Jaminan Sosial adalah bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. UU Nomor 40 Tahun 2004 mengamanatkan bahwa jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) melalui suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) adalah badan hukum nirlaba yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 juga menetapkan, Jaminan Sosial Nasional akan diselenggarakan oleh BPJS, yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan sebagai Badan Pelaksana merupakan badan hukum publik yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. Tujuan diberlakukannya program Jaminan Kesehatan Nasional ini adalah untuk memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat yang layak yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar iuran atau iurannya dibayar oleh Pemerintah. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka pada tahun 2011 PT Askes (Persero) resmi ditunjuk menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang mengcover jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam UU Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS.
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan sudah mulai diimplementasikan sejak 1 Januari 2014. Sampai bulan Oktober ini, maka sudah 10 bulan terlaksananya implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional di Indonesia, namun selama 10 bulan pelaksanaan JKN ini masih sangat banyak sekali evaluasi program JKN yang masih harus terus dibenahi oleh pemerintah, berikut akan penulis coba ulas kembali tiga hal yang menjadi evalusi Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Â dari perspektif kacamata penulis sendiri :
Pertama, alur pelaksanaan BPJS yang berjenjang menyebabkan peserta tidak bisa langsung datang ke rumah sakit, tetapi peserta harus datang terlebih dahulu ke fasilitas kesehatan tingkat pertama (Puskesmas) yang telah ditentukan oleh BPJS Kesehatan setelah mendapat rekomendasi dinas kesehatan kabupaten/kota setempat, peserta harus memperoleh pelayanan kesehatan terlebih dahulu pada fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar, baru jika tidak dapat ditangani maka peserta akan dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut (Rumah Sakit) dengan menggunakan surat rujukan yang dibuat di puskesmas tempat peserta terdaftar. Namun yang jadi permasalahan adalah bagaimana dengan peserta BPJS yang keadaan ekonomi nya sudah tinggi atau berada diatas rata-rata, misalkan saja ia menjadi seorang Direktur atau Manajer di perusahaan besar, haruskah ia berobat terlebih dahulu ke puskesmas yang mutu pelayanannya bisa dibilang masih rendah dan seadanya? Haruskah mereka, para penduduk Indonesia yang kondisinya ekonomi nya sudah diatas rata-rata diribetkan dengan keharusan berobat ke puskesmas yang memiliki image sebagai tempat berobat bagi kaum berekonomi lemah? Jika dipikir dengan logika, kondisi tersebut adalah kondisi yang tidak menguntungkan para penduduk yang keadaan ekonominya diatas rata-rata, karena pastinya mereka menginginkan manfaat yang lebih dan kondisi yang lebih layak untuk tempat berobat mereka dan puskesmas bukanlah pilihan yang akan mereka pilih karena mereka akan lebih condong untuk langsung berobat ke rumah sakit. Maka dari itu, dengan alur pelayanan kesehatan yang seperti itu, penulis rasa akan sulit untuk BPJS mengcover jaminan kesehatan seluruh penduduk Indonesia baik yang miskin ataupun yang kaya. Hal ini akan menjadi evaluasi besar bagi BPJS selaku badan penyelenggara jaminan kesehatan, bagaimana pada akhirnya BPJS mampu mengcover jaminan kesehatan seluruh rakyat Indonesia dengan sistem yang diberlakukan di dalamnya sesuai dengan target yang sudah ditentukan yaitu pada tahun 2019 nanti. Dan menurut penulis, BPJS harus tetap melibatkan perusahaan asuransi komersial sehingga peserta yang keadaan ekonominya di atas rata-rata bisa mendapatkan manfaat yang lebih.
Kedua, sistem pembiayaan BPJS yang menggunakan Ina CBG’s berpotensi dapat merugikan peserta atapun rumah sakit karena pada Ina CBG’s sudah ditentukan pembayaran pelayanan kesehatan yang harus dibayar, besaran biayanya sudah ditetapkan dari awal sebelum pelayanan kesehatan diberikan, sehingga BPJS hanya akan membayar klaim ke rumah sakit sesuai dengan tarif-tarif yang tertera pada Ina CBG’s, tak peduli rumah sakit atau pasien mampu atau tidak untuk menutupi kekurangan. Bagaimanapun juga walaupun dana yang diberikan oleh BPJS dibawah standar namun rumah sakit tetaplah harus memberikan pelayanan kepada pasien. Yang jadi pertanyaan apakah dengan sistem yang seperti itu mampu membuat rumah sakit memberikan standar pelayanan yang layak bagi pasien sesuai dengan kondisi pasien? Penulis pikir, dengan kondisi yang seperti itu bukan tak mungkin kesembuhan pasien menjadi sesuatu yang tidaklah diprioritaskan lagi, rumah sakit pun dibuat dilema akan fungsinya untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit sampai pulih kembali tetapi tidak bisa memberikan mutu pelayanan yang baik kepada pasien
Ketiga, manfaat yang diperoleh oleh peserta BPJS di Indonesia yang merupakan negara kepulauan akan sulit untuk merata antara penduduk yang tinggal di kota dengan penduduk yang tinggal di desa atau pedalaman, karena penduduk yang tinggal di desa atau pedalaman lebih kesulitan untuk menjangkau fasilitas kesehatan di daerahnya karena masalah jarak atau transportasi, jumlah fasilitas kesehatan di desa atau pedalaman juga tidak sebanyak di kota, sehingga seringkali masyarakat desa atau pedalaman tidak mau repot-repot jauh-jauh menuju fasilitas kesehatan dan hanya berdiam diri di rumah jika sakit atau datang ke tabib atau dukun di daerah mereka. Dikarenakan sistem pengelolaan JKN memiliki kelemahan di daerah terpencil, maka penulis rasa Jamkesda harus tetap ada sebagai solusi atas permasalahan ini, selain itu harus dibangun lebih banyak lagi fasilitas kesehatan di daerah-daerah terpencil Indonesia.
Demikianlah, ketiga hal yang menurut penulis menjadi evaluasi bagi 10 bulan perjalanan BPJS ini. Mungkin terlalu dini untuk memberikan evaluasi kepada BPJS diumurnya yang bahkan belum genap setahun, tetapi dengan adanya evaluasi-evaluasi tersebut penulis melambungkan harapan setinggi-tingginya kepada BPJS supaya dengan berbagai masalah dan kekurangan yang ada, beragam keluhan yang dikeluhkan oleh peserta, serta belum optimalnya sistem dan pengelolaan BPJS dapat menjadi lecutan semangat bagi seluruh elemen yang ada di BPJS untuk sama-sama memperbaiki dan mewujudkan cita-cita tercovernya jaminan kesehatan untuk seluruh penduduk Indonesia pada tahun 2019 nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H