Mohon tunggu...
Fitri Tasfiah
Fitri Tasfiah Mohon Tunggu... -

Inconsistent Demeanor. Grad of Fikom Unpad, Public Relation. Account Manager (IT Solution). Singing, Writing, and Praying.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Single Mom: Status dan Penilaian

10 November 2011   15:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:49 384
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_148081" align="alignnone" width="600" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Jika saya menyebutkan kata “single mom”, apa yang langsung anda bayangkan?

Beberapa “single mom” mendapati respon simpatik karena status yang dimilikinya. “single mom” dianggap sosok wanita yang mandiri karena membesarkan anak seorang diri, tanpa dukungan pasangan. Terkadang tanggapannya cenderung mengasihani, karena pelakunya adalah wanita. Selama ini wanita sering dianggap mahluk yang lebih perasa, lemah, dan tak berdaya dibandingkan laki-laki. Opini seperti ini tidak salah, karena dalam berbagai kasus wanita menjadi korban dari kekerasan laki-laki dalam rumah tangga yang kemudian “terjebak” dalam kondisi menjadi “single mom”. Pada akhirnya hal ini muncul hipotesis bahwa single mom itu kondisi yang pahit dan buruk untuk seorang wanita.

Seringkali seseorang menginterprestasikan sebuah status dari hasil cognitive compression effect, dimana penilaian tersebut didapat dari kesimpulan hasil pengamatan sekilas tanpa mengetahui unsur mendalam dari objek tersebut. Saat mendengar kata “Single Parent” langsung muncul kesimpulan bahwa orang tersebut merupakan wanita yang memiliki kisah hidup yang sulit, penuh traumatik, dan sangat menyedihkan. Padahal tidak bisa digeneralisir seperti itu.

Parameter baik atau buruknya sebuah status kembali kepada individual masing-masing. Kita tidak bisa menilai sebuah status tanpa mengetahui sebuah proses. Prosesnya memang rumit dan variatif. Ada beberapa wanita “single mom” yang berjuang habis-habisan untuk membesarkan anak dari hasil perkawinan atau tanpa perkawinan dengan caranya masing-masing. Membesarkan anak dalam keadaan mencari nafkah sendiri dan dihadapi masalah yang kompleks meliputi ekonomi, sosial, keluarga, karir, dan hal lainnya. Tanpa menutup mata, ada pula yang mengalami kondisi yang lebih baik, misalnya mendapat support ekonomi yang cukup dari mantan suami dan bahkan sudah memiliki kebahagiaan sendiri.

Bagi saya “single mom” itu tidak bisa dipandang sebagai sebuah status semata. Kita tidak bisa menyisihkan sebuah prosesnya. Jadi, tidak bisa menilai baik atau buruk status "single mom" pada seseorang tanpa mengetahui prosesnya itu sendiri. Masing-masing memiliki pengalaman dan kondisi yang berbeda. Baik atau buruknya tidak berlaku secara general.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun