Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di pantai timur Kalimantan sejak Juli 2022 telah menuai kritik dan kekecewaan dari penduduk asli wilayah tersebut, yang mayoritas adalah suku dayak. Alih-alih membawa kesejahteraan, lahan milik warga justru diambil secara paksa untuk dijadikan fondasi ibu kota baru. Sengketa tanah yang berkepanjangan dan deforestasi masif menjadi konsekuensi yang harus ditanggung oleh penduduk setempat.
Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kalimantan telah menjadi perdebatan hangat di Indonesia. Alasan pemerintah memindahkan ibu kota adalah untuk mengatasi masalah kepadatan penduduk dan kemacetan di Jakarta, serta untuk menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru di Kalimantan. Jakarta, yang memiliki kepadatan penduduk 16.704 jiwa/km, tidak cocok lagi sebagai IKN karena beban yang harus ditanggung, termasuk kemacetan dan permasalahan lingkungan yang akut. Sementara itu, Kalimantan memiliki lahan potensial yang lebih luas untuk pembangunan berkepanjangan.
Namun, perpindahan IKN juga menimbulkan problema lingkungan dan sengketa tanah yang tak kunjung selesai. Kalimantan memiliki keanekaragaman hayati yang kaya dan ekosistem yang rapuh, seperti lahan gambut dan hutan yang luas. Pembangunan IKN di Kalimantan dapat menghasilkan konsekuensi lingkungan dan sosial yang signifikan.Â
Di balik ambisi megah Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan, terbentang luka mendalam bagi masyarakat setempat Sengketa tanah dan penggusuran warga menjadi kenyataan pahit yang tak kunjung usai, menggerogoti masa depan mereka di atas nama "Kebaikan Bersama". Hingga saat ini, ratusan warga telah diusir dari tanah mereka untuk memuluskan pembangunan IKN.Â
Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukkan bahwa sejak 2019, 1.400 hektar lahan telah diambil alih oleh pemerintah untuk proyek IKN. Tragisnya, 70% dari mereka yang tergusur tidak memiliki sertifikat tanah yang sah. Ironisnya, pembangunan IKN yang digadang-gadang sebagai solusi krisis lahan di Jakarta dan overpopulation justru mengorbankan hak-hak fundamental masyarakat setempat.
Penggusuran tak hanya merampas tempat tinggal, tetapi juga sumber penghidupan dan identitas budaya mereka. Hilangnya tanah berarti hilangnya mata pencaharian, tradisi, dan akar sejarah. Luka ini semakin dalam karena proses penggusuran kerap diwarnai intimidasi dan kekerasan.
Selain sengketa tanah yang melanda penduduk lokal, kerusakan lingkungan juga menjadi konsekuensi dari pembangunan IKN. Meskipun IKN berharap mengurangi emisi karbon dengan gagasan "Forest City", kerusakan lingkungan justru marak terjadi. Pengerukan pesisir pantai dan pembebasan lahan yang menyebabkan deforestasi menjadi contoh ambivalensi pembangunan IKN. Dampak dari proses ini tidak hanya berdampak pada masyarakat setempat, tetapi juga pada ekosistem "paru-paru dunia" yang sangat rentan.
Pengerukan pesisir pantai secara masif untuk pembangunan infrastruktur IKN telah merusak habitat flora dan fauna laut. Deforestasi yang tak terkendali demi pembebasan lahan telah merenggut "paru-paru dunia" Kalimantan dan mengganggu keseimbangan ekosistem yang vital bagi keberlangsungan hidup.
Konsekuensi kerusakan ini tak berhenti di situ. Ekosistem yang terganggu dapat memicu bencana alam, seperti banjir dan tanah longsor, yang mengancam keselamatan masyarakat dan kelestarian alam Kalimantan. Hilangnya hutan juga berdampak pada perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca, yang bertentangan dengan tujuan awal pembangunan IKN.Â
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara di Kalimantan Timur, meskipun bertujuan untuk mengatasi kepadatan dan masalah lingkungan di Jakarta, serta menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi baru, proyek ini membawa dampak sosial dan lingkungan yang signifikan.Â