Mohon tunggu...
Sosbud

Eksistensi Gang sebagai Transformasi Ruang Publik Kampung Perkotaan

1 Oktober 2015   00:06 Diperbarui: 1 Oktober 2015   01:16 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh : Vemi Asa Hardini

(Mahasiswi Perencanaan Wilayah dan Kota UNS, Pegiat Literasi Komunitas Soto Babat)

Sejak 1986, PBB menetapkan Senin pekan pertama bulan Oktober sebagai Hari Habitat Dunia sebagai bentuk kepedulian terhadap pemenuhan perumahan dan permukiman yang layak bagi semua kalangan masyarakat. Isu yang diangkat tahun ini adalah isu mengenai ruang publik untuk semua yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam menyediakan ruang publik yang dapat diakses dan dimanfaatkan oleh semua lapisan masyarakat tanpa mengambil keuntungan dari setiap penggunaannya. (UN Habitat Issue Papers, 2015)

Di era pembangunan pascareformasi, prinsip pembangunan yang dilaksanakan sekarang adalah yang berorientasi pada pembangunan yang berakar ke bawah, yaitu yang bermula dari manusia dan berakhir kepada manusia. Pembangunan (ruang) kota, arsitektur, dan semua bentuk fisik lingkungan kesemuanya adalah dari manusia dan berakhir untuk manusia. (Sugiono, 2013). Dengan demikian segala hal yang bersifat fisik pada akhirnya dimuarakan untuk satu kepentingan yaitu kesejahteraan manusia. Kebutuhan-kebutuhan dasar manusia minimal harus dapat diakomodasi oleh para pemangku kebijakan, termasuk dalam hal ini beraspirasi dan mengaktualisaskan diri.

Dalam sejarah masyarakat Yunani yang mengagungkan demokrasi untuk beraspirasi, Agora dibangun agar mampu digunakan masyarakat sebagai ruang publik, ruang untuk berkumpul, ruang untuk menyatakan pendapat, dan ruang sosial-politik yang lahir secara spontan. Tidak hanya Eropa, Madinah yang dipimpin dan dikembangkan oleh Rasulullah Muhammad SAW. ternyata mampu mewadahi aspirasi masyarakatnya dengan majelis-majelis yang dijadikan ruang bagi masyarakatnya dan menerapkan prinsip demokrasi yang dipegang oleh masyarakat Eropa.

Berbicara tentang Hari Habitat Dunia, tidak salah rasanya jika membuka pembahasan tentang kampung perkotaan yang kini semakin tersingkir dan termarginkan oleh keberadaan bentuk-bentuk fisik kota baru. Padahal bangunan-bangunan tinggi tersebut adalah pendatang yang “mengusik” keberadaan kampung kota sebagai sesepuh yang lebih awal tinggal. Keterdesakan ini tidak hanya muncul sebagai dampak minimnya kemampuan penduduknya dalam mengikuti perkembangan zaman, yang memunculkan dampak pada susahnya masyarakat kampung kota dalam memenuhan kebutuhan dan bersaing dalam hal ekonomi. Marginalisasi juga mewujud dalam hilangnya bentuk-bentuk ruang publik, tempat di mana aspirasi masyarakat banyak tertuang. Kebutuhan dasar manusia untuk angkat bicara (beraspirasi) menjadi tidak terwadahi karena sumpeknya ruang yang semakin terdesak dengan adanya bangunan tinggi, sementara masyarakat kampung tidak memiliki akses untuk memiliki tanah “mereka” sendiri. Kampung perkotaan cenderung terkesan kumuh dan kuno, markas bagi orang-orang miskin dengan pendidikan yang rendah. Hal ini bisa dilihat pada definisi kampung yang terdapat dalam beberapa literatur. Budiharjo mendefinisikan kampung sebagai kawasan hunian masyarakat berpenghasilan rendah dengan kondisi fisik yang kurang baik. Turner berpendapat jika kampung adalah kawasna permukiman kumuh dengan ketersediaan sarana umum buruk atau tidak ada sama sekali dan kerap disebut sebagai slum atau squatter area. Padahal pada kenyataannya banyak kampung-kampung di Indonesia, khususnya di Kota Surakarta, menyimpan sejarah mengenai kota. Bahkan pengembangan kampung menjadi salah satu inovasi beberapa pemerintah kota, seperti Pemerintah Kota Surabaya dalam rangka mewujudkan smart-city di bidang ekonomi kreatif.

Minimnya akses masyarakat kampung kota akhirnya juga berdampak pada minimnya akses terhadap ruang publik. Sementara ruang publik tidak hanya berperan dalam tata ruang fisik dan lingkungan, tetapi juga memiliki nilai sosial budaya. Sedangkan ketersediaannya mulai tidak diutamakan di mana hal tersebut akan berdampak pada hilangnya area bermain anak, interaksi, komunikasi, dan kebersamaan antarwarga.

Gang Menjadi Solusi

Telah sama-sama kita lihat bahwa fisik sebuah kampung kota sangatlah sempit dan berdekatan antara satu rumah dengan rumah yang lain. Tak jarang, hanya sebuah ganglah yang menjadi solusi atas hilangnya ruang publik mereka sebagai masyarakat kota. Tanpa merasa risih, warga kampung akan meletakkan kompor mereka di serambi rumah, mencuci di teras, atau menjemur pakaian-pakaian mereka bersamaan dengan warga lainnya. Di gang-gang sempit itu pula permainan sepak bola akan berpindah karena ketiadaan lapangan untukmewadahi ekspresi anak-anak dalam menyalurkan kebutuhan bermainnya. Dan hal tersebut benar-benar terjadi di banyak gang di perkotaan. Tanpa kita sadar, di sanalah interaksi-interaksi telah terjadi.

Referensi :

Soetomo, Sugiono. 2013. Urbanisasi & Morfologi : Proses Perkembangan Peradaban dan Wadah Ruangnya Menuju Ruang yang Manusiawi. Graha Ilmu : Yogyakarta.

http://ciptakarya.pu.go.id/dok/runtext/Buku-Panduan-Hari-Habitat-Dunia-2015.pdf

http://eprints.undip.ac.id/347/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun