Mohon tunggu...
Fitri Tasfiah
Fitri Tasfiah Mohon Tunggu... -

Inconsistent Demeanor. Grad of Fikom Unpad, Public Relation. Account Manager (IT Solution). Singing, Writing, and Praying.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Insting (Kisah Nyata sang Pengawal Jenderal)

19 September 2010   00:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:08 5184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah pernah terpikirkan oleh pembaca tentang kehidupan masa lalu, disaat teknologi tidak secanggih seharang. GPS, Telepon Selular, Akses Internet, bahkan Peta yang baik pun tidak semua orang memiliki. Lalu bagaimana kita bisa mengetahui posisi tertentu serta arah lokasi yang diinginkan? Mungkinkah pada masa lalu orang mempunyai indera keenam sehingga bisa mengetahui tanpa alat-alat apapun?
Dalam masa penjajahan dahulu, seorang pemimpin mengatur strategi perang. Dia harus mengetahui posisi musuh, dan dari arah mana dapat menghindari dan menyerang musuhnya. Di luar adanya peta terkadang kita harus menggunakan indera keenam. Kita tidak akan pernah tahu keadaan sebenar-benarnya. Seorang pemimpin mempunyai pengawal pribadi yang diberi kewenangan menentukan saat-saat sulit ini. Letnan Jenderal (Purn) TNI-AD Tjokropranolo adalah seorang Komandan Pengawal Panglima dari R.Soedirman (1948-1949) dari awal sampai akhir perang kemerdekaan II dan ikut bertugas dalam gerilya di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur sampai Panglima Besar masuk Yogyakarta kembali ada tanggal 10 Juli 1949.
Perang Gerilya terjadi atas perintah kilat dari Jenderal Soedirman untuk menghadapi agresi pihak militer Belanda yang kedua. Strategi perang ini adalah perang secara secara sembunyi-sembunyi dengan berperang dan bertahan di desa-desa, gunung-gunung, dan hutan belantara. Sang Pengawal, yaitu Komandan Tjokropranolo, sebagai orang yang dipercaya untuk mengabil keputusan. Beliau memilih atau menetapkan dimana Jenderal Soedirman singgah atau bermalam, termasuk arah dan ke jurusan mana yang sebaiknya diambil. Pada waktu itu kebingungan siapa yang memiliki peta yang baik, dan siapa pula yang mampu terus menerus memberikan keterangan? Sering sekali sang pengawal menggunakan perasaan dari pada perhitungan rasionalnya. Dalam mengambil keputusan banyak mengandalkan Insting dan terbukti menyelamatkan Jenderal Soedirman dari kejaran musuh yang terus mengincarnya.
Pada suatu ketika, ketika rombongan Jenderal Soedirman sedang berada di kota Kediri, sang pengawal mulai merasakan perasaan yang kurang tenang. Komandan Tjokropranolo merasakan banyak pasukan yang liar mondar-mandir dengan gelagat yang mencurigakan. Padahal saat itu kediri dinyatakan aman oleh staf yang ditugaskan untuk mengecek keadaan oleh Kolonel Sangkono ( Komandan Batalion. 102). Jenderal Soedirman dan rombongannya diminta menginap satu malam lagi. Tetapi sang pengawal merasakan hal berbeda dan harus membawa Jenderal Soedirman untuk diamankan di tempat lain. Kemudian Tjokropranolo membawa Jenderal ke luar Kediri (24 Desember 1948) yang letaknya di Karangnongko (kurang lebih 10 KM sebelah barat kota Kediri). Pada saat tertidur lengkap di Karangnongko, tiba-tiba rakyat memberitahu bahwa Kediri telah diduduki Belanda yang masuk dari jurusan Malang (Selatan) dengan kereta api dan menyamar menjadi laskar-laskar. Paginya, seluruh Kediri sudah diduduki Belanda. Tetapi Belanda tetap tidak berhasil mendapatkan Jenderal Soedirman yang selalu diincarnya. Semua berkat Insting Sang Pengawal.
Sebelumnya, pernah juga Insting sang pengawal menyelamatkan sang Jenderal. Pada saat rombongan di Wonogiri, sore hari rombongan segera ke luar kota. Semua karena sang pengawal mendapat firasat yang kurang baik. Komandan Tjokropranolo menyarankan Panglimanya tinggal di luar kota saja, bukan di kabupaten. Terbukti keesokan harinya Wonogiri sudah diserbu Belanda.
Sang pengawal Jenderal Soedirman, yaitu Tjokropranolo memahami bahwa manusia itu dapat menjadi tajam indera keenamnya kalau dipaksa oleh suatu keadaan. Perasaan demikian timbul di berbagai peristiwa-peristiwa selama berlangsungnya perang gerilya. Mungkin inilah bantuan Tuhan YME untuk menyelamatkan Panglima Soedirman dan rombonganya. Pada saat itu sang Jenderal memimpin perang di atas tandu dengan satu paru-paru. Kondisi sang Jenderal yang kritis membuat Belanda menganggap enteng dalam menangkap Jenderal Soedirman. Padahal Jenderal Soedirman adalah harapan terakhir rakyat, yang menganggap benteng terakhir negara RI. Para pemimpin negara sudah menjadi tawanan Belanda. Tidak disangka Insting sang pengawal yang tentu saja kiriman dari yang Maha Kuasa telah membuat Belanda berkali-kali gagal menangkap Jenderal Soedirman. Insting digunakan dalam mengambil keputusan, dari mulai memilih, menetapkan dimana panglima singgah dan bermalam, termasuk arah dan jurusan mana yang diambil. Di tengah hutan belantara, tanpa peta yang baik, tanpa teknologi yang memadai, dan salah sedikit saja bisa TEWAS.

Note: Kisah diambil berdasarkan buku Panglima Besar TNI JENDERAL SOEDIRMAN oleh Tjokropranolo Terbitan PT Surya Persindo tahun 1992

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun