***
“Na, ayo kita pulang. Tidak baik menangisi yang telah dipanggil oleh-NYA, lebih baik kita kirimkan do’a untuk ayah, semoga amal dan ibadah beliau diterima, dan beliau di tempatkan di tempat yang layak disisi-NYA”. Aku mengamini ucapan mas Rian, lalu beranjak dan mengikutinya ke mobil. Beruntungnya aku bisa bersanding dengan seorang lelaki pilihan yang nyaris sempurna, baik, alim, pintar, dan selalu mengingatkanku saat lupa dan salah.
Sepanjang perjalanan pulang, aku hanya diam membisu, menelusuri bait-bait penyesalanku, bunga-bunga kebodohanku, dan istana keegoisanku. Ayah pasti bahagia sekali jika saat-saat terakhir aku ada di sampingnya, menemaninya bercerita hanya untuk sekedar menghabiskan hari. Ayah juga pasti bangga tak ayalnya orang tua lain jika saja aku minta untuk hadir di acara wisudaku, apalagi saat itu aku berhasil meraih gelar sarjana dengan peringkat cumlaude, bahkan bisa mendapatkan kontrak kerja dengan perusahaan ternama. Tapi, kini semua hanyalah angan yang tak mungkin terwujud, yang hanya bisa ku titipkan pada awan dan burung yang tengah berkicau.
Setibanya di rumah, ku basuh anggota wudhu’ ku, lalu kugelar sajadah panjang. Allahu akbar, takbiratul ihram mengiringiku untuk berjumpa dengan-NYA. Ku akhiri dengan untaian do’a panjang dan surah Yasin untuk ayah. “Shadaqallaahul’adhiim”, kucium mushaf kecil pemberiannya. Sekarang, semua telah terlambat, aku berjanji pada ayah untuk selalu menjadi yang terbaik.
"semua ini hanya cerita fiktif belaka, cuma mencoba untuk menjadi seorang penulis amatir yang bisa membuat cerita yang hidup. mohon maaf kalau ada kesamaan nama dan perjalanan hidupnya. terimakasih untuk antusias dan dukungannya....."
^_^