Mohon tunggu...
Maria DwiAfi
Maria DwiAfi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konflik Retribusi Mangrove Kulonprogo

4 April 2017   23:05 Diperbarui: 5 April 2017   07:00 2534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Konflik Retribusi Mangrove Kulonprogo: Analisis Tragedi of The Common

Komunikasi Lingkungan 2017

Mangrove adalah suatu kawasan ekosistem yang terkena dan terpengaruh oleh pasang surut air laut. Mangrove juga didefenisikan sebagai formasi tumbuhan daerah litorial yang khas di pantai daerah tropis dan sub tropis yang terlindungi (Saenger dkk, 1983). Tumbuhan mangrove memiliki kemapuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi tanah yang tergenang, kadar garam, dan kondisi tanah yang labil. Dengan kondisi lingkungan yang seperti itu, beberapa jenis mangrove mengembangkan mekanisma yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar napas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya.Mangrove memiliki peranan penting dalam melindungi pantai dari gelombang, angin dan badai. Tegakan mangrove dapat melindungi pemukiman, bangunan dan pertanian dari angin kencang atau intrusi air laut. Mangrove juga terbukti memegang peranan penting dalam melindungi pesisir dari gempuran badai.

Secara administratif hutan mangrove ini berada di Dusun Pasir Mendit, Jangkaran, Temon, Kulonprogo, Yogyakarta. Letak Dusun Pasir Mendit ini memang berada di sebelah barat Sungai Bogowonto tetapi secara administratif masih masuk ke wilayah Yogyakarta. Rute menuju ke hutan mangrove sendiri sangat mudah. Dari kota Jogja perjalanan bisa dimulai dengan menuju jalan Jogja-Wates. Sampai di perbatasan Kulonprogo masih ke arah Purworejo kurang lebih sekitar 20 km. Lokasi hutan mangrove ini, berada di sekitar muara sungai Bogowonto perbatasan antara DIY dan Jawa Tengah.

Desa Jangkaran di wilayah Kecamatan Temon merupakan salah satu desa pesisir penting di Kab. Kulon Progo, yang mempunyai luas 365,64 Ha. Setidaknya terdapat tiga lokasi vegetasi mangrove di Desa Jangkaran yakni Nglawang, Pasir Kadilangu dan Pasir Mendit. Nglawang yang berada pada Muara Sungai Bogowonto dengan jenis vegetasi alami sudah jarang ditemukan. Vegetasi hasil penanaman tercatat pernah dilaksanakan pada tahun 1995 hasil kerjasama Dinas Pertanian Kulon Progo dengan UGM.

Tragedy of the common (tragedi kepemilikan bersama)” menggunakan kata tragedi sebagai pandangan para filosofi yang sering menggunakannya. “Inti dari drama tragedi ini adalah ketidakbahagian. Ketidakbahagiaannya terletak pada kekejaman dalam bekerja untuk merebut sesuatu. Tragedi Kepemilikan Bersama timbul saat setiap manusia berusaha mengambil kekayaan alam yang menjadi milik bersama untuk kepentingan pribadinya sehingga merugikan mahkluk hidup lain. Oleh karena itu, Tragedi Kepemilikan Bersama ini umumnya terjadi pada sumber daya yang merupakan milik umum.

Tragedi Kepemilikan Bersama adalah suatu pandangan tentang keinginan untuk meraih untung yang banyak untuk kepentingan pribadi daripada membagi-bagikannya kepada manusia lain dan masing-masing mendapat jatah sedikit. Pandangan seperti ini awalnya akan terasa menguntungkan bagi pihak yang memakai banyak sumber daya alam, namun pada akhirnya ketersediaan sumber daya alam akan habis dan justru berdampak negatif bagi pihak yang memakai dan bagi manusia lain. Tragedi kepemilikan bersama merupakan metafora yang menggambarkan bahwa akses bebas dan ketidakterbatasan akan sumberdaya alam pada akhirnya akan menyebabkan malapetaka struktural yang tidak terelakkan terhadap sumberdaya tersebut berupa eksploitasi berlebihan (over-exploitation) yang menyebabkan habisnya sumberdaya tersebut. Malapetaka tersebut terjadi karena keuntungan dari ekploitasi hanya dinikmati oleh individu atau kelompok, sedangkan dampak dari eksploitasi akan terdistribusi ke semua orang yang juga memerlukan sumberdaya tersebut. Dalam logika sederhana, prinsif ini lebih kurang bermakna ”Kalau tidak saya manfaatkan sekarang, pasti ada orang lain yang juga akan memanfaatkannya”. Akibatnya eksploitasi hutan menjadi tidak terkendali dan menyebabkan hutan di Inggris mengalami penggundulan dengan sangat cepat dan berdampak buruk pada lingkungan.

Rumusan Masalah

  • Apa penyebab terjadinya konflik Retribusi mangrove?
  • Siapa yang terlibat dalam konflik tersebut?
  • Bagaimana konflik keberadaan mangrove jika dianalisis dengan teori Tragedi Of The Common

Tujuan

  • Mengetahui sebab terjadinya konflik Retribusi di Mangrove
  • Mengetahui siapa yang terlibat dalam pengelolaan Mangrove
  • Menganalisis konflik keberadaan mangrove dengan teori Tragedi Of The Common

Pembahasan

  • Penyebab Konflik Retribusi

Obyek wisata mangrove kini mulai menui konflik perbatasan wilayah antara Purworejo dengan Kulon Progo. Pasalnya, warga Kasokan, Jogoboyo, Kecamatan Purwodadi, Purworejo ikut menarik retribusi di jalan masuk menuju obyek wisata tersebut. Mereka beralasan bahwa jalan yang dilewati oleh para wisatawan merupakan jalan desa yang ikut dalam wilayah Purworejo dan membutuhkan biaya pemeliharaan.

Objek wisata (Obwis) hutan mangrove di pedukuhan Pasir Kadilangu dan Pasir Mendit, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kulonprogo kian pupoler. Jumlah peng-unjung makin banyak, tidak hanya hari libur, hari biasa juga banyak dikunjungi.Banyaknya pengunjung memunculkan ide seba-gian warga mendapatkan dana dari kunjungan wisatawan. Lokasi wisata unik ini kendati masuk wilayah Kulonprogo namun berada di barat sungai Bogowonto atau berbatasan dengan Desa Jagabaya, Kecamatan Purwodadi, Kabupaten Purworejo.

Objek wisata Mangrove Kulonprogo  tersebut memiliki daya tanrik yang amat tinggi bagi para Wisatawan. Semenjak adanya Selfie yang semakin “hits” wisata mangrove ini menjadi pilihan yang tepat. Selain tiket mesuk ke mangrove yang hanya Rp. 4000 mangrove juga memiliki spot spot untuk berfoto antara lain di jembatan cinta, sangkar penantian, love, pintu doraemon, negeri di atas mangrove. Juga di hutan gua samalu, ayunan kepompong, ayunan perahu layar raksasa, bunga cinta, jembatan tempo dulu, rumah pohon, menara, pintu gerbang utama, jembatan bola-bola. Serta wisata bahari yang menyediakan perahu untuk berkeliling hutan mangrove. Spot foto-foto yang nge-hits di daerah Kulonprogo, Hutan mangrove di Pantai Kadilangu, Pantai ini sebetulnya bukan lokasi yang terbilang baru, tapi keindahan jembatan bambu di sekitar pantai yang ditumbuhi pohon mangrove masih menjadi favorit pengunjung.

73kp-mangwove-58e3c3fd6c7e61ac2b2dfaa1.jpg
73kp-mangwove-58e3c3fd6c7e61ac2b2dfaa1.jpg
Salah satu pengunjung, Rizki Lidya Febriani, mengaku senang datang ke lokasi tersebut. ”Pengen foto-fotoaja sambil menikmati udara hutan mangrove,” Salah satu anggota pengurus hutan mangrove Suyadi mengatakan, pada hari biasa pengunjung yang datang bisa mencapai 200 orang. Sedangkan pada akhir pekan bisa mencapai 500 orang. Tempat wisata yang secara resmi dibuka pada 15 Mei 2016 tersebut memasang tarif tiket masuk yang murah meriah. Hanya Rp 4 ribu saja untuk biaya perawatan jembatan.

Namun di balik tingginya kunjungan wisatawan, nampaknya akan memunculkan potensi konflik. Terutama berkaitan dengan pungutan yang dilakukan dua atau lebih kelompok ma-syarakat yang berbeda. Pungutan tersebut juga sudah mulai dikeluhkan pengunjung.Terlebih mereka yang masuk dari jalan raya Dendels sudah ditarik retribusi warga berseragam parkir. Ketika di lokasi wisata juga masih ditarik ongkos parkir dan retribusi masuk objek wisata.

Keluhan terkait penarikan retribusi bagi pengunjung di pintu masuk menuju obyek wisata Hutan Mangrove di Padukuhan Pasir Mendit serta Pasir Kadilangu, Jangkaran, Kecamatan Temon masih belum menemui titik terang. Penarikan retribusi tersebut dilakukan oleh warga Jogoboyo, Purwodadi, Purworejo dengan alasan sebagai dana perawatan jalan karena jalan tersebut merupakan jalan dengan status jalan Desa Jogoboyo.

Akibat adanya dua tempat penarikan pungutan untuk masuk tempat wisata hutan mangrove di Pedukuhan Pasir Kadilangu, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon pengelola setempat merasa resah. Mereka sering dikomplain pengunjung yang harus membayar dua kali. Oleh karenanya, warga berharap pemerintah segera membangun jembatan yang menghubungkan pedukuhan tersebut dengan Pedukuhan Nglawang.

Ahmad  Subangi (70), mantan Ketua Komisi I DPRD DIY menuturkan, sebenarnya pembuatan jalan yang melintasi dua kabupaten yaitu Kulon Progo dan Purworejo itu pernah dibahas oleh pihak provinsi dan kabupaten.

  • Pengelolaan
  • Pada tanggal 27 Desember 2012, Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah I Denpasar bekerjasama dengan Dinas Pertanian dan Kehutanan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyelenggarakan Lokakarya Persiapan Pembentukan Kelompok Kerja Mangrove Daerah (KKMD) DIY. Beberapa pihak yang diundang pada kegiatan ini adalah SKPD dari Gunungkidul, Bantul dan Kulonprogo (diantaranya Dinas Kehutanan, Lingkungan Hidup, Kelautan dan Perikanan), perguruan tinggi, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Kehutanan.
  • Pengelolaan kawasan mangrove tidak cukup hanya dengan peraturan tata ruang yang mengatur dalam rangka tata keruangannya saja. Berbagai peraturan perundangan turut dilakukan dalam rangka pengelolaan kawasan ini, baik secara langsung atau tidak. Salah satu yang tidak langsung tersebut adalah adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Turut pula Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang kewenangan pemerintahan yang mengatur kewenangan pengelola kegiatan berkaitan dengan jenis kegiatan yang sangat berkaitan erat dengan UU 32 /2004 dan Peraturan Pemrerintah Nomor 7 / 2008. Termasuk pula Peraturan Pemerintah Nomor 76/2008 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur pembautan RTk RHL DAS, RPRHL dan RTnRHL. Selain itu, adanya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 / 2008 tentang kawasan konservasi wilayah pesisir dan pulau kecil adalah satu peraturantidak langsung dalam tataran pemanfaatan pengelolaan mangrove. Tentu masih banyak peraturan perundangan lainnya.

Wisata Alam Pesona Hutan Mangrove Pantai Congot Jogja ini baru saja belum lama diperkenalkan pada tahun 2016. Berawal dari foto-foto yang tersebar di media sosial oleh para traveler yang mengunjunginya dan para penduduk sekitar yang tanggap akan potensi wisata, kini Hutan Mangrove Kulonprogo Yogyakarta telah ramai dikunjungi wisatawan baik luar Jogja maupun warga Jogja itu sendiri.

Tokoh masyarakat Padukuhan Kadilangu, Suyadi (60) menuturkan, penarikan retribusi di tempat wisata merupakan biaya perawatan karena selama ini warga sekitar melakukan patungan untuk biaya perawatan masing-masing kepala keluarga memberikan dana Rp 1,2 juta. Menanggapi adanya pungutan lain yang dilakukan oleh warga Jogoboyo, dirinya mengaku belum ada konfirmasi dari pihak warga Jogoboyo. Dengan biaya Rp 2 ribu untuk sepeda motor dan Rp 5 ribu untuk mobil, penarikan sudah dilakukan sejak beberapa bulan lalu. Tentu saja hal ini menimbulkan keluhan bagi para pengunjung lantaran masih ditarik biaya parkir di lokasi obyek wisata. Padahal antara pengelola obyek wisata dengan penarik retribusi jalan dari warga Jogoboyo tak ada koordinasi.

Selama ini terdapat 2 objek wisata serupa di desa tersebut yakni Pasir Mendhit dan Pasir Kadilangu. Dari 2 lokasi wisata ini, terdapat 3 kelompok pengelola objek wisata yang terpisah. Pengelolaan Kawasan Mangrove Kulonprogo ini masih dikelosa secara kelompok kelompok usaha oleh masyarakat. Setiap kawasan wisata hutan mangrove merupakan kepemilikan kelompok tersendiri sehingga  setiap masuk ke salah satu mangrove akan di kenai retribusi, dan jika anda ingin masuk ke spot mangrove lain maka akan dikenai retribusi lagi. Kepemilikan yang masih dipegang ole kelompok kelompok usaha ini dapat menyebabkan konflik dan persaingan tidak sehat.

  • Analisis  Menggunakan Tragedi Of The Common

”Dulu juga pernah terjadi masalah seperti itu, ketika truk pengangkut pasir milik warga Kulon Progo yang melintas di jalan tersebut juga diportal oleh warga Purworejo, namun sudah dirembug dan selesai,” Saat dikonfirmasi, petugas jaga di jalan masuk hutan mangrove wilayah Jogobaya, Musbandi menjelaskan, dana yang ditarik dari wisatawan akan digunakan untuk perbaikan jalan. Penarikan tersebut, didasarkan pada Perdes.Sementara Ketua DPRD Kulonprogo, Akhid Nuryati berpendapat, konflik di perbatasan ini membutuhkan penyelesaian segera. Ia berpendapat, sebaiknya pemerintah DIY atau Kulonprogo membeli jalan tersebut, mengingat sebagian besar yang menggunakan adalah warga Kulonprogo.

Secara  georafis dan administratif magrove  terletak di wilayah kulonprogo, Yogyakarta.  Untuk menuju kawasan mangrove itu perlu melewati wilayah administratif kabupaten purworejo.  Mangrove atau wisata dengen menyajikan spot foto ala masa kini sangatlah besar peluang bisnisnya. Oleh karena itu masyarakat yang memiliki lahan disekitar mangrove memanfaatkan untuk membuat lokasi wisata alam  seperti mangrove  Api-api. 

Warga desa yang memiliki lahan melihat hal ini merupakan peluang yang besar untuk dijadikan objek wisata masa kini dengan sasaran para remaja. Budaya selfie dan foto Hits menjadi daya tarik tersendiri dan memiliki dan dapat meningkatkan status yang dimiliki oleh orang muda. Suatu tempat yang sedang menjadi tren untuk dikunjungi seperti mangrove akan membuat kaum muda  tidak ingin ketinggalan untuk berkunjung sehingga dikatakan sebagai anak “Hits”.  Daya taarik seperti ini lah yang dimanfaatkan oleh para pemilik lahan untuk membuka peluang usaha.

Tidak lama setelah dibuka mangrove  yang memiliki daya  tarik yag sangat besar  ini mendapat banyak sekali wisatawan.  Peluang yang mereka baca merupakan peluang  yang sangat besar potensinya dan mulai terlihat bahwapeluang yang mereka baca merupakan peluan yang tepat dan digemari banyak orang.

Sistem pengelolaan mangrove sendiri masih teriri dari 3 kelompok. Hal ini sangat disayangkan. Hal ini sangat disayangkan karena jika kita ingin keluar dan memasuki mangrove lain yang ada di satu awasan itu kita harus membayar retribusi lagi. Hal ini juga dapat menimbulkan konflik antar kelompok warga pemilik mangrove tersebut.

Sementara, Jalan untuk menuju ke mangrove sendiri hanya bisa ditempuh melalui desa  Jogoboyo, kecamatan Purwodadi, Kabupeten Purworejo saja. Hal ini menyebabkan jalan yang menuju ke arah mangrove yang semula hanya digunakan untuk warga sekitar pergi ke ladang saat ini mulai ramai dan sedikit kotor dan bahkan macet seringkali terjadi.  Hal ini tentu saja mengganggu aktifitas warga desa yang tinggal di wilayah tersebut.

Beberapa kali sempat didiskusikan untuk meminta dana pemeliharan terhadap pemerintah dan kelompok yang mengelola mangrove. Namun permintaan tersebut ditolak. Dengan adanya penolakan tersebut maka warga desa memungut uang retribusi jalan  guna pemeliharaan  jalan.

Kepemilikan bersama tidak selamanya dapat dilaksanakan dengan baik. Pola pikir masyarakat terhadap kepemilikan aset yang dianggap milik bersama kadangkala menimbulkan kerawanan yang berujung pada kerusakan dan anarkis.  Secara  georafis dan administratif magrove  terletak di wilayah kulonprogo, Yogyakarta.   Maka secara administratif mangrof merupakan kepemilikan warga kulonprogo. Sementar jalan yang menuju ke mangrove tersebut merupakan kepemilikan waga purworejo. Dalam hal ini jika dilihat dari segi Tragedi of The Common  kedua belah pihak menerapkan teori ini dimana warga kulonprogo  merasa memiliki sumberdaya  alam yang ada yaitu hutan mangrove yang memiliki peluang dan potensi pariwisata sehingga dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk meraut keuntungan semaksimal mungkin. Sementara dengan melihat  potensi yang dimiliki oleh mangrove kulonprogo itu warga desa yang merasa memiliki Sumber daya alam yang digunakan sebagai akses unuk menuju wisata tersebut maka mereka merasa bahwa sumberdaya yang menjadi akses jalan itu bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mendapatkan keuntungan  untuk  biaya perawata jalan.

Kesimpulan

Kedua warga  merasa bahwa mereka memiliki dan berhak untuk memanfaatkan sumberdaya yang ada. Dimana keduannya berusaha untuk memanfaatkan dan meraih keuntungan sebanyak mungkin dari apa yang mereka miliki. Namun keduanya juga tidak memperhatikan ekolgi dan keberlangsungan akan sumber daya alam yang mereka miliki juga.  Sampah yang dibawa oleh wisatawan, polusi udara, kerusakan lingkungan yang dibuka untuk lahan parkir, kerusakan lingkungan akibat kendaraan yang keluar masuk melalui jalan yang sempit, serta polusi pemandangan akibat macet yang diti,bulkan oleh para wisatawan tidak diperhitungkan oleh para pengelola. Sangat disayangkan  jikalau pariwisata yang diangun dan dijalankan tidak berdasarkan sustanable tourism.

Daftar pustaka

http://www.harianjogja.com/baca/2016/09/06/mangrove-kulonprogo-pengelola-minta-dibangun-jembatan-750692

https://www.radarjogja.co.id/retribusi-ganda-dikeluhkan-pengunjung/

http://krjogja.com/web/news/read/6844/i

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun