Saya diangkat menjadi pegawai pada Februari 2016. Penempatan pertama saya di Sektor Pembangkitan Minahasa; Wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo. Satu takdir yang harus menjauhkan saya dari kenyamanan keluarga untuk beberapa waktu.
Ketika sekolah, pemahaman saya tentang energi listrik hanya bersumber dari buku-buku pelajaran: sebuah aplikasi Hukum Faraday pada generator, yang mengubah energi kinetik menjadi energi elektris, dengan cara menggerakkan partikel-partikel subatomik yang memiliki muatan tertentu. Sesederhana itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, saya juga memahami bahwa listrik memainkan peranan sentral dalam setiap aspek kehidupan manusia. Listrik membantu seorang anak membaca buku di malam hari, membantu mahasiswa menyelesaikan skripsinya, menciptakan keteraturan sistem transportasi dengan lampu lalu lintas, mengumandangkan suara azan, menghangatkan telur dalam inkubator, mengalirkan darah dalam mesin hemodialisis, dan lain-lain.
Di dunia ekonomi, listrik juga memiliki posisi penting. Bisnis dan industri, sebagai tulang punggung perekonomian, adalah pelanggan PLN dengan persentase pemakaian terbanyak. Tanpa listrik, tentu tidak ada bisnis dan industri. Bahkan, bisa jadi malah tidak akan ada kegiatan ekonomi sama sekali. Pertumbuhan ekonomi di suatu negara, selalu berbanding lurus dengan peningkatan penggunaan energi listrik di negara tersebut. Listrik menjadi bagian inheren terhadap kepentingan nasional suatu negara. Satu 'komoditas' dengan nilai ekonomis dan strategis yang sangat tinggi. Daftar ini bisa kita perpanjang dengan menilik juga aspek politik, sosial, budaya, agama, pendidikan, teknologi, dan seterusnya.
Saya berkesimpulan: listrik, adalah salah satu penemuan terpenting dalam sejarah peradaban manusia.
Masuk ke PLN, secara pribadi, memberi sudut pandang baru bagi saya untuk memahami energi listrik dari sisi yang berbeda. Selama ini, kita selalu melihat listrik sebagai 'barang jualan'. Listrik adalah 'benda mati' yang tidak memiliki moral. Listrik adalah entitas-entitas niratma (inanimate) yang tidak memiliki kesadaran akan keberadaanya. Berusaha mencari sisi humanis dari listrik, apalagi memperlakukannya secara manusiawi, adalah kesia-siaan belaka. Saya membayar, saya memakai, sudah.
Di PLN, saya bertemu dengan banyak orang dari seluruh penjuru negeri. Ketika menjalani On The Job Training, saya bertemu Pak Slamet, Supervisor Pemeliharaan Boiler di PLTU Sektor Teluk Sirih. Pelajaran paling berharga yang saya dapat dari beliau bukanlah dari hal-hal teknis perihal perbaikan mesin pembangkit, melainkan tentang bagaimana kita menghargai pekerjaan kita sekarang ini, lebih dari sekedar mata pencaharian, tetapi jalan hidup. Karena, ketika kita sudah sampai pada level ini, tidak akan ada rasa keluh kesah dalam bekerja, walaupun pekerjaan itu sebenarnya berat. Saya menjumpai orang-orang seperti Pak Slamet ini hampir di berbagai tempat. Di Gardu Induk, Unit Pendidikan dan Latihan, Kantor Pusat, rayon-rayon, di manapun.
Saya terkagum ketika menyadari realitas yang sebenarnya. PLN, ternyata, bukanlah organisasi raksasa dengan satu pemikiran yang homogen. Satu organisasi yang karena terlalu besar, menjadi angkuh untuk mendengarkan suara-suara kecil yang muncul di sekitarnya. PLN, dalam pemahaman baru saya, adalah rajutan dari berbagai fragmen-fragmen kecil kehidupan yang terakumulasi menjadi satu, didasari oleh persamaan visi dan tujuan.
Pertemuan dengan Pak Slamet, dan semua orang yang sudah menginspirasi saya tersebut, membuat saya berpikir ulang mengenai perspektif yang saya pakai sejak di bangku sekolah. Selama ini, saya memandang energi listrik hanya sebatas produk siap guna, kapital dalam dunia industri, angka dalam laporan pengusahaan perusahaan yang nantinya akan kita konversi menjadi uang untuk kemudian dijadikan tolok ukur prestasi kita selama satu tahun.
Kita seakan lupa, bahwa di balik pancaran cahaya bohlam lampu di rumah kita, ada begitu banyak tetesan keringat, dedikasi dan tekad yang bercita-cita menjadikan listrik sebagai sarana untuk menuju ke kehidupan yang lebih baik.
Kita menyalakan lampu, memakai kulkas, menyetrika baju, bekerja dengan komputer, semua seakan menjadi adegan biasa yang kita jalani setiap hari tanpa pernah ingat bahwa listrik dibuat dengan cara susah payah dan tidak mudah. Kita memakai listrik sesuka hati, merasa seakan-akan listrik disediakan oleh alam secara cuma-cuma dan tak terbatas. Kita lupa bahwa listrik dibuat dengan melibatkan tenaga manusia. Kita lupa, bahwa listrik pun punya sisi ‘manusiawi’.
Saya teringat dengan kisah William Kamkwamba, seorang pemuda Afrika yang membangun kincir angin dari barang-barang bekas untuk melistriki desanya di Malawi. William putus sekolah karena orang tuanya tidak memiliki biaya. Namun, dia tidak menyerah. Dia mempelajari banyak hal dengan membaca buku di perpustakaan yang ada di desanya. Mimpi William terlalu besar ketika harus dihentikan dengan keterbatasan dana dan daya.
Cerita-cerita semacam ini, menjadi sekedar fiksi bagi kita masyarakat yang hidup di dunia modern. Kita yang sudah terbiasa menakar apa pun dengan hitung-hitungan ekonomis, hampir susah untuk mempercayai bahwa ada seseorang yang berbuat sesuatu tanpa motif profit, apalagi dalam penyediaan 'komoditas' sepenting energi listrik.
Semangat inilah yang selalu coba saya munculkan dari dalam diri. Semangat berbagi pada sesama. Semangat pengabdian ingin memajukan negeri. Semangat yang merasa bahwa bayaran termahal yang kita terima bukanlah dalam bentuk rupiah, melainkan kebahagiaan pelanggan ketika semua kebutuhan hidupnya yang membutuhkan listrik sebagai sumber energi, dapat terpenuhi.
Pagi itu, sebelum berangkat kerja, di kamar saya bercermin sambil bertanya dalam hati: sekarang, apa makna listrik dan PLN bagi diri saya sendiri, terutama setelah ikut terjun langsung dalam usaha penyediaannya? Apakah sekedar tempat bagi saya mencari nafkah, teman dan pengalaman; atau ada makna lain yang bisa saya ambil sejak bergabung dengan perusahaan ini? Lalu, ketika saya sudah menemukan jawabannya, apakah kemudian pemahaman baru itu akan membuat saya melihat hidup dengan cara yang sama sekali baru dari sebelumnya? Saya akan mematikan lampu saat akan pergi, menyalakan televisi jika memang ingin menonton dan bukan hanya sebagai pengusir sepi, segera mencabut charger handphone ketika batrenya sudah terisi penuh, dan menghargai listrik layaknya 'sahabat penolong', bukan 'barang jualan' lagi.
Jujur, sampai saat ini, saya belum bisa menjawab.
Ketika membicarakan listrik di negeri ini, berarti kita membicarakan PLN. Dan ketika membicarakan PLN, berarti kita membicarakan tentang banyak hal.
PLN adalah Badan Usaha Milik Negara dengan aset riil terbesar di Indonesia. PLN adalah satu dari lima ratus perusahaan dengan pendapatan terbanyak di dunia. PLN adalah deru mesin mobil pelayanan teknik yang tak kenal waktu, berusaha datang ke tempat pelanggan secepat mungkin ketika ada keluhan. PLN adalah mata operator yang harus menahan kantuk ketika mendapat shift malam untuk berjaga di mesin pembangkit. PLN adalah nyali para pekerja PDKB yang dengan gagahnya memanjat tiang transmisi untuk mengatasi gangguan. PLN adalah perjalanan tiap butir elektron yang dibangkitkan dari generator di pusat listrik, hingga sampai ke rumah-rumah pelanggan. PLN adalah lima puluh ribu pegawai dengan berbagai latar belakang, pemikiran, dan pandangan; namun memiliki satu tujuan yang sama: melistriki nusantara.
Apapun makna PLN bagi kita, apapun definisi PLN untuk kita, saya kira kita semua harus sepakat, bahwa PLN adalah pengabdian, PLN adalah kedinamisan, PLN adalah kerja nyata.
Selamat Hari Listrik Nasional ke 71.
Vava Muhammad Risdhian
Assistant Engineer Perencanaan dan Pengendalian Bagian Operasi dan Pemeliharaan
Sektor Pembangkitan Minahasa; Wilayah Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Gorontalo
https://twitter.com/vavadisini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H