Mohon tunggu...
Vannissa Andini
Vannissa Andini Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Padjadjaran

Saya merupakan seorang mahasiswa Universitas Padjadjaran yang tengah menempuh pendidikan sarjana di program studi Ilmu Politik.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Potret Rent Seeking dan Kegagalan Pemerintah (Government Failures) pada Proyek Pembangunan P3SON Hambalang

14 Desember 2024   00:47 Diperbarui: 14 Desember 2024   00:47 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah empat belas tahun berlalu sejak terungkapnya skandal korupsi proyek Hambalang, sebuah proyek ambisius yang seharusnya menjadi kebanggaan bangsa. Namun, alih-alih menjadi warisan bagi generasi mendatang, proyek ini justru menjadi simbol kegagalan tata kelola pemerintahan dan bukti nyata bagaimana kekuasaan dapat disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Kasus Hambalang bukan hanya sekadar kasus korupsi biasa, tetapi juga cerminan dari sistem yang rapuh dan rentan terhadap praktik KKN. Korupsi dalam skala besar seperti ini tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga merusak kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara dan menghambat pembangunan yang berkelanjutan. Hingga kini, kasus Hambalang masih menyisakan banyak pertanyaan yang belum terjawab dan menjadi pengingat bagi kita semua pentingnya memperkuat sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Kasus ini terjadi dalam proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) di Desa Hambalang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Proyek pembangunan ini dimulai pada 2009 dengan anggaran sekitar Rp.2,5 triliun. Namun, dalam perjalannya proyek pembangunan ini dihentikan karena terdapat dugaan korupsi yang menyebabkan negara rugi sebesar Rp.463,66 miliar. Menurut temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 4 September 2013 menyatakan bahwa uang yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk Proyek P3SON Hambalang dalam kontraknya tercatat sebesar Rp1,2 Triliun. Namun, negara baru mengeluarkan uang sebesar Rp.471 miliar, dengan sisa uang sebesar Rp. 8 miliar, sehingga kerugian yang dialami negara mencapai Rp.463,66 miliar termasuk dengan pengadaan barang dan jasa. Kasus korupsi P3SON ini menyeret beberapa pejabat pemerintah seperti Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng, Sekjen Kemenpora Wafid Muharram, dan Mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, (Fahmi, 2013). Kasus korupsi Hambalang ini menggambarkan salah kegagalan pemerintah (Government Failure) dalam mengimplementasikan praktik rent seeking yang menguntungkan satu pihak saja, yaitu para birokratis nafsu kekayaan. 

Proyek pembangunan Hambalang dimulai sekitar tahun 2003 (perumusan kebijakan) yang pada akhirnya berjalan pada tahun 2009 tepat setelah Andi Mallarangeng dilantik sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga Kabinet Indonesia Bersatu II. Di waktu yang sama, Sekretaris Kemenpora Wafid Muharam menyampaikan bahwa status tanah Hambalang bermasalah terkait dengan sertifikat saat akan dijadikan sebagai proyek. Namun, Andi Mallarangeng kemudian memberikan arahan kepada bawahannya agar membereskan urusan tanah Hambalang serta memperbaikinya sesuai arahan Menpora. 

Tidak lama dari itu, Andi Mallarangeng memberikan usulan kepada Wahid untuk melakukan kerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum (yang pada saat ini dikenal dengan PUPR) dan Komisi X terkait dengan peningkatan anggaran proyek Hambalang. Selanjutnya Andi dan Wafid melangsungkan pertemuan dengan anggota DPR RI Komisi X Fraksi Partai Demokrat serta Badan Anggaran DPR yaitu Mahyuddin (Ketua Komisi X), Nazaruddin, Mirwan, Amir, dan Angelina Sondakh. Pada saat itu Kemenpora mengusulkan peningkatan anggaran dalam proyek ini sebesar Rp. 625 Miliar pada APBN-P 2010. Namun, setelah pertemuan tersebut Pokja Komisi X memberikan persetujuan penambahan dana sebesar Rp. 150 Miliar pada APBN-P 2010. Yang dimana keputusan ini dibuat tanpa adanya Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Kemenpora dan Pokja Komisi X. 

