah ataupun uang bensin. Tak ada tambahan uang kecuali bonus-bonus yang sudah ditentukan di awal tahun dengan dewan sekolah. Semuanya jelas. Tidak ada yang protes. Tidak ada yang mengeluh. Tetapi disitulah letak barokahnya. Disitulah letak pahalanya.

Di situlah letak "kenikmatan perjuangannya". Disitulah letak keseriusan untuk menjadi sebenar - benar guru. Sebenar-benar pendidik. Bukan sekedar transver materi tanpa ada "ruh" di dalamnya. Saya masih ingat nasehat dari seorang ustadz ketika mengisi acara pembinaan di sekolah kami, "Jadilah guru yang berorientasi akhirat", niscaya anda akan beruntung dunia dan akhirat. Kalau Anda menjadi guru hanya berorientasi dunia, maka anda akan kelelahan seiring dengan usia anda yang selalu bertambah, dan Anda di akhirat kelak tidak mendapat apa - apa kecuali penyesalan. Salam hangat dunia pendidikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun