Mohon tunggu...
Lulu Vebriany Akbar
Lulu Vebriany Akbar Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Aku adalah embun yang mencintai mentari, ceria berkawan dengan hari..

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dengar Ceritaku

19 Oktober 2012   14:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:38 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Surat darimu :

Bu, aku ingin bercerita pada Ibu. Tapi mohon jangan tertawakan aku ya, Bu. Ibu percaya tidak, mungkin aku adalah anak yang sangat tak tahu diuntung, anak yang kurang ajar, tidak berbakti kepada kedua orangtuaku, terlebih kepada ibuku.  Bu, jika aku menjadi anak Ibu, apakah Ibu akan percaya dengan apa yang aku ceritakan atau semua yang akan aku ceritakan ? Aku mencoba bercerita ya, Bu. Tolong dengarkan...

Bu, Jum'at pekan lalu keputrian dikelasku diisi oleh Ibu. Ibu menyampaikan materi tentang berbakti kepada Ayah dan Ibu. Bukan hanya cerita yang Ibu sampaikan, tapi contoh-contoh yang Ibu sampaikan benar-benar membuat aku dan tiga kelas seangkatan dan sejurusanku menangis sesenggukan. Benar-benar terasa seperti malam muhasabah saat agenda kegiatan I'tikaf Ramadhan tempo hari. Ditambah dengan film pendek yang Ibu putarkan, tentang Ayah juga satu film terpisah tentang Ibu,...duuuh semakin membuat kami menangis, tak bisa berbicara, airmata kami terus mengalir. Saat itu aku begitu rindu dengan Ayah kandungku yang tidak pernah aku sua sejak usiaku 5 tahun. Aku ingin memeluk Ibuku yang tentunya saat ini sedang sibuk dengan pekerjaan rumah, sembari menjaga warung.  Aku merasa sangat rindu.  Ingin memeluk,  memohon ampun kepada Ibuku atas segala dosa-dosaku.

Tapi, Bu ...

Entah apa yang terjadi. Kemarin aku seperti benar-benar dikuasai oleh setan. Aku yang kata Ibuku pendiam, penurut, rajin, lembut, entah kenapa seperti ada sesuatu, ada kekuatan lain diluar kemampuanku sangat menguasai aku. Diantara sadar dan tidak, aku mudah sekali marah kepada Ibuku hanya karena masalah sepele. Puncaknya tadi malam. Ibuku marah karena Senin kemarin aku sempat membolos. Ibuku murka. Kemudian malamnya aku meminta maaf, aku sampaikan bahwa aku tak akan mengulanginya lagi. Aku ingin Ibuku percaya. Tapi sepertinya Ibuku sudah tidak bisa mempercayaiku, mungkin kata 'sulit' lebih tepat. Mungkin juga karena aku benar memang pernah mengkhianati kepercayaan Ibuku. Sehingga Ibuku sulit mempecayaiku. Parahnya, Bu...aku ditampar oleh Ibuku. Aku pantas menerima semua itu, Bu. Mungkin tamparan itu pun tak cukup untuk memaafkan semua kesalahanku. Lebih parahnya lagi, Bu..aku melawan Ibuku. Aku menendangnya, merampas handphone-nya, membanting handphone Ibu dan aku berusaha pergi dari rumah.  Kemudian yang paling parah, Bu. Bukan aku yang meminta maaf kepada Ibuku...tapi justru Ibuku yang memohon maaf, memohon ampun kepadaku, bersujud dikakiku, mencium kedua kakiku dan memeluk kakiku...memohon agar aku tidak pergi dari rumah.

Ibu, apa yang harus aku lakukan ? Aku bejat sekali bukan ? Apakah benar ini ada hubungannya karena aku adalah anak tunggal ? Bagaimana mungkin Ibuku melakukan itu, Bu..bukankah seharusnya kejadiannya adalah kebalikannya, Bu ? Aku malu, Bu. Bukan aku sangsi dengan kasih sayang Ibuku. Tapi kejadian ini membuat aku semakin yakin bahwa Ibuku benar-benar mencintaiku. Hanya saja aku merasa tidak layak untuk tetap bersama Ibu, aku hanya menyusahkannya saja kan, Bu. Aku berdosa sangat, Bu ...

Telponku, untukmu :

Pulang sayang, kerumah Ibu ya. Bundamu ada dirumah Ibu. Jadilah anak yang manis seperti dahulu. Semua sayang kamu, Nak. Disini hujan, deras, sederas air mata Bundamu. Kamu mau membuat Bundamu terus menangis dirumah Ibu ? Semua masalah bisa diselesaikan. Bicarakan baik-baik. Bunda sudah menceritakan semua kejadiannya ke Ibu. Cepat pulang, minta maaf, peluk Bundamu ya. Ibumu saja sanggup bersujud dan mencium kakimu, apalagi kamu kan ? Kamu harus bisa melakukannya seratus kali lipat. Bundamu bilang sangat sayaaang kamu, Nak ...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun