Saat ini, dunia tengah berjuang melawan virus COVID-19 dan mempertahankan perekonomian negaranya. Di tengah keadaan ini, bermunculan juga berita, meme, dan laporan tentang bumi yang menyembuhkan dirinya sendiri 'earth is healing itself'. Hal ini sebagaimana diberitakan tentang tentang kembalinya penyu di Thailand untuk bertelur hingga penurunan emisi gas yang berpotensi memperlambat laju perubahan iklim.
Dr. Fatih Birol, Executive Director International Energy Agency menyatakan dalam tulisannya bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh COVID-19 mungkin bersifat sementara sedangkan kerugian akibat krisis global yang juga sedang kita hadapi, yaitu climate change bersifat jangka panjang. Hal ini karena krisis iklim mengharuskan adanya pengurangan emisi gas secara masif.
Kerugian akibat perubahan iklim yang dapat kita rasakan seperti gelombang panas, kenaikan permukaan laut, kekeringan, bahkan kekurangan pangan. Aktivis Greta Thunberg juga memperingatkan agar kita tidak hanya terfokus pada satu krisis global sehingga krisis iklim yang lain terabaikan.
Tidak dapat dipungkiri, COVID-19 telah mengubah kehidupan manusia dengan berbagai cara mulai dari kebijakan kerja hingga tatanan sosial dalam masyarakat. Hal-hal negatif tersebut hanya akan membawa beban jika kita tidak mencoba berpikir lebih terbuka dengan terus mengedukasi diri.
Bersamaan dengan pandemi ini, banyak hal-hal baik terjadi selain dampak buruk nya, namun hal ini justru menjadi perdebatan di kalangan environmentalist, dimana beberapa dampak positif ini hanya efek jangka pendek dan justru menyebabkan dampak yang lebih buruk untuk lingkungan setelah masa pandemi berakhir. Untuk itu perlu dicermati ulang apakah dampak baik ini bersifat jangka panjang atau jangka pendek.
Is this just Coronavirus short-term side effects?
Udara dan air semakin bersihÂ
Banyak negara yang melaporkan adanya perubahan kualitas udara semenjak dimulainya lockdown, reduksi polusi udara juga terjadi secara signifikan yang diprediksi oleh beberapa ilmuwan terjadi akibat adanya penurunan aktivitas masyarakat. Hal ini tentunya dapat mengurangi tingkat kematian yang diakibatkan buruknya polusi udara.
Menurut NASA terjadi pengurangan konsentrasi NO2 di udara China dengan sangat signifikan yaitu 25% sejak bulan Februari, bersamaan dengan COVID-19 mulai menyerang negara tersebut.
Pengurangan ampah harian
 Sejak penerapan kebijakan WFH oleh pemerintah, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta melaporkan penurunan jumlah sampah harian Jakarta yang ditampung di TPS Bantargebang. Sejak tanggal 16 Maret terjadi penurunan sebanyak 8.726,44 ton/hari. Dimana, rata-rata tonase sampah sebelum WFH yaitu pada 1-15 Maret 2020 mencapai 9.346,16 ton/harinya. Dengan kata lain, penurunan yang terjadi mencapai 620 ton/hari. reduksi ini didominasi oleh tutupnya banyak tempat komersial seperti supermarket, tempat wisata, dan restoran.
Akan tetapi justru sampah medis perlu perlakuan yang lebih jika dibandingkan sampah lainnya, dimana sampah medis berpotensi membawa berbagai virus, bakteri, dan penyakit yang membahayakan terutama untuk petugas kebersihan.
Selain dari sampah medis, tentu sampah domestik juga harus tetap diperhatikan karena peningkatannya yang fluktuatif. Oleh karena itu, pengurangan sampah yang terjadi dinilai bersifat sementara, setelah pandemi berakhir, kegiatan dalam masyarakat pun akan kembali normal seperti biasanya. Sehingga perlu adanya kerjasama sekaligus  kesadaran dari masyarakat secara kolektif untuk mengolah sampah yang dihasilkan.Â
Kegembiraan hewan-hewan liar
Berita yang banyak tersebar terkait kembalinya hewan-hewan liar ke tempat-tempat yang biasa ramai dikunjungi manusia saat ini banyak bermunculan di media massa. Â Seperti ratusan penyu menetas di pantai Brasil yang kosong, flamingo dilaporkan mengubah kota Mumbai menjadi pink, kembalinya koloni lumba-lumba ke ports of Italy, ubur-ubur yang kembali mengunjungi kanal di Venice, dan lain sebagainya. Hewan-hewan ini secara tidak langsung telah mengambil kesempatan untuk menikmati hari-hari bahkan berkembang biak selama masa lockdown di banyak wilayah.
 Menurut laporan World Economic Forum, akibat keruntuhan ekonomi justru menyebabkan peningkatan perburuan hewan langka untuk diperdagangkan, kebun binatang yang tutup banyak menelantarkan hewan di dalamnya. Ini merupakan hal yang tidak seharusnya terjadi apabila COVID-19 tidak terjadi, perburuan hewan liar justru akan merugikan dalam jangka panjang.
Saat ini masalah utama kita semua sebenarnya adalah  kesehatan dan keamanan. Apa yang membahayakan dari ancaman COVID-19 tidak jauh berbeda jauh dari ancaman oleh kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Kesadaran akan permasalahan lingkungan dan perubahan iklim serta segala aktivitas yang berkaitan dengan penurunan emisi global harus berlandaskan pada kesejahteraan dan kehidupan manusia.
Udara dan lingkungan yang bersih, air laut yang jernih, dan juga penurunan emisi karbon seharusnya dilakukan secara sadar dengan dukungan peraturan pemerintah lokal bahkan dunia. Semua orang menginginkan kehidupan normal, namun asumsi normal yang banyak kita impikan merupakan kehidupan yang sebenarnya tidak normal. Kita yang seharusnya menjaga keseimbangan bumi cenderung merusak akibat eksploitasi berlebih.
Dengan adanya COVID-19, kita dapat mengetahui suatu hikmah yang ada. Kita harus mulai belajar hidup damai dan berdampingan dengan alam. Mengingat virus yang mewabah saat ini juga merupakan hasil dari kerakusan kita terhadap hewan-hewan liar dan sanitasi yang buruk. Tujuan penyelamatan bumi dari krisis iklim adalah untuk menyelamatkan populasi manusia dari kepunahan. Kemudian, jika perbaikan lingkungan dan penurunan konsentrasi emisi global harus dicapai dengan kematian ratusan ribu jiwa akibat pandemi COVID-19, apa artinya usaha kita memerangi krisis iklim selama ini?
Referensi :
IEA, CNN, BBC, Earth Observatory, We Forum
Penulis :Â Irma Rahmawati (IAAS LC UNEJ)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H