Seiring berjalannya berbagai permasalahan yang terjadi pada proyek P3SON, sosok Anas Urbaningrum mulai terlibat di proyek Hambalang yang sedang  menjadi ajang rebutan tender antara PT Duta Graha Indah (DGI) dan perusahaan BUMN PT Adhi Karya. Pada saat itu, Mindo Rosalina Manulang dari PT DGI meminta PT Adhi Karya untuk mundur dari proyek Hambalang karena dirinya dan Muhammad Nazaruddin (Pemilik PT DGI) yang akan mengerjakan proyek tersebut. Di samping itu, PT Adhi yang ikut bergerak pun mendapatkan bantuan dari Anas Urbaningrum (Mantan Ketua Umum Partai Demokrat) untuk menyampaikan kepada PT DGI agar mundur dan tidak mengambil proyek Hambalang. 

Pada akhirnya, PT Adhi Karya memenangkan lelang pekerjaan fisik pembangunan proyek Hambalang bersama dengan PT Wijaya Karya. Keberhasilan kedua tender dalam proyek ini tidak lain karena dibantu oleh kekuatan seorang Anas Urbaningrum. Yang dimana kedua tender ini memberikan gratifikasi kepada Anas untuk dapat membantu mereka dalam memenangkan lelang pembangunan Hambalang. Dana yang diterima oleh Anas Urbaningrum dalam proyek pembangunan Hambalang ini sebesar Rp. 2,21 miliar dari jumlah total pemberian dana PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya dalam pembangunan ini. Aliran dana yang diterima Anas diserahkan secara bertahap oleh Teuku Bagus melalui Munadi Herlambang, Indradjaja Manopol (Direktur Operasi PT Adhi Karya), dan Ketut Dermawan (Direktur Operasi PT Pembangunan Perumahan). Berdasarkan pemaparan jaksa, uang pertama kali diserahkan pada 19 April 2010 sebesar Rp 500 juta, kemudian 19 Mei 2010 sebesar Rp 500 juta, dan 1 Juni 2010 sebesar Rp 500 juta. Selanjutnya, pada 18 Juni 2010, diserahkan sebesar Rp 500 juta, dan terakhir 6 Desember 2010 sebesar Rp 10 juta. Tak dijelaskan kapan transaksi sisanya sebesar Rp 200 juta, (Maharani, 2013). Adapun alokasi dana ini diperuntukkan untuk membantu biaya logistik pencalonan dirinya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung 2010 silam.

Analisis yang digunakan dalam kasus korupsi Hambalang adalah menggunakan teori kegagalan pemerintah atau "government failure". Yang dimana dalam pendekatan ekonomi politik Neoklasik, peran negara dibutuhkan untuk mengantisipasi penggunaan kekuasaan terlalu besar oleh perusahaan, terutama pada pasar monopoli, maupun penggunaan kekuasaan berlebih oleh aparat dan birokrat dalam menjalankan pemerintahan. Menurut Wallis & Dollery (1999) terdapat tiga bentuk utama kegagalan pemerintah dalam ekonomi politik, yaitu : (1) Kegagalan legislatif; (2) Kegagalan birokrasi; dan (3) Kegagalan rent seeking. Yang dimana kegagalan legislatif diartikan sebagai inefisiensi alokasi, dikarenakan politisi atau badan legislatif membuat kebijakan untuk mengejar strategi kemenangan lima tahun kedepan. Lalu, kegagalan birokrasi terjadi karena Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau para birokrat tidak dapat melaksanakan kebijakan secara efisien. Hal ini dikarenakan, para birokrat tidak menerapkan manajemen kinerja yang baik, akibatnya konsep kompensasi, karir, dan disiplin tidak dilaksanakan secara benar. Selanjutnya, kegagalan pemerintah yang terletak pada pemburu rente (Rent seeking). Yang dimana disini birokrat dan aktor pengambil keputusan bertindak sebagai pelaku dengan tujuan untuk melayani kepentingan mereka, bukan untuk kepentingan bersama. 

Pada kasus korupsi proyek Hambalang ini tergambarkan bagaimana praktik Rent Seeking yang dilakukan oleh para birokrat dilakukan untuk memuaskan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Krueger (1974) mengenai rent seeking yaitu praktik yang tidak hanya menyangkut persaingan yang sah atau legal, tetapi juga meliputi berbagai aktivitas ilegal seperti penyuapan, korupsi, penyeludupan, dan pasar gelap. Rent seeking menjadi akar masalah dari munculnya korupsi sebab praktik ini memberikan peluang terciptanya manipulasi kebijakan sebagai implikasi dari kesepakatan dan lobby politik di luar struktur lembaga formal, (Hogan et al., 2011: 102-113). Tidak hanya melanggar aturan, tetapi justru aturan tersebut dibuat secara legal untuk memuluskan praktek perburuan rente. Praktik rent seeking menabrak logika good governance yang mana sebuah instansi publik seharusnya mampu mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, (Grafton & Williams, 2020). Namun, pada akhirnya para penguasa melupakan konsep good governance dan  kepentingan publik demi mencapai keuntungan pribadi dan kelompoknya. 

Adapun hubungan bisnis dan politik melahirkan tiga tipe praktik rent seeking sebagaimana yang diuraikan oleh Ross (2001), pertama, rent creation yaitu perusahaan mencari keuntungan yang dibuat oleh pemerintah dengan cara menyuap politisi atau birokrat. Kedua, rent seizing adalah kondisi ketika aktor-aktor pemerintah atau birokrat berusaha mendapatkan hak mengalokasikan rente yang dihasilkan dari institusi negara untuk kepentingan individu dan kelompoknya. Ketiga, rent extraction, dimana politisi dan birokrat mencari keuntungan dari perusahaan dengan mengancam perusahaan melalui peraturan-peraturan. Dalam kasus Hambalang, para birokrat yaitu Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum, dkk berusaha untuk mendapatkan tender yang lebih menguntungkan mereka. 

Dalam pembangunan ini, praktik rent seeking dilakukan oleh para penguasa dan pebisnis untuk memenangkan lelang proyek Hambalang dengan cara melakukan suap atau gratifikasi serta manipulasi anggaran. Yang dimana dalam hal ini, PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya memberikan dana kepada Anas Urbaningrum sebagai bentuk suap untuk dapat membantu mereka memenangkan lelang proyek ini. Relasi hubungan Anas Urbaningrum dengan para tender menggambarkan relasi rent creation seperti yang dijelaskan oleh Ross (2001) yaitu perusahaan mencari keuntungan yang dibuat oleh pemerintah dengan cara menyuap politisi atau birokrat. Kasusnya disini adalah PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya berusaha untuk memenangkan lelang proyek Hambalang agar mereka yang mengerjakan proyek pembangunan ini dengan cara menyuap Anas Urbaningrum yang pada saat itu memegang peran penting dalam mengurus hak pakai tanah untuk pembangunan ini. Bentuk relasi seperti ini dapat disebut sebagai state capture, yaitu interaksi antara penguasa dan pengusaha yang saling menguntungkan satu sama lain. Praktek rent seeking ini merupakan akar dari munculnya perilaku korupsi, yang dimana pola relasi yang terbentuk antara pebisnis dan politisi dalam prosesnya banyak menghasilkan kesepakatan yang berada di luar struktur lembaga formal (Mahpudin & Aziz, 2021). 

Selain itu, praktik rent seeking lainnya yang terjadi dalam kasus Hambalang adalah manipulasi kebijakan yang dilakukan Andi Mallarangeng sebagai Kemenpora. Yang dimana dalam pembuatan kebijakan ini Andi melakukan penganggaran dan pengadaan barang dan jasa P3SON ini untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Dalam kasus proyek P3SON Hambalang setidaknya terdapat empat tahapan yang menjadi bagian dalam korupsi pengadaan yaitu, (1) Tahap Perencanaan; (2) Tahap Penawaran; (3) Tahap Evaluasi Penawaran; dan (4) Tahap Implementasi dan Pengawasan. Pada tahap perencanaan, Kemenpora telah melakukan manipulasi pada anggaran fisik yang pada awalnya anggaran proyek ini bernilai Rp. 1.29 triliun kemudian ditambahkan sebesar Rp. 1.4 triliun, sehingga anggaran pembangunan proyek ini bernilai Rp. 2.5 triliun. Lebih lanjut pada tahap penawaran, Andi Mallarangeng telah memanipulasi proses penawaran atau tender melalui Wafid Muharrahman untuk memenangkan PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya.  Dalam prosesnya pemenangan kedua tender tersebut, terlebih dahulu harus memberikan komitmen fee sebesar 18% kepada Choel Mallarangeng. Selanjutnya pada tahap evaluasi penawaran pun terdapat sindikat korupsi yang tergambarkan dari proses KSO PT Adhi Karya dan PT Wijaya Karya. Yang dimana dalam tahap administrasi dan pengkajian perusahaan yang ikut tender harus memiliki sertifikasi dari lembaga akreditasi yang credible dan evaluasi harga yang menitik beratkan pada kesesuaian penawaran dengan kriteria yang ditetapkan oleh panitia. Namun, semua biaya yang dilakukan untuk kebutuhan administrasi dan KSO ini dibayarkan sepenuhnya oleh PT Adhi Karya, sedangkan panitia lelang tidak mengeluarkan anggaran apapun. Pada tahap implementasi dan pengawasan pun Andi Mallarangeng memiliki kuasa penuh terhadap proyek ini, (Saputro, 2022). 

Dari kasus korupsi proyek Hambalang menggambarkan bagaimana perilaku rent seeking digolongkan sebagai tindak korupsi yang tidak menerapkan asas transparansi dan menguntungkan kepentingannya saja. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Lambsdorff (2002:104) bahwa perilaku rent seeking dapat digolongkan sebagai tindak korupsi pada saat kesempatan lobi tidak ditransparansikan ke publik, jadi hanya pihak tertentu saja yang dapat terlibat kompetisi.  Dengan memanfaatkan kekuasaan dan pengaruh, para aktor seperti Andi Mallarangeng, Wafid Muharram, dan Anas Urbaningrum berhasil menciptakan sistem yang tidak hanya mengatur hasil tender secara terencana, tetapi juga memanfaatkan posisi strategis mereka untuk memperkaya diri. Kompleksitas kasus ini menyoroti perlunya pengawasan ketat dan penerapan asas transparansi untuk mencegah terulangnya perilaku serupa dalam penyelenggaraan proyek pemerintah.



DAFTAR PUSTAKA

Fahmi, I. (2013, November 10). Ini Kronologis Lengkap 'Bancakan' Proyek Hambalang. Kabar24. https://kabar24.bisnis.com/read/20131110/17/185447/ini-kronologis-lengkap-bancakan-proyek-hambalang

Maharani, D. (2013, November 07). Jaksa : Anas Urbaningrum Terima Rp 2,21 Miliar dari Proyek Hambalang. Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2013/11/07/1442482/Jaksa.Anas.Urbaningrum.Terima.Rp.2.21.Miliar.dari.Proyek.Hambalang

Mahpudin, & Aziz, Y. M. (2021). Jurnal Wacana Politik. Rent Seeking dan Praktik Korupsi di Tubuh BUMD : KASUS BUMD PT BANTEN GLOBAL DEVELOPMENT (BGD), Volume 6, No. 1, 37-48. 10.24198/jwp.v6i1.30756

Putri, A. R. (2024). Economic Reviews Journal. Identifikasi Penyebab Korupsi dalam Prosedur Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, Vol. 3 No 2, 1234-1242. 10.56709/mrj,.v3i2.383

Saputro, A. S. (2022). Indonesian Governance Journal. Analisis Korupsi Pengadaan Barang dan Jasa Proyek Hambalang, Vol. 5, No.01, 41-56. https://doi.org/10.24905/igj.v5i1.2000

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun