Mohon tunggu...
varda lulu sm
varda lulu sm Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

mahasiswa ilmu komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Komunikasi Krisis PPN 12% pada Biaya Admin QRIS

10 Januari 2025   17:14 Diperbarui: 10 Januari 2025   17:18 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: bacakoran.co

Penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% pada biaya administrasi transaksi QRIS telah memicu berbagai perdebatan di kalangan masyarakat dan pelaku usaha. Kebijakan yang mulai diberlakukan pada awal tahun 2024 ini merupakan implementasi dari UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Seperti yang disampaikan oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo, "Pengenaan PPN pada biaya admin QRIS merupakan bagian dari upaya pemerintah dalam mengoptimalkan penerimaan negara dari sektor digital yang terus berkembang pesat." Namun, di balik tujuan fiskal tersebut, terdapat kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap inklusi keuangan digital yang selama ini menjadi fokus pemerintah.

Ada indikasi bahwa regulator tidak mempersiapkan dan menginformasikan masyarakat dengan baik sebelum penerapan kebijakan PPN pada biaya administrasi QRIS. Meskipun QRIS telah menjadi tulang punggung transformasi digital dalam pembayaran sehari-hari, pemerintah dan lembaga terkait tampaknya tidak menyelidiki secara menyeluruh dampak kebijakan ini terhadap adopsi pembayaran digital di Indonesia, khususnya di sektor UMKM. Kebijakan ini terkesan mendadak dan membingungkan masyarakat karena keterstrukturan sosialisasi, terutama bagi bisnis mikro yang sensitif terhadap perubahan biaya operasional.

Penerapan PPN pada biaya admin QRIS berpotensi memberikan tekanan tambahan bagi para pelaku UMKM yang selama ini mengandalkan sistem pembayaran digital. Menurut data dari Bank Indonesia, "Hingga akhir tahun 2023, lebih dari 35 juta merchant QRIS telah terdaftar di seluruh Indonesia, dengan mayoritas merupakan pelaku usaha mikro dan kecil." Peningkatan biaya transaksi, meskipun terlihat kecil, dapat berdampak signifikan pada margin keuntungan para pedagang kecil yang beroperasi dengan margin tipis.

Ketika kebijakan ini mulai diberlakukan, respons negatif segera bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat. Para pelaku UMKM, yang selama ini menikmati kemudahan QRIS dan biaya administrasi yang murah, menghadapi dilema antara kembali ke transaksi tunai atau tetap menggunakan QRIS. Untuk menanggapi masalah ini, pemerintah dan Bank Indonesia menjelaskan bahwa PPN hanya dikenakan pada biaya administrasi, bukan pada nilai transaksi. Meskipun demikian, penjelasan ini tidak sepenuhnya meredakan kemarahan masyarakat. Banyak asosiasi pedagang dan UMKM menyuarakan ketidaksetujuan mereka karena mereka khawatir margin keuntungan mereka akan semakin tergerus. Pelaku usaha kecil, yang merupakan pengguna utama layanan QRIS, cenderung menjadi objek dari respons krisis yang cenderung reaktif.

Di sisi lain, penetapan PPN pada biaya admin QRIS dapat dipandang sebagai langkah penyetaraan perlakuan perpajakan di sektor keuangan digital. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Aviliani, berpendapat bahwa "Pengenaan PPN pada layanan keuangan digital merupakan konsekuensi logis dari transformasi digital yang sedang berlangsung." Namun, timing penerapannya perlu dipertimbangkan mengingat kondisi ekonomi yang masih dalam masa pemulihan. Bank Indonesia mencatat "Pertumbuhan transaksi QRIS yang mencapai 400% pada tahun 2023," menunjukkan bahwa sistem pembayaran digital telah menjadi tulang punggung transformasi ekonomi digital Indonesia.

Beberapa pelajaran penting dapat dipetik dari perdebatan ini setelah krisis. Pertama, dampak kebijakan harus diperiksa secara menyeluruh sebelum diterapkan, terutama jika berkaitan dengan instrumen pembayaran yang telah diterima secara luas. Kedua, sangat penting untuk melakukan komunikasi yang terorganisir dan jelas kepada seluruh pemangku kepentingan. Ketiga, penting untuk mempertimbangkan kondisi usaha kecil dan menengah (UMKM) yang masih dalam proses pemulihan setelah pandemi. Ke depan, untuk meminimalkan dampak kebijakan serupa terhadap sektor UMKM, pemerintah harus mengembangkan mekanisme insentif atau kompensasi. Selain itu, evaluasi berkala terhadap pelaksanaan kebijakan ini diperlukan untuk memastikan bahwa tujuan penerimaan negara tetap selaras dengan upaya inklusi keuangan digital.

Solusi yang dapat dipertimbangkan adalah penerapan kebijakan yang lebih terdiferensiasi berdasarkan skala usaha. Sebagaimana diusulkan oleh Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, "Pemerintah dapat mempertimbangkan pemberian insentif atau kompensasi khusus bagi UMKM untuk mengimbangi dampak pengenaan PPN pada biaya admin QRIS." Pendekatan bertahap dan selektif ini dapat membantu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi digital sambil tetap memperhatikan aspek penerimaan negara.

Krisis PPN QRIS ini menunjukkan betapa pentingnya mengimbangi kepentingan penerimaan negara dengan pemberdayaan ekonomi digital basis. Untuk membuat peraturan serupa di masa mendatang, pengambil kebijakan harus mengambil pelajaran dari krisis ini. Kebijakan yang bermaksud baik justru dapat mengganggu agenda transformasi digital nasional jika kepentingan berbagai pihak tidak diatur.

Melihat ke depan, keseimbangan antara kepentingan fiskal dan pengembangan ekonomi digital perlu terus dijaga. Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menekankan bahwa "Digitalisasi sistem pembayaran merupakan kunci dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional dan inklusi keuangan." Oleh karena itu, evaluasi berkala terhadap dampak kebijakan ini perlu dilakukan untuk memastikan bahwa pengenaan PPN pada biaya admin QRIS tidak kontraproduktif terhadap upaya digitalisasi ekonomi yang telah dibangun selama ini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun