Menurut catatan EP Wieringa dalam “Carita Bangka” (Rijksuniversiteir Leiden, 1990) mengalihbahasakan catatan Legenda Bangka yang disusun oleh Haji Idris tahun 1861, pasal 26, menyebutkan bahwa orang Sekak adalah keturunan prajurit Tuan Sarah. Tuan Sarah seorang pedagang yang ditunjuk Sultan Johor untuk memimpin pasukan penyerbu bajak laut di Bangka pada awal 17. Setelah para bajak laut berhasil diusir, sebagian pasukan tersebut tetap tinggal di Bangka. Ini yang menjadi cikal-bakal orang Sekak.Terkadang Suku Sekak dikenal juga dengan Manih Bajau ( keturunan bajak laut [2]).
Batman, tokoh adat Sekak, menyebutkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Lingga, salah satu kabupaten di Provinsi Kepulauan Riau. Dari Lingga, baru kemudian merantau ke Belitung. Didasari dengan lagu tradisional Sekak yang berjudul Campak Daik. Daik merupakan ibu kota Kesultanan Lingga. Sekarang Daik menjadi ibukota Kabupaten Lingga dengan wilayan laut berbatasan dengan Kepulauan Bangka Belitung.
Lioba Lenhart dalam Konstruktion, Oszilation udn Wandel Etnicher Der Orang Suku Laut (Shaker, 2002) memasukkan orang Sekak sebagai sub-suku orang laut. Suku Laut yang terdapat di Natuna, Anambas, Tanjung Pinang dan Lingga sebagai orang Laut. Sedangkan yang berada di sekitar Bengkalis, Riau sebagai orang Kuala.
Orang Sekak memiliki pola hidup berpindah-pindah ( nomaden) dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu pulau ke pulau lainnya dengan menggunakan perahu. Pola perpindahan tergantung dengan pergantian musim yang mempengaruhi periode tangkap ikan. Jika periode tidak menangkap ikan, mereka akan tinggal sementara di sekitar pantai.
Baru tahun 1985, mereka menetap di daratan dan melaut ketika mencari nafkah. Setelah ada kebijakan tinggal di darat diberlakukan oleh pemerintah, orang Sekak mulai menikah dengan orang suku-suku lain. Sehingga tidak banyak yang bisa disebut sebagai orang Sekak Asli. Tinggal di darat memberi pengaruh akan semakin hilangnya identitas sebagai orang laut. Sebelumnya orang Sekak tinggal di perahu yang dikenal dengan Kolek. Dengan lebar 2m dan panjang 10m. Kolek ini menjadi rumah bagi keluarga orang Sekak. Pada waktu tinggal di kolek, orang Sekak hanya sesekali ke darat untuk mencari air tawar jika telah lama tidak turun hujan di lautan. Sekarang mereka telah tinggal di parak (rumah panggung).
Hasil penelitian menunjukkan ada sekitar 120 keluarga Sekak di seluruh Bangka Belitung. Dan hanya 50 orang yang telah berusia di atas 50 tahun yang dapat berbicara bahasa Sekak. Sisanya berbicara dalam bahasa melayu Bangka atau Belitung.
Jumlah orang Sekak terus merosot. Diduga dipicu pernikahan dengan kerabat dekat sebagai tuntutan menikah dengan keluarga asli Sekak. Dikhawatirkan akan hilangnya adat-istiadat orang Sekak. Ada tinggal beberapa orang yang memahami adat istiadat Sekak seperti Wak Jem dan Batman yang mengetahui detail ritual, mantra-mantra dan masih fasih berbahasa Sekak.
Identitas penamaan suku
Sebagian orang di dalam suku menyebut dirinya orang Sekak, yang lain menyebut sebagai orang Sawang. Penamaan orang Sekak mengandung sedikit konotasi negatif. Ada yang berpendapat jika sebutan tersebut sebagai pelesetan dari kata “pekak” (dalam bahasa Bangka) berarti tunarungu. Terlalu banyak menyelam, mengakibatkan pendengaran orang Sekak terganggu.