Mohon tunggu...
Stevano Wijoyo
Stevano Wijoyo Mohon Tunggu... -

Currently a medical student in the Faculty of Medicine, University of Indonesia. It is in the OSIS where he first interact with professional organizational activities. Moreover, he is a Sunday school teacher that enjoys cooking, gardening, and house cleaning

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

MEA, Tantangan Pendidikan Kedokteran Masa Kini

7 Februari 2016   19:23 Diperbarui: 7 Februari 2016   21:47 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MEA dengan jelas memberikan tantangan baru bagi negara negara di Asia Tenggara khususnya Indonesia. Dengan mencanangkan pasar tunggal dan basis produksi yang berlaku di seluruh Asia Tenggara, arus bebas barang, jasa, investasi, modal, dan tenaga ahli pun tak terelakkan. 8 Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang mengatur tentang arus tenaga ahli bebas sudah ditandatangani jauh sebelum pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN tertanggal 31 Desember 2015. Siap tidak siap, ada tantangan baru dari ditandatanganinya kedelapan MRA bagi beberapa profesi yakni tenaga profesi Kesehatan (Dokter), Keperawatan, Dokter Gigi, Akuntan, Arsitek, Insinyur, Tenaga Pariwisata, dan Tenaga Survei.

Jauh sebelum pemberlakuan Masyarakat Ekonomi ASEAN tertanggal 31 Desember 2015. Suatu penetapan rancana yang disebut dengan Mutual Recognition Arrangement (MRA) dalam mengatur perihal Praktisi Medis ternyata sudah ditandatangani oleh suatu otorita pengawas profesi dokter yang disebut Professional Medical Regulatory Authority (PMRA)  masing masing bidang di Indonesia dari 26 Februari 2009 oleh Konsili Kedokteran Indonesia bersama dengan Kementerian Kesehatan selaku Otorita Pengawas Profesi Medis.

Namun dengan ditandatanganinya MRA tersebut, apakah seluruh komponen kesehatan di Indonesia termasuk penentu kebijakan, institusi pendidikan kesehatan, sumber daya, penyelenggara pelayanan kesehatan, penyedia modal dan teknologi, dan lain sebagainya otomatis siap dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN? Hal tersebut menimbulkan animo yang beragam dan saya tertarik untuk mengkaji kesiapan komponen kesehatan di Indonesia khususnya dalam kesiapan pendidikan kedokteran Indonesia.

Di dalam MRA yang mengatur tentang Praktisi Medis, diaturlah perihal perihal mengenai tujuan dari penetapan MRA tersebut yakni memfasilitasi mobilisasi praktisi medis, mengembangkan kooperasi dan menyediakan pelatihan bagi praktisi kesehatan. Juga didalamnya terdapat persyaratan praktisi medis asing untuk diakui negara penyedia lapangan kerja seperti harus memenuhi kualifikasi yang diakui oleh otorita pengawas profesi dokter di negara asal dan diakui di negara penyedia lapangan pekerjaan, memiliki Surat Tanda Registrasi dari negara asal, sudah 5 tahun aktif dalam praktek dokter umum,

memiliki surat tanda tidak melanggar standar etika dan profesi dan lain lainnya. Juga mengatur tentang otorita pengawas profesi yang disebut dengan Professional Medical Regulatory Authority (PMRA) beserta dengan hak hak nya dalam mengatur free inflow dan free outflow yang terjadi di negara penyedia lapangan pekerjaan. Sisanya, di dalam MRA juga ditentukan definisi definisi kata, ketentuan penyelesaian sengketa, komite koordinasi praktisi kesehatan di negara negara ASEAN, dan juga pembebasan kontrak.

Adalah suatu tantangan bagi institusi pendidikan kedokteran di Indonesia untuk mencetak lulusan lulusan yang dapat bertahan bahkan berkompetisi dalam free flow of skilled labour; lulusan lulusan yang memenuhi kualifikasi sebagaimana yang diatur dalam Artikel ketiga dalam MRA, yakni Pengakuan dan Persyaratan Praktisi Medis Asing.

Realita yang ada di lapangan saat ini adalah ada kurang lebih 69 universitas yang menyelenggarakan program pendidikan dokter umum, ada 72.249 dokter yang dihasilkan dari universitas universitas tersebut dan jumlah lulusan lulusannya kian meningkat seiring bertambahnya waktu. Tingginya angka lulusan dokter ini membuat beberapa guru guru besar kedokteran khawatir akan masa depan dokter di Indonesia. Apalagi diperparah dengan sedikitnya universitas yang memiliki akreditasi A dalam penyelenggaraan program pendidikan dokter umum, yakni 17 dari 69 universitas.

Sisanya berakreditasi B dan C. Presentase dokter yang tidak lulus ujian kompetensi dokter Indonesia (UKDI) juga masih tinggi, yakni ada lebih dari 25% dokter tidak lulus. Meskipun kuantitasnya yang banyak, rasio dokter per populasi di Indonesia masih 0,2 dokter per 1000 populasi, masih jauh dari rasio yang sesuai menurut WHO, yakni 1 dokter per 1000 populasi dan lebih jauh lagi apabila dibandingkan dengan rasio negara tetangga contohnya Malaysia di angka 1,2 per 1000 populasi dan Filipina di angka 1,1 per 1000 populasi.

Memang dengan prediksi meningkatnya free inflow of skilled labored ke Indonesia, dapat memenuhi rasio yang sesuai, namun bagaimana nasib dokter dokter yang belum memenuhi standar lokalnya sendiri? Tidak mungkin dokter dokter tersebut dapat bersaing dalam masyarakat ekonomi seperti ini, meskipun pada nantinya rasio dokter per populasi di negara negara Asia Tenggara dapat merata.

Di sisi lain, Indonesia mempunyai peluang untuk unggul dalam pendidikan kedokteran di era masyarakat ekonomi ASEAN ini. Mulai dari dikumandangkannya MEA jauh jauh hari, banyak pihak yang mulai menganggap serius tantangan tersebut, pengembangan kerjasama pendidikan tinggi dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN pun mulai dicanangkan di tahun 2015. Visi Misi pasangan Presiden dan Wakil Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla yang dituangkan dalam Nawa Cita salah satunya isinya “peningkatan mutu hidup manusia Indonesia melalui peningkatan mutu pendidikan dan pelatihan” sudah digeluti oleh fakultas fakultas kedokteran di Indonesia untuk mencetak dokter dokter yang mumpuni.

Perbedaan kualitas dokter di Indonesia juga mulai ditanggulangi dengan adanya UU Pendidikan Tinggi no. 12 tahun 2012 Pasal 50 tentang “Kerjasama International Pendidikan Tinggi” yang membuat perguruan perguruan tinggi khususnya penyelenggara program kedokteran umum untuk “mengembangkan kerjasama internasional dalam cakupan pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat, serta didasarkan pada kesetaraan dan saling menghormati dengan meningkatkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai kemanusiaan”

Ada 3 paradigma yang sedang dibenahi dalam sistem pendidikan tinggi kesehatan, antara lain sistem penjaminan mutu, public-private partnership, dan kolaborasi interprofesi. Dari sini, perguruan perguruan tinggi kesehatan mulai memperbaiki permasalahan yang ada dalam sistem akreditasi dan uji kompetensinya, juga dalam standar pendidikannya

Kesimpulan pribadi saya adalah dapat saya katakan bahwa pendidikan kedokteran di Indonesia masih belum siap menghadapi MEA. Masih banyak juga permasalahan permasalahan selain MEA di internal yang timbul dan tenggelam seperti contohnya penyelenggaraan dokter layanan primer (DLP) yang mungkin nantinya akan membuat dokter umum semakin terpinggirkan; pemerataan profesi dokter yang belum merata hanya berpusat di Pulau Jawa bahkan di daerah ibukota,

sedangkan di daerah pinggiran bahkan daerah terluar Indonesia, tidak ada tenaga kesehatan yang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali; profesi dokter yang menjalani program internship hak dan kewajibannya masih abu abu – bayangkan saja seorang dokter internship tidak memiliki perlindungan hukum atas status kepegawaiannya dan masih dianggap sebagai pelajar juga jaminan kesehatan untuk hidup yang seharusnya diterima justru sangat kurang bahkan ada yang tidak mendapat jaminan kesehatan sama sekali - ; biaya pendidikan kedokteran yang tinggi ; dan lain lain.

Masih banyak yang harus dibenahi mulai dari institusi pendidikan kedokteran, badan akreditasi pendidikan tinggi, konsili kedokteran Indonesia selaku penentu standar pendidikan profesi dokter Indonesia dan penentu model kurikulum pendidikan profesi dokter di Indonesia, hingga otorita pengawas profesi dokter yang menjadi acuan diselenggarakannya masyarakat ekonomi ASEAN.

Semoga ke depannya pendidikan kedokteran di Indonesia dapat lebih berbenah lagi demi kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke.

 

 

----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- 

REFERENSI

 

Abidin, Zaenal Dr. Pengantar: Kesiapan Dokter Indonesia Menghadapi MEA. Dipresentasikan pada: Simposium “Profesionalisme Dokter” dalam rangka HUT IDI ke-64; 2014 Nop 29; Denpasar. Disadur dari IDI Denpasar 

Fukunaga Yoshifumi. Assesing the Progress of ASEAN MRAs on Professional Services. ERIA Discussion Paper 2015-21 [Internet]. 2015 Mar [disitasi 2016 Feb 6]. Disadur dari: ERIA 

ASEAN Mutural Recognition Arrangement on Medical Practitioners 2009. Disadur dari: ASEAN 

Kittrakulrat J, Jongjatuporn W, Jurjai R, Jarupanich N, Pongpirul K. The ASEAN economic community and medical qualification. Glob Health Action [Internet]. 2014 Sep [disitasi 2016 Feb 6];7(24535). Disadur dari: Global Health Action

Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM FEUI 2013. Kesiapan Skilled Labor Indonesia dalam Menghadapi ASEAN Economic Community 2015: Studi Tenaga Profesi Akuntan, Arsitek, dan Dokter. Kajian Strategis BEM FEUI 2013 [Internet] 2015 Jul 15 [disitasi 2016 Feb 6]. Disadur dari: BEM FEUI

 

 

Mohon maklum dengan kesalahan gaya bahasa atau cara penulisan yang ada. Aoabila adakritik dan saran, silahkan ditulis di komentar. Terimakasih. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun