Mohon tunggu...
Vannesa MetaPutri
Vannesa MetaPutri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Merupakan seorang mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional angkatan 23 dari Universitas Teknologi Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Antara Realisme dan Liberalisme Teori Mana yang Lebih Efektif?

17 Oktober 2024   19:07 Diperbarui: 17 Oktober 2024   19:08 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam kajian hubungan internasional, teori-teori realisme dan liberalisme telah menjadi dua pilar utama yang membentuk pemahaman kita tentang perilaku negara dan dinamika sistem global. Realisme, dengan fokusnya pada kekuasaan dan anarkisme sistem internasional, menekankan bahwa negara bertindak untuk menjaga kepentingan dan keamanan nasional dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian. Di sisi lain, liberalisme menawarkan pandangan yang lebih optimis, menyoroti pentingnya kerjasama, institusi internasional, dan norma-norma demokrasi sebagai sarana untuk mencapai perdamaian dan stabilitas. Dengan latar belakang konflik global yang semakin kompleks, muncul pertanyaan mendasar antara realisme dan liberalisme. Teori mana yang lebih efektif dalam menjelaskan dan mempengaruhi perilaku negara? Sejalan dengan munculnya teori Realisme dan Liberalisme, teori ini juga melahirkan lagi teori lain sebagai bentuk perkembangannya yang muncul pada akhir abad ke-20 terutama setelah Perang Dingin. Neo Realisme sebagai turunan dari Realisme dan Neo Liberalisme sebagai turunan dari Liberalisme. Dalam tulisan ini saya akan membahas lebih lanjut mengenai keempat teori tadi untuk mendapatkan jawaban atas pertanyaan mengenai teori mana yang lebih efektif melalui pembahasan secara mendalam.

Realisme

Realisme sebagai teori dalam hubungan internasional memiliki akar yang dalam dalam pemikiran politik Barat, dapat ditelusuri kembali hingga zaman kuno. Pemikir seperti Thucydides, Machiavelli, dan Hobbes dianggap sebagai pelopor pemikiran realistis. Thucydides dalam History of the Peloponnesian War menyoroti sifat manusia yang egois dan konflik kekuasaan antara negara-negara, yang menjadi fondasi awal bagi pemikiran realis. Machiavelli dalam The Prince menekankan pentingnya kekuasaan dan pragmatisme dalam politik. Thomas Hobbes dalam Leviathan menggambarkan kondisi manusia dalam keadaan alam sebagai "perang semua melawan semua," menekankan perlunya otoritas yang kuat untuk menjaga ketertiban dan keamanan. Realisme mulai berkembang sebagai teori formal setelah Perang Dunia II, dengan tokoh seperti Hans Morgenthau yang menonjol dalam pemikiran ini melalui bukunya Politics Among Nations, yang menggarisbawahi bahwa politik internasional ditentukan oleh fakta kekuasaan.

Negara merupakan aktor utama dan terpenting dalam sudut pandang ini. Realisme juga menekankan bahwa pada dasarnya sifat manusia adalah egois dan kompetitif. Sehingga manusia sebagai yang menjalankan sebuah negara akan mempengaruhi perilaku negara tersebut. Dengan kata lain negara merupakan entitas yang egois dan hanya akan bertindak pada hal yang menguntungkan atau yang berkaitan dengan national interestnya dimana konflik dianggap hal yang wajar dalam interaksi antarnegara. Setiap negara bertindak untuk memaksimalkan kepentingan nasionalnya, yang sering kali berkaitan dengan kekuasaan. Kekuasaan  dalam bentuk militer menjadi tolok ukur utama dalam menentukan posisi dan pengaruh suatu negara dalam sistem internasional. Hal tersebut secara tidak sengaja memicu ketegangan yang dapat menimbulkan konflik ketika sebuah negara berupaya melindungi diri sendiri atau biasa disebut sebagai security dilemma yang merupakan hasil dari perimbangan kekuatan (balance of power) dalam konteks ini secara militer.

Teori ini juga berpendapat bahwa negara hanya bisa mengandalkan diri sendiri dan juga  dunia internasional adalah arena yang anarkis. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan tidak adanya pemerintahan dunia dan juga tidak adanya kepolisian dunia yang memiliki yurisdiksi wajib. Hal hal tersebutlah yang memunculkan rasa tidak aman, sulitnya mempercayai aktor lain, dan juga meningkatnya keingininan menolong diri sendiri. Karena hal tersebut output yang dikeluarkan sebagai "self defense mechanism" suatu negara ialah dengan memperkuat militernya secara terus menerus.

Neo Realisme 

Pada akhir abad ke-20, muncul neo-realisme sebagai pengembangan teori realisme yang dipelopori oleh Kenneth Waltz melalui bukunya Theory of International Politics, yang memperkenalkan analisis struktural dan berfokus pada bagaimana struktur anarkis sistem internasional mempengaruhi perilaku negara dan bukan individunya. Sama seperti realisme teori ini menekankan bahwa sistem internasional bersifat anarkis, artinya tidak ada pemerintahan pusat yang mengatur hubungan antarnegara, tetapi fokus utama neo-realisme adalah pada bagaimana struktur sistem ini termasuk distribusi kekuasaan yang mempengaruhi perilaku negara-negara. Salah satu konsep penting dalam neo-realisme adalah keseimbangan kekuasaan (Balance of Power), di mana negara-negara berusaha mencapai keseimbangan guna mencegah dominasi oleh satu negara, sering kali dengan membentuk aliansi atau memperkuat kekuatan militernya untuk menjaga stabilitas dan keamanan. Perilaku negara, menurut neo-realisme, ditentukan bukan hanya oleh sifat manusia atau kepentingan nasional individual, tetapi lebih pada posisi dan peran negara dalam struktur internasional, negara dengan kekuatan besar memiliki perilaku yang berbeda dibandingkan negara kecil. Neo-realisme juga dibagi menjadi dua aliran utama, yaitu defensive structural realism, yang dipelopori oleh Waltz, berfokus pada mempertahankan status quo dan menghindari konflik yang tidak perlu, sementara offensive structural realism, yang dipelopori oleh John Mearsheimer, berargumen bahwa negara cenderung mencari kekuasaan lebih banyak untuk menjamin keamanan mereka. Meskipun neo-realisme memberikan perspektif yang kuat dalam analisis hubungan internasional, kritik muncul dari teori-teori lain, seperti liberalisme dan konstruktivisme, yang menilai bahwa neo-realisme terlalu fokus pada kekuasaan dan mengabaikan faktor-faktor seperti norma, identitas, dan kerjasama internasional.

Liberalisme

Liberalisme awalnya muncul sebagai respons terhadap kondisi pasca Perang Dunia Pertama, di mana para akademisi berupaya mencari solusi yang lebih baik untuk menghindari konflik dalam interaksi antarnegara. Tokoh-tokoh penting dalam pengembangan teori ini termasuk Woodrow Wilson, Presiden Amerika Serikat yang merintis gagasan Liga Bangsa-Bangsa, serta David Davies, Kepala Departemen Studi Politik Internasional di Wales, yang dianggap sebagai pelopor dalam bidang hubungan internasional.

Liberalisme sering dianggap sebagai lawan realisme karena lebih optimis dalam memandang dunia. Liberalisme percaya bahwa perilaku negara secara rasional akan selalu memilih damai. Berbeda dengan realis yang fokus pada militer, liberal mementingkan aspek ekonomi. Sama seperti realis, liberal juga mengedepankan rasionalitas yaitu materialistis, dan berpendapat bahwa aktor negara merupakan aktor yang penting. Akan tetapi liberal berpendapat bahwa kita tdak bisa hanya mementingkan aktor negara karena aktor aktor non negara juga merupakan aktor yang penting. Misalnya organisasi ASEAN yang bisa meminimalisir kecurigaan yang berpotensi timbul antar negara negara di Asia dengan aturan aturan yang dia buat. Dengan kata lain aktor aktor non negara juga memerankan peran penting.

Liberalisme juga menjadi pencetus dari free trade (perdagangan bebas) karena beberapa prinsip dasarnya yang mendorong kerjasama dan interdependensi ekonomi antara negara-negara. Pertama, liberalisme berargumen bahwa perdagangan bebas dapat menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan bagi semua negara yang terlibat. Dengan mengurangi hambatan perdagangan, negara dapat mengakses pasar yang lebih luas, meningkatkan efisiensi, dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Selain itu, liberalisme menekankan pentingnya interdependensi ekonomi; negara-negara yang saling bergantung melalui perdagangan cenderung memiliki insentif untuk menjaga hubungan yang damai dan stabil, sehingga konflik menjadi kurang menguntungkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun