Mohon tunggu...
Gaya Hidup

Dibalik Tato

16 Mei 2016   23:14 Diperbarui: 17 Mei 2016   18:44 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Latar Belakang

Secara alamiah manusia dilahirkan dengan tubuh dengan segala ke sempurnaannya untuk dapat berkomunikasi dengan sesama. Selayaknya manusia kita akan mengubah, menambahi, dan memodifikasi tubuh kita. Manusia memiliki hak atas tubuhnya dan pilihan-pilihan yang ia buat untuk tubuhnya, seperti merajah tubuh atau tato.

Sebelum jauh membahas tato, istilah tato dari segi kebahasaan, nyaris memiliki kesamaan di belahan dunia. Contohnya adalah tatoage, touage, tatuaggio, tatuar, tatuaje, tattoos, tattueringar, tatuagens, tatoveringer, tattoos, dan tatu. Tato termasuk dari bagian body painting,karena kegiatannya berupa menghias tubuh dengan gambar pada kulit menggunakan sejenis jarum atau benda dipertajam yang terbuat dari flora, kemudian gambarnya dihias dengan pigmen berwarna-warni (Olong, 2006:83).

Dalam bahasa Indonesia, kata tato merupakan pengindonesiaan dari kata tattoo yang berarti goresan, gambar,atau lambang yang membentuk sebuah desain pada kulit tubuh. Di dalam Ensiklopedia Indonesiadijelaskan bahwa tato merupakan lukisan berwarna permanen pada kulit tubuh (1984:241).

Mendengar atau membaca tato pasti sebagian besar masyarakat mengkonotasikan dengan hal-hal berbau kriminal dan negatif. Namun jauh sebelum stigma negatif tersebut terbangun dalam masyarakat. Tato merupakan simbol atau penanda bernilai spiritual, magis, transidental, dan religius bagi beberapa suku di Indonesia.

Namun media dengan pemerintah sebagai pengontrolnya telah mengubah nilai tesebut menjadi hal berbabu negatif pada masa Orde Baru. Pada masa ini media tidak hentinya membordir audiens dengan isu-isu negatif berkaitan dengan tato seperti Petrus  – penembak misterius – terjadi pada tahun 1983-1984 yang diberlakukan kepada penjahat atau pelaku kriminal yang tubuhnya bertato.

Stigma negatif mengenai tato pada masa orde baru ini tidak serta merta menghilang seiring pemerintahan yang berganti. Terbukti dengan pemarjinalan kaum bertato dalam pemerintahan. Namun pergantian pemerintahan ini juga membawa nafas segar dalam kebebasan, sehingga sebagian orang memilih bertato untuk menunjukkan kebebasan tersebut.

Ketika tato menjadi tindakan yang tak mengenal batas-batas geografis, ideologi, etnik, gender, ras, dan kebudayaan, maka hal tersebut akan dipandang sebagai cermin kebebasan. Sampai akhirnya tato menjadi kebudayaan yang didominasi oleh sebagian  besar kalangan muda – International Youth Culture(Olong, 2006 : 5). Disini pemaknaan tato mulai bergeser, dari spiritual menjadi kriminal dan kini menjadi kian personal. Penikmat tato memiliki pemaknaan yang beragam dalam pilihan merajah tubuh atau tato.

Tato sendiri termasuk budaya populer pula, karena beberapa ciri seperti banyak disukai orang, dikerjakan secara rendahan, dikonsumsi secara individual, dan menyenangkan (Williams, 1983 : 87-88). Tato kini semakin membumi, dapat dinikmati oleh banyak anak muda walaupun masih terbatas pada daerah perkotaan. Tato kini bukan hal yang sakral dimana orang yang ingin bertato harus mampu membawa kepala musuh, tato kini dapat dilakukan bagi mereka yang merasa mampu. Oleh karena itu tato tidak bisa hanya dilihat dari satu sudut pandang saja, terlebih lagi dari stigma yang dibangun pada masa Orde Baru dulu. Oleh karena hal tersebut pula saya merasa perlu untuk membuat penjabaran mengenai sisi lain dari tato.

Pembahasan

Ada satu hal dalam pemaknaan tato yang meskipun begeser namun sama-sama menandakan sebuah identitas. Dahulu jauh sebelum manusia menggunakan tanda pengenal berupa kartu, beberapa suku pedalaman di Indonesia seperti Dayak dan Mentawai menggunakan tato sebagai penanda identitas suku tersebut. Tato yang digunakan oleh suku tersebut tidak serta merta didapatkan ketika orang tersebut merasa ingin namun memiliki persyaratan dalam adat mereka. Tato bukan hanya digunakan sebagai penanda kesukuan namun juga digunakan sebagai penunjuk status sosial atau strata orang tersebut.

Dalam budaya populer tato masih digunakan sebagai penanda identitas, dimana beberapa geng menjadikan tato sebagai kebertubuhan orang tersebut terhadap geng itu. “Tato dalam kebudayaan pop hanya sebatas kesenangan, sebatas hiasan, dan simbol kaum muda untuk diri gengnya. Sedang tato tradisional, selain unik dan dahsyat, juga syarat simbol dan makna. Cuma sayangnya, tato tradisional ini terancam punah.” Drs Ady Rosa, M. Sn.

 “Kalau ada yang membuat hidup ini berarti, itulah renungan tentang keindahan”. Berikut adalah kutipan dari Platon (427-347 SM), satu-satunya filsuf Yunani klasik yang menganggap keindahan begitu penting (Hauskeller, 2008: 9, terj: Satya Graha dan Monika). Membahas soal seni tidak mungkin tanpa membahas keindahan karena seni sendiri merupakan sebuah praktik artistik dan estetik dan keindahan ada pada hasil kerja seni. Dan membicarakan tato tidak akan pernah lepas dari estetik itu sendiri. Tato bukan hanya simbol, tato memiliki nilai estetis bagi pemiliknya.

Dengan konteks sekarang (kontemporer), tato dinilai sebagai seni yang kemunculannya berkembang dari ruang privat (tubuh) ke ruang publik. Dalam hal ini tubuh dijadikan galeri berjalan sebagai sarana untuk memamerkan karya seni tato. Tubuh hadir untuk mewujudkan sebuah pengalaman estetik bagi diri sendiri maupun bagi tubuh lain (orang lain). Bahwa pengalaman seyogyanya menjadi guru utama seni (Hauskeller, 2008: 28, terj: Satya Graha dan Monika).

Maka dari itu membicarakan tato sebagai seni tidak dapat terlepas dari sikap eksibisionis si pemilik tato. Berkaitan dengan tato sebagai seni, gaya hidup, dan fashion seseorang yg memiliki/membuat tato memiliki keinginan untuk menunjukkan/memamerkan tato yg ada ditubuhnya sebagai bentuk ekspresi pribadi, identitas serta aktualisasi diri yang ingin ditunjukan ke publik sebagai wujud dari eksistensi seseorang. Hal tersebut menyebabkan kecenderungan seseorang untuk mempertontonkan tato mereka ke publik walau terkadang area tersebut adalah area yang ‘jarang’ dipertontonkan.

rio-573b03e5bb22bd97088facdd.jpg
rio-573b03e5bb22bd97088facdd.jpg
Berbicara tato sebagai fashion dan budaya populer tidak dapat terlepas dari komodifikasi tato. Komodifikasi adalah proses transformasi barang dan jasa yang semula dinilai karena nilai gunanya (misal, nilai guna minuman unntuk menghilangkan dahaga, cerita untuk berkomunikasi atau berbagi pengalaman), menjadi komoditas bernilai karena ia bisa mendatangkan keuntungan di pasar setelah dikemas menjadi minuman dalam botol (Ibrahim dan Akhmad, 2014: 17).

Semakin mudah dan luasnya tato dinikmati oleh masyarakat (budaya pop) maka akan besar pula peluang bisnis yang dapat dilihat. Mulai dari alat tato (coil, tinta, gel, sarung tangan, dll), studio tato, tato artis, majalah tato hingga iklan dengan media tato. Bahkan hingga kini tato masih dipandang sebagai sesuatu yang maskulin dan dapat digunakan dalam kebutuhan iklan produk pria ataupun wanita berbau maskulin.

Kesimpulan

Layaknya hal-hal duniawi lain tato juga memiliki sisi positif maupun negatif. Tato mengalami pergeseran dari tahun ke tahun. Pergesar tato ini berkaitan erat dengan dinamika sosial pada zamannya sehingga dapat dikatakan bahwa tato sendiri merupakan penanda zaman.

 Meskipun hingga kini pemarjinalan kaum bertato masih terjadi di institusi pemerintahan. Namun, sebagai audiens hendaknya kita mampu lebih bijak dalam menanggapi isu-isu yang disebar luaskan oleh media, dalam hal ini stigma negatif mengenai tato. Pula ketika akan mentato harus mengikuti prosedur sesuai dengan standar yang telah ditentukan (berusia minimal 18 tahun, dalam kondisi prima, alat steril, dan lain lain).

Pada era saat ini dimana kebebasan berkomunikasi dan berekspresi menjadi wacana yang besar, sudah semestinya tato mendapat tempatnya di masyarakat untuk ditanggapi secara bijak dan diapresiasi. Sudah saatnya tato dilihat dari sudut pandang lebih luas.

Daftar Pustaka

Hatib Abdul Kadir Olong. 2006. Tato.Yogyakarta : LkiS

Hauskeller, Michael. 2015. Seni-Apa Itu?.Terj: Satya Graha dan Monika J. Wizemann. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.

Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad. 2014. Komunikasi dan Komodifikasi. Jakarta : Yayasan Pustaka Penerbit Obor.

Male emporium magazine. 2006 : Eksibisionis

Williams, Raymond. 1988. Keywords.London : Tontana Press

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun