Mohon tunggu...
Muhammad Vano
Muhammad Vano Mohon Tunggu... Lainnya - IR Student

Sedang menempuh pendidikan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Di Balik Kebijakan Proteksionis Trump pada Masa Pandemi Covid: Tamparan Keras bagi Kanada?

13 Juni 2020   00:06 Diperbarui: 13 Juni 2020   12:32 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
U.S-Canada Border (Photo: The Canadian Press)

New Coronavirus atau Covid, merupakan virus yang pertama kali ditularkan di Cina pada tahun 2019, virus ini memiliki potensi untuk menjadi mematikan serta memiliki kemampuan penularan yang lebih cepat ketimbang virus flu biasa, sehingga pada bulan Maret 2020, Covid resmi dinyatakan sebagai pandemi global oleh World Health Organization (WHO). 

Hal tersebut jelas menyiratkan bahwa virus ini bukan hanya dapat mewabah di negara-negara  kawasan Asia dan Eropa Timur yang berdekatan dengan tanah kelahiran virus tersebut, melainkan juga bisa memberikan ancaman dan dampak yang sama ke seluruh penjuru dunia, tidak terkecuali negara-negara maju di Benua Amerika yang terletak jauh di barat, seperti halnya Amerika Serikat (AS) dan Kanada.

Terbukti, AS yang baru melaporkan kasus Covid pertama pada pertengahan Januari, dalam waktu singkat telah mengalami pelonjakkan kasus yang luar biasa, merujuk pada data yang diterbitkan Centers for Disease Control and Prevention (CDC), terhitung jumlah kasus aktif Covid di AS pada bulan Juni adalah sebanyak 1,194,283 kasus. Bahkan jauh sebelum itu, pada awal bulan April, AS juga sudah mengambil alih posisi Italia sebagai negara dengan jumlah kasus Covid-19 terbanyak di dunia.

Akibatnya, terjadi lockdown yang membuat toko dan kantor-kantor ditutup, industri terhambat, dan jumlah pengangguran meningkat pesat di negeri paman sam sehingga mendorong Kongres AS untuk mengucurkan dana sebesar US$ 2 triliun sebagai stimulus terhadap kegiatan perekonomian AS yang terkena dampak besar dari wabah tersebut. 

Bagaimanapun juga, stimulus tidak bisa diberikan terus-menerus mengingat defisit yang terjadi karena perdagangan yang tidak kunjung membaik, sehingga memicu presiden AS, Donald Trump, untuk menyatakan kondisi darurat negara atau National State of Emergency , dalam situasi tersebut, presiden AS memiliki kuasa yang lebih kuat karena mendapat banyak provisi tambahan untuk mengaktifkan law atau hukum tertentu relatif tanpa hambatan dari Kongres.

Trump yang memang dikenal sebagai tokoh nasionalis, populis, dan proteksionis kemudian mengeluarkan serangkaian kebijakan keras, seperti melakukan proteksionisme terhadap ekspor keluar AS, yang mana hal tersebut tidak sebatas komoditas pangan, karena ia juga mengeluarkan memorandum mengenai Pasal 1 Defense Production Act yang ditujukan ke perusahaan-perusahaan rantai produsen ventilator dalam negerinya. 

Memorandum tersebut juga memberikan wewenang penuh kepada Administrator dari Badan Manajemen Darurat Federal (FEMA) untuk menggunakan segala cara yang dibutuhkan agar bisa memperoleh semua Masker dan alat medis yang di produksi oleh perusahaan yang berpusat di AS seperti 3M, sekaligus juga untuk menahan aktifitas ekspor esensial yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

Trump diketahui juga pernah melakukan lobbying dengan perusahaan medis Jerman, CureVac, dalam wacana untuk membeli hak khusus terhadap semua vaksin yang dikembangkan perusahaan tersebut agar hanya di prioritaskan kepada AS. Tentunya, serangkaian kebijakan ini menuai protes dari dunia internasional, terutama dari Kanada yang merasa terkhianati oleh keputusan sepihak AS yang merupakan sekutu terdekatnya sendiri.

Walaupun begitu, keputusan yang diambil oleh Donald Trump sebagai seorang Presiden sebenarnya dapat dipahami, meskipun belum tentu dapat dibenarkan. 

Jika dilihat menggunakan’ kacamata’ teori neorealisme menurut Kenneth Waltz, maka apa yang dilakukan Trump dengan melakukan proteksionisme terhadap negara lain, terutama Kanada, merupakan wujud dari konsep dasar neorealisme itu sendiri dimana meskipun suatu negara dapat bekerja sama, pada akhirnya mereka akan tetap mempertanyakan ‘siapa yang lebih diuntungkan?’ 

Dan dalam hal ekspor terhadap alat medis esensial dalam jumlah besar-besaran ke negara sekutu seperi Kanada, fakta bahwa AS merupakan negara dengan kasus Covid terbanyak di dunia telah membuat AS kehilangan keuntungan apapun dalam melakukan ekspor, bahkan sebaliknya, kasus covid yang berkepanjangan akibat kurangnya alat pencegahan seperti Masker N95 dipastikan dapat membawa kerugian yang semakin progresif terhadap kondisi AS yang sudah terpuruk sehingga menekan Trump untuk mencoba menghentikan laju ekspor. 

Selain itu, apabila dianalisa dalam level individu menggunakan pendekatan Poliheuristik menurut Alex Mintz yang percaya bahwa politik domestik merupakan esensi dari pengambilan keputusan, maka tindakan Trump tidak sepenuhnya tak berdasar, karena ia sebagai pembuat kebijakan pada hakikatnya merupakan aktor politik, sehingga ia tetap harus mengutamakan kestabilan internal negaranya terlebih dahulu.

Lantas, bagaimana Kanada menanggapi AS yang kini semakin condong kearah proteksionis? Harus diakui, Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, sementara waktu telah berhasil dalam membujuk pemerintahan Trump untuk melunakkan kebijakan luar negerinya terhadap Kanada, Meskipun begitu, para kalangan Think-Tank di Kanada sudah mulai menyuarakan independensi Kanada dari AS yang hal tersebut nampaknya juga sudah di amini oleh beberapa petinggi di Kanada.

Pada wawancara di bulan April, Menteri Pengembangan Ekonomi, Inovasi, dan Perdagangan Ekspor Provinsi Quebec, Pierre Fitzgibbon, menyinggung mengenai perubahan terhadap tatanan dunia yang menurutnya besar kemungkinan akan mengarah pada proteksionisme pasca wabah Covid usai, dan bukan hanya dalam hal alat medis melainkan juga pangan dan komoditas lainnya. 

Sehingga Quebec itu sendiri, sebagai salah satu provinsi Kanada, kini sudah mulai mempersiapkan daftar rantai suplai yang harus mereka jaga dalam kondisi dunia yang mungkin akan berubah drastis kedepannya. Proses menuju independensi dan self-autonomy juga terlihat dari berbagai negara lain, seperti Jepang yang baru saja mengerahkan US$ 2.2 Miliar untuk membantu perusahaan manufaktur negaranya dalam memindahkan rantai produksi dari Cina balik ke negara asalnya sebagai antisipasi dini.

Sehingga dapat disimpulkan, bahwasannya pandemi Covid yang terjadi saat ini, tidak dapat dipungkiri lagi telah mendorong negara-negara kuat sekalipun untuk kembali masuk ke ‘cangkang’ proteksionisme mereka dalam rangka mempertahankan ketahanan dan keselamatan negaranya dari kekacauan yang ditimbulkan oleh virus yang tak memandang mana kawan dan mana lawan ini. 

Oleh karenanya, kebijakan AS yang terlihat radikal, sebenarnya telah memberikan tamparan keras yang menyadarkan Kanada untuk mengurangi ketergantungannya terhadap AS yang telah berjalan selama puluhan tahun, karena dalam situasi yang mendesak seperti ini, setiap negara pada akhirnya akan kembali kepada tujuan yang paling mendasar, yaitu “to survive”.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun