Masalah upah atau gaji memang selalu menarik untuk dibahas dan dibicarakan. Hal itu karena upah dan gaji mempengaruhi tingkat kesejahteraan seseorang/suatu rumah tangga. Istilah upah sebenarnya sama dengan gaji, bedanya hanya upah biasanya ditujukan untuk imbalan kerja bagi blue collar (buruh), adapun gaji merujuk kepada imbalan bagi white collar (arti gampangnya pekerja kantoran). Di Indonesia masalah upah/gaji sering menimbulkan perselisihan dari pihak pembayar upah dan penerima upah. Hal itu adalah hal yang wajar karena mereka memiliki kepentingan untuk memaksimalkan kesejahteraannya masing-masing. Para pemberi kerja (yang membayar upah/gaji) ingin agar beban gaji ditekan serendah-rendahnya demi menghasilkan laba optimal, di sisi yang berlawanan para pekerja ingin mendapatkan pembayaran yang setinggi-tingginya demi mencukupi kebutuhan hidupnya. Itu adalah pertentangan abadi yang akan terus ada hingga hari kiamat nanti. Permasalahannya adalah adakah cara yang bisa digunakan oleh pemerintah selaku regulator untuk menengahi pertentangan itu dengan seobyektif mungkin, tanpa memihak salah satu pihak?
Pertanyaan itu membuat saya penasaran tentang bagaimana kebijakan upah yang berlaku di negara peers kita yang terbilang sudah maju misalnya saja Singapura dan Malaysia, mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari kedua negara tersebut dalam permasalahan ini. Selain dari negara tetangga kita tersebut, inspirasi pengimplementasian UMR mungkin juga bisa kita dapatkan dari Amerika Serikat, negara industri yang sudah maju.
Mari kita lihat sekilas kebijakan UMR di ketiga negara tersebut:
1. Singapura
Negara kecil yang sudah maju ini ternyata tidak mempunyai kebijakan tentang penentuan Upah Minimum Regional (UMR) seperti di Indonesia. Hingga saat tulisan ini dibuat, tidak ada aturan baku yang memuat berapa upah yang harus dibayar majikan kepada pekerjanya. Pemerintah negara ini memang secara tegas menyatakan keengganannya untuk membuat ketentuan minimum pembayaran upah yang dikhawatirkan akan memberatkan sektor swasta. Namun demikian belakangan ini Singapura meluncurkan kebijakan 'subsidi kenaikan upah' melalui skema Wage Credit. Dengan mengikuti skema tersebut, pemerintah akan membantu pengusaha yang punya niat baik menaikkan gaji pegawainya secara bertahap pada periode 2013-2015. Skema ini memiliki persyaratan yang tegas, yaitu hanya berlaku jika karyawan tersebut adalah WN Asli Singapura yang  memiliki upah dibawah $4000/bulan. Pemerintah Singapura berjanji membantu pengusaha membayar 40% dari porsi kenaikan gaji karyawan jika memenuhi persyaratan (salah satu syarat penting karyawan adalah WN asli Singapura, dan kenaikan upah minimal $50/bulan). Bagaimana dengan TKI asal Indonesia? sayang sekali tidak dicover oleh kebijakan tersebut. Namun ada sisi positifnya, TKI Indonesia dan juga tenaga kerja dari luar Singapura akan memiliki daya tarik yang lebih besar akibat upah mereka yang bisa jadi akan lebih murah dari WN Singapura nantinya.
2. Malaysia
Malaysia terbilang telat menerbitkan peraturan tentang UMR. Baru pada tahun 2012 PM Najib Razak menetapkan kebijakan tersebut yang membuat UMR di semenanjung Malaysia adalah 900 Ringgit per bulan (RM4,33/jam), sedangkan negara bagian Sabah dan Serawak adalah 800 Ringgit per bulan (RM3,85/jam). Alasan penetapan UMR di sana karena Malaysia direncanakan akan menjadi Negara High Income pada tahun 2020 nanti, oleh karenanya penghasilan di level pekerja bawah harus diangkat terlebih dahulu sebelum semua pekerja di level atasnya dinaikkan. Pemerintah Malaysia menerbitkan website resmi yang bisa diakses untuk penjelasan tentang UMR di situs www.minimumwages.mohr.gov.my.
Kebijakan UMR ini dipertanyakan oleh kalangan swasta negeri tersebut yang menganggap UMR akan memberatkan sektor industri menengah ke bawah yang ada di perkotaan maupun yang ada di daerah terpencil. Oleh karena itu Pemerintah Malaysia memberikan kelonggaran waktu 1 tahun bagi pelaku industri menengah ke bawah (UKM) untuk penerapan UMR tersebut.
3. Amerika Serikat
Negara Paman Sam ini memiliki kebijakan tentang UMR sudah sejak lama. Setiap negara bagian di Amerika Serikat memiliki besaran tarif upah yang berbeda-beda disesuaikan dengan tingkat biaya hidup di masing-masing negara bagian/teritory. Selain itu ada juga UMR tingkat nasional/Federal yang ditetapkan Juli 2009 sebesar $7,25/jam bagi pekerja non-tips, $2,13/jam untuk pekerja yang mendapatkan tips, serta $4,25/jam bagi pekerja usia 20 tahun ke bawah. Beberapa negara bagian memiliki tarif UMR yang lebih rendah atau lebih tinggi dari tarif federal. Negara bagian dengan tarif tertinggi per Januari 2014 adalah Washington dengan $9,25/jam untuk pekerja non-tips.
Hal menarik yang berlaku di sana adalah UMR di Amerika Serikat tidak dihitung per bulan melainkan per jam. Dengan ketentuan tersebut para pemberi kerja dapat menentukan berapa jam dalam sehari karyawannya bekerja disesuaikan dengan budget yang dimiliki.
Dalam rangka membantu usaha kecil menengah di negara itu, pada saat revisi UU UMR ditetapkan (2009) Pemerintah AS memberikan keringanan pajak bagi UKM sebesar hampir $5 Miliar. Ditambah lagi bagi UKM yang berpendapatan kurang dari $500.000/tahun dan cakupan usahanya hanya berada dalam 1 negara bagian tidak terkena aturan tentang upah minimum.
Dengan melihat contoh di atas, timbul pertanyaan dalam benak saya. Apakah Pemerintah bisa meniru kebijakan Singapura yang memberikan subsidi kenaikan upah untuk membantu pemberi kerja mensejahterakan karyawannya. Saya pikir ini sangat sulit karena keuangan Indonesia tidak sekuat Singapura.
Apakah dimungkinkan juga suatu saat upah ditentukan bukan hanya per bulan tapi juga per jam. Hitungan per jam akan bermanfaat bagi para buruh yang menggantungkan penghasilan dari waktu bekerja, semakin lama bekerja (lembur) akan semakin tinggi penghasilannya. Saat ini skema yang diterapkan di pabrik adalah para buruh di Indonesia bekerja reguler selama 8 jam dengan upah yang telah sesuai UMR, namun demikian setelah 8 jam reguler itu mereka juga diwajibkan kerja lembur dengan upah per jam yang masih rendah. Terkadang jam lembur bahkan mencapai 6 jam ditambah kewajiban kerja di hari libur dengan upah per jam yang masih belum dicover dengan aturan UMR. Boleh dibilang untuk menyiasati upah reguler yang cukup tinggi para pemberi kerja memberlakukan kewajiban kerja lembur dengan tarif per jam yang rendah sehingga hitungan akhirnya tetap akan menghasilkan laba yang cukup bagi pemberi kerja tersebut.
Kondisi ini perlu dikaji oleh pembuat kebijakan dalam hal ini pemerintah, dalam rangka menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pemberi kerja maupun pekerjanya.
"No business which depends for existence on paying less than living wages to its workers has any right to continue in this country"-Franklin Roosevelt, 1933.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H