Oleh : Varhan Abdul Aziz, S.Kom, M.SiSekretaris Eksekutif Indonesia Bureaucracy & Service Watch (IBSW)
Minggu lalu saya mendapat undangan dari Direktorat Jenderal Catatan Sipil, Direktorat Pendaftaran Penduduk Kemendagri. Agenda kegiatan utamanya adalah pendaftaran penduduk dengan pemberian E-KTP dan KK bagi suku anak dalam. Sebagai pengamat birokrasi jiwa pemantau saya  terpacu untuk dapat melihat langsung di pedalaman Indonesia apakah pemerintah mewujudkan dirinya dalam entitas yang diharapkan.
Selama ini saya banyak memantau pola pelayanan birokrasi mulai dari Kementerian sampai Desa. Namun hadir di Jambi ke pedalaman hutan bertemu langsung dengan Suku Anak Dalam adalah satu hal berbeda. Sama ketika saya bersama masyarakat Suku Baduy selama sebulan, atau ketika berinteraksi dengan masyarakat asli Raja Ampat di Pulau Waigeo, seperti juga ketika saya bertemu dengan Suku Paser dan Suku Dayak di Hutan Kalimantan.
Mereka yang belum pernah melihat perjuangan abdi negara sampai kepedalaman begini, pasti sering terstigma masa lalu tentang pelayanan catatan sipil yg di asosiasikan dengan lambat, rumit dan pungli. Faktanya hari ini berdasarkan pantauan kami, Dirjen Catatan Sipil Kemendagri dan jajarannya di SKPD daerah adalah salah satu dari instansi terdepan yg berubah, maju dan mempermudah masyarakat.
NIK sebagai single identity number di Indonesia telah memudahkan Rakyat Indonesia dalam mengurus segala berkas kependudukan, mulai dari KK, Akta kelahiran, Surat Kematian dan lainya yang total produk Adminduk ini mencapai 24 produk. Berdasarkan diskusi saya selama perjalan dengan Direktur Pencatatan Penduduk Dr. Yanma, ada fakta menarik bahwa sistim NIK kita sedemikian canggih hingga bisa kita simpulkan Indonesia punya sistem yang lebih baik dari Jerman.
Di Jerman yg memiliki sistim 16 negara bagian, antar wilayahnya tidak bisa melihat database kependudukan. Bahkan pusat tidak bisa melihat data daerah. Sehingga potensi dan fakta kejahatan relatif memungkinkan, bahkan ada satu orang yg memiliki 10 identitas yg digunakan sebagai modus kriminal. Di Indonesia, sudah satu data, buat SIM, STNK, Bayar Pajak, Buat Pasport, Buka Rekening, sampai kredit harus menggunakan NIK KTP El, ini KTP sangat berharga.
Sedemikian berharganya, sampai Penduduk Suku Anak dalam yang sesuai adat tidak menghendaki perekaman KTP EL, menjadi tercerahkan dan merasa memiliki KTP El adalah satu hal yang penting serta tidak melanggar adat. Pada dasarnya mereka tercerahkan sebagai efek dari pandemi yang membuat mereka kesulitan dalam mencari kehidupan.Â
Sehingga membutuhkan Bansos Pemerintah. Namun Implikasi sistimnya, guna menghindari penyimpangan penyaluran, maka bansos hanya bisa disalurkan berbasis NIK. Mereka Anak Dalam yg belum memiliki KTP belum bisa dapat.
Maka mereka mau dibuatkan, intinya bansos Hak mereka tinggal disalurkan kalau KTP sudah ada. Berdasarkan wawancara saya dengan salah satu Tumenggung (kepala suku) bapak Melambong , ia menyampaikan bahwa masyarakat semangat memiliki KTP karenq butuh untuk mendapatkan bansos. Selain itu dengan KTP El anak2 mereka bisa sekolah, mereka bisa mendapat fasilitas kredit motor, dan lain2 sehingga mereka merasa terbantu dengan adanya KTP EL Ini.
Perekaman KTP el dilaksanakan di Desa Jelutih. 3 Jam waktu saya tempuh dengan mobil berkecepatan 100kpj keatas yg dikendarai driver professional yg mengawal kami. Bisa dibayangkan kalau tidak ngebut berapa jam baru sampai? Dari Kantor Desanya pun lokasi tinggal mereka yang nomaden masih berjarak 2.5 jam perjalanan mobil. Silahkan dibayangkan kembali betapa energi yang harus dicurahkan para abdi negara dari Jakarta dan Dinas Capil Prov Jambi untuk memberikan hak warga negara bagi mereka. Salute.
Saya pun dibuat mual dengan kontur perjalanan yg meliuk liuk. Namun ketika tiba dan berinteraksi serta berdiskusi dengan mereka, para Anak Dalam yg dengan tulus berterimakasih atas KTP yg mereka terima, rasanya lelah itu terbayarkan. Ada haru yg meresap dalam, inilah upaya para pengabdi bangsa untuk memastikan 100% Seluruh Warga negara mendapatkan tanda kewarganegaraan mereka.
Dulu kita mungkin sering meremehkan arti KTP, apalagi dengan bentuknya yg cenderung asal di pres plastik laminating. Kini bentuknya sudah sedemikian  prestise dengan chip canggih yg membuat KTP kita berkelas dunia. Sekarang KTP ini seperti nyawa bagi warganegara, sebuah identitas yg menyatakan diri kita ada dan terdaftar, serta sebuah 'jimat' sakti untuk mengurus semua administrasi pendaftaran, baik ke pemerintahan, swasta, perbankan dan lainya semua dibutuhkan.
Setelah mendapat KTP El senyum sumingrah dari para Anak Rimba ini (sebutan lain bagi mereka) terpancar jelas. Â Tanpa bermaksud berlebihan, mereka terlihat gembira sekali, karena sekarang mereka paham fungsinya. Kartu tersebut pun mereka jaga baik2, tidak akan mereka hilangkan. Tidak seperti dulu saat mereka belum sadar pentingnya KTP, ada yg sudah pernah dibuatkan, namun setelah dibuat dibuang begitu saja. Sekarang kartu2 itu biasanya disimpan oleh para wanita yang tugasnya menjaga benda2 penting. Aman.
Yang menarik dan menjadi tantangan adalah, adat anak dalam yg melarang wanita untuk di foto. Hal ini tentu menyulitkan perekaman, karena KTP El harus memiliki foto si pemilik, untuk menghindari pemalsuan identitas. Disinilah kesabaran dan ketulusan para petugas diuji, dengan persuasif dan dibantu oleh LSM setempat yg melakukan pendekatan. Akhirnya para tumenggunh berhasil membujuk Ibu2 Anak Dalam boleh di foto hanya untuk KTP. Saya pun takut memfoto mereka, karena kalau ketahuan bisa kena denda adat seperti di papua yg nilainya bisa puluhan juta. Ngeri.
Kita hargai prinsip dan kearifan lokal yang mereka jaga. Maka hanya Prianya saja yg bisa saya dokumentasikan, diluar ekspektasi saya, mereka orang2 yang ramah dan komunikatif jauh dari kesan primitif. Ibu Menteri Sosial Risma dan Dirjend Dukcapil Prof Zudan hadir ke Kantor Desa Jelutih, bahkan meneruskan perjalanan untuk menyerahkan bantuan langsung. 2.5jam lagi hingga tiba di lokasi Hutan Anak dalam. Benar2 menguras stamina, namun sedemikian niatnya beliau2 ingin menunjukan bahwa no one left behind. Seluruh Warga negara akan mendapatkan haknya.
Hingga saat ini ternyata sejak 2009 sampai 2021 sudah 12 tahun proses ini berlangsung. Dan sudah 99.11% Warga negara usia dewasa yang terekam!!! Luar biasa effort besar dan panjang, namun. menghasilkan database kependudukan yang kuat dan  faktual. Sisa 0.89% dan terus bertambah karena peningkatan usia dewasa yang akan terus dikejar oleh pemerintah, hingga semua yg belum mendapat haknya tertunaikan.
Dan perjalanan sayapun selesai 4 hari di Jambi, membawa oleh2 Kaki Lecet dan rasa bahagia, karena saudara2 saya di pedalaman manapun benar2 mendapat jaminan, menjadi Warga Negara Indonesia seutuhnya.
Regards!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H