Tadinya hidup kami sederhana. Memang tidak kaya, tapi berkecukupan. Sejak ada kelapa sawit, kami jadi lebih menderita. Saya jadi tidak bisa menafkahi keluarga. Saya punya bayi. Setiap hari saya mesti memberi makan keluarga. Tapi bagaimana bisa, kalau kami [saya dan suami] tidak bekerja. Setiap hari kami harus mencari akal supaya bisa menyambung hidup.
—Leni, Semunying Bongkang, Mei 2018
Pada 2019, Indonesia mengekspor minyak sawit sebanyak 50 juta ton metrik. Menurut Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, minyak kelapa sawit merupakan komoditas ekspor ketiga terunggul di Indonesia, dan memang benar: Indonesia merupakan pengekspor kelapa sawit terbesar di dunia. Lebih dari setengah minyak sawit di dunia diproduksi di Indonesia.
Minyak sawit sendiri dapat digunakan sebagai minyak goreng yang lebih murah; bahan dasar lotion, sabun, sampo, dan kosmetik; dan sebagai biodiesel: sebuah bahan bakar terbarui. Dari semua fakta ini, dapat dikatakan bahwa minyak sawit merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Namun, di balik sukses perkebunan minyak sawit untuk ekonomi Indonesia adalah kerugian penduduk dan lingkungan lokal.
Dalam praktiknya, bisnis minyak sawit di Indonesia menyebabkan degradasi lahan pertanian sekitar, sengketa lahan dengan warga setempat, dan penebangan hutan Indonesia yang sangat berharga.
Sejak 1999, pemerintah Indonesia mengesahkan beberapa undang-undang yang mewajibkan perkebunan kelapa sawit untuk berkonsultasi dengan warga lokal sebelum mengembangkan bisnisnya.
Meskipun demikian, terdapat banyak penyelewengan dari undang-undang tersebut. Misalnya, sekitar 76% total luas tanah Desa Olak Olak (sebuah desa transmigran dari Jawa pada tahun 1957) digunakan oleh PT Sintang Raya untuk perkebunan kelapa sawit tanpa klarifikasi kepada warga setempat yang pernah mengklaim tanahnya.
Aktivitas perkebunan lalu menyebabkan degradasi lahan gambut, yang lalu menyebabkan kebakaran dan hilangnya nyawa flora dan fauna di Desa Olak Olak. Selain itu, sejak adanya perkebunan sawit dari PT Sintang Raya, banyak pohon kelapa warga Desa Mengkalang Jambu diserang oleh hama kumbang tanduk.
Warga desa tersebut juga dirugikan oleh pembangunan kanal yang dilakukan PT Sintang Raya. Kanal ini menghambat penyaluran air keluar dari persawahan warga sehingga lahan persawahan tergenang oleh air asin dan tidak bisa dikelola. Padahal, sawah seperti ini merupakan sumber makanan dan uang warga lokal. Singkatnya, perkebunan minyak sawit PT Sintang Raya telah membuat kehidupan warga Kalimantan Barat lebih sulit.
Menurut penelitian oleh Human Rights Watch (2021), warga setempat tidak pernah dikonsultasi atau diberikan kompensasi yang layak. Semua hal ini melanggar Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2018 Pasal 21, yang menuntut pemegang izin lokasi untuk mencari kesepakatan dengan pemilik lahan sebelumnya serta menjaga dan melindungi kepentingan masyarakat setempat.
PT Sintang Raya tidak menanggapi demonstrasi dari warga lokal, bahkan setelah PTUN Pontianak dan TUN Jakarta telah membatalkan HGU-nya dan memerintahkannya untuk mengembalikan lahan kepada warga setempat.
Periode 1998 sampai dengan waktu penulisan artikel ini memang dipanggil “masa reformasi”, di mana pemerintahan berusaha memperbaiki kondisi Indonesia setelah banyak penyelewengan hak yang terjadi pada masa orde baru.
Namun, faktanya adalah pelanggaran hak masih terjadi. Warga desa Olak Olak sudah pernah memenangkan gugatan pada tahun 2011 untuk mengambil kembali hak tanah mereka, dan keputusan ini bahkan diperkuatkan oleh Mahkamah Agung pada tahun 2014.
Namun, PT Sintang Raya masih melakukan usaha di tanah tersebut dan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional gagal menegakkan keputusan pengadilan. Tanpa adanya konsultasi dari pihak perusahaan, bantuan konkret dari pemerintah untuk warga, ataupun pemberian kompensasi yang layak, kejadian ini merupakan perampasan properti secara sewenang-wenang.
Selain itu, banyak orang berpikir bahwa minyak sawit dapat menjadi sumber energi alternatif terbarui daripada menggunakan bahan bakar fosil. Walaupun memang merupakan sumber energi terbarui, juga perlu diperhatikan bahwa minyak sawit sebagai biodiesel memiliki emisi karbon 3 kali lebih banyak daripada bahan bakar fosil.
Lahan untuk penanaman kelapa sawit ini juga mengambil lahan hutan Indonesia, menggantikan kekayaan flora dan fauna Indonesia dengan monokultur kelapa sawit. Hutan yang sebelumnya menempati lahan kelapa sawit tersebut juga memiliki peran penting dalam menyerap dan menyimpan karbon dioksida.
Pembakaran hutan secara sembarangan untuk membuka lahan kelapa sawit juga menjadi masalah yang sangat besar di Indonesia sehingga pada 2015 Presiden Joko Widodo membentuk Badan Restorasi Gambut untuk membantu pemulihan hutan penyerap karbon, dan pada 2018 pemerintah bahkan berhenti memberikan izin untuk penebangan dan pembakaran hutan guna perusahaan minyak sawit. Namun, efektivitas semua aksi ini masih diragukan karena korupsi dan kelemahan penegak hukum. (science.org)
Kesimpulannya, minyak sawit tidak efektif untuk digunakan sebagai sumber energi alternatif terbarui, dan bahkan malah menyebabkan lebih banyak kerugian lingkungan alam daripada bahan bakar fosil.
Ada sangat banyak faktor yang menyebabkan kejadian ini, dari kegagalan untuk menegakkan hukum oleh pihak polisi hingga kegagalan untuk melindungi hak warga negara Indonesia oleh pihak pemerintahan.
Kedua hal ini disebabkan oleh satu akar masalah: desentralisasi di Indonesia masih jauh dari ideal dan karena itu pemerintah lokal masih “lemah”. Karena kelemahan pemerintah daerah, hal-hal seperti korupsi dapat dengan mudah terjadi dengan datangnya perusahaan yang lebih besar dan kaya daripada daerah itu sendiri.
Dengan masalah separah ini, tentu solusinya harus sistematis dan datang dari atas. Solusi yang harus dilakukan adalah investigasi dari pihak KPK, revisi peraturan menteri yang ada, pemberian wadah untuk warga setempat melapor kepada pihak hukum atau pemerintah, dan akhirnya penghukuman kepada pihak yang bersalah
Pertama, harus ada investigasi dari KPK. Sudah ada perintah dari Pengadilan Pontianak yang diperkuatkan Mahkamah Agung. Sesuatu seperti itu seharusnya sudah dieksekusikan, tetapi PT Sintang Raya masih menggunakan lahan milik warga secara sewenang-wenang. Ini berarti ada masalah besar dalam pihak yang seharusnya mengeksekusikan hasil pengadilan, yaitu pihak polisi. Oleh karena itu harus ada investigasi apabila terjadi korupsi.
Lalu, untuk mencegah hal ini terjadi lagi harus dilakukan sebuah revisi kepada undang-undang tentang izin lokasi. Seharusnya ada sebuah representatif dari pemerintahan yang mengawasi dan memastikan apabila konsultasi antara perusahaan dan warga setempat sungguh terjadi. Untuk menguatkan bukti bahwa konsultasi sungguh terjadi, sebuah persetujuan tertulis harus ditandatangani oleh pihak perusahaan, pihak warga, dan pihak pemerintahan. Diharapkan dengan ini konsultasi dan komunikasi antara perusahaan dan warga beneran akan terjadi.
Lalu, harus ada wadah untuk warga setempat agar mereka bisa melaporkan secara langsung kepada pihak hukum atau pemerintahan apabila perusahaan tidak “menjaga serta melindungi kepentingan umum” seperti bagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2018 Pasal 21 ayat 4. Dengan ini, apabila perusahaan menyebabkan kerusakan lingkungan yang merugikan kesejahteraan warga setempat, maka mereka bisa melaporkannya.
Akhirnya, semua hal ini harus dieksekusi oleh pihak polisi. Apabila KPK memang menemukan sebuah kesalahan di pihak polisi, maka mereka harus dihukum secara adil. PT Sintang Raya juga perlu dihukum secara adil. Diharapkan dengan adanya penghukuman yang layak, di masa depan akan ada lebih sedikit perusahaan yang melakukan pelanggaran hak atau korupsi karena tidak ingin dihukum.
Perusahaan minyak sawit memang merupakan tulang punggung ekonomi Indonesia, tetapi itu tidak membenarkan aksi pelanggaran hak yang dilakukan kepada warga di Kalimantan Barat, atau aksi pembakaran hutan kekayaan Indonesia untuk lahan monokultur. Hukum yang sudah ditulis tidak ditaati dan lebih parahnya tidak ditegakkan oleh pihak semestinya sehingga warga setempat dirampas hak tanahnya dan dirugikan oleh aktivitas perkebunan minyak sawit.
Kesalahan yang separah ini harus diperbaiki secara sistematis dari pihak negara, dengan investigasi, revisi, dan penghukuman. Apabila pemerintah mengambil aksi yang tepat, maka Indonesia dapat menikmati kekayaan minyak sawit tanpa merugikan warga lokal ataupun hutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H