Tahun 2014 ...
Adalah tahun di mana saya baru saja menduduki semester dua di bangku SMP, sedang dalam masa yang teramat ambisius karena belajar di tempat yang baru dengan suasana yang baru pula.
Saya masih ingat di pagi hari itu, saya, yang kala itu masih menjadi gadis kecil yang dikuncir kuda berpamitan pada ibu saya untuk berangkat kesekolah dan diantar oleh ayah saya. Tiba-tiba ketika saya sedang mencium tangan ibu, beliau melihat ada sesuatu yang aneh di belakang telinga kiri saya.
"Lho, kok ini kayak ada benjolan ya?"
Disitulah cerita perjuangan saya dimulai.
Saya dibawa ke sebuah RSIA di daerah Menteng, Jakarta Pusat untuk menemui dokter spesialis bedah anak. Kemudian dokter tersebut meresepkan saya satu set obat lengkap dengan antibiotik nya, kemudian beliau memberi tahu bahwa ini adalah sebuah kelenjar yang apabila ketika diberi obat tidak kunjung hilang maupun mengecil, maka harus dilakukan tindak operasi.
Hah? Operasi? Nggak pernah terbayang sama sekali di benak saya bahwa saya, seorang gadis kecil penakut, harus menjalankan tindakan yang paling saya hindari sejak kecil.
Namun ternyata ketakutan saya benar, setelah saya meminum obat tersebut secara teratur sesuai anjuran dokter, benjolan sebesar biji salak tersebut tak kunjung mengecil apalagi hilang.
Ya tau lah, tindakan apa selanjutnya.
Tapi (bodohnya) saya menolak keras untuk dioperasi, karena saya merasa benjolan ini nggak sakit dan juga tidak mengganggu. Saya tetap bersikeras untuk mencari jalan lain selain operasi untuk penyembuhan benjolan ini.
8 bulan setelahnya, saya kembali mendatangi rumah sakit yang berbeda, namun jawaban dokternya tetap sama, "Operasi"