Sudah banyak pengamat, rakyat, media massa dan sebagainya mencoba mencari tahu, mengapa sih Jokowi sedemikian moncer, sedemikian menjulang bak raksasa di kancah perpolitikan Indonesia, bahkan sampai manca negara pun - sampai tingkatan tertentu - menaruh ketertarikan pada tokoh ini.   sampai - sampai muncul termonologi khusus nan segar dan baru: Jokowi - effect. Nda ada itu Rhoma Irama effect atau lain2.
Saya mencoba menilik dari sudut pandang filosofis, khususnya filsafat manusia, secara sepintas saja. Siapakah manusia? Itu adalah pertanyaan besar sejak jaman dahulu kala dan menjadi dasar bagi seluruh bangunan pemikiran filsafat dewasa ini.
Saya beranjak dari asumsi berikut: manusia memiliki berbagai dimensi, paling tidak ada 4 dimensi, yaitu
a. dimensi rasional (manusia adalah makhluk rasional)
b. dimensi estetis (manusia adalah manusia estetis, nyeni)
c. dimensi spiritual (manusia adalah makhluk spiritual, dalam artian luas, mengakui adanya suatu kekuatan yang melampaui, transenden, alam fisik materil)
d. manusia adalah makhluk etis
Menurut hemat saya, Jokowi menjadi perhatian - karna gebrakannya yang berbeda - dan menjadi pilihan banyak rakyat (berdasarkan survey) salah satunya karena Jokowi mengedepankan keempat aspek tersebut dalam kepirbadiannya. Dan nampaknya tampilan dari keempat aspek tersebut berlangsung secara alamiah, apa adanya, tidak dibuat-buat, meluncur dengan mulus.
Manusia hanya akan menjadi nyaman dengan dirinya sendiri, dan karenanya "berbahagia" apabila keempat dimensi tersebut terpenuhi. Makanya selalu ada saran: refreshing lah, jalan2, nikmati keindahan alam, team building yang dikemas secara komprehensif, atau guyon dan humor yang mampu membuat hidup lebih hidup, berdoalah selalu dan seterusnya.
Mungkin rakyat melihat hal ini dalam diri Jokowi, dan menjadikannya model, model dari manusia yang lengkap, manusia yang manusiawi.
Bagaimana dengan bakal calon yang lain?
Nampaknya bakal calon yang lain, tidak menunjukan kelengkapan (4) dimensi manusia tersebut. Kebanyakan hanya menampilkan aspek rasionalitas semata. Tidak bisa disalahkan karena umumnya pendidikan yang kita terima adalah pendidikan yang hanya memperhatikan aspek rasionalitas. Rasionalitas menjadi ukuran segala sesuatu. Jargon yang kemudian diturunkan daripadanya, antara lain: ilmiah, canggih, visi, misi, strategi, program dan sebagainya paling masuk akal, ahh ngga logis dan seterusnya. Apalagi bagi bakal calon yang berlatar belakang pengusaha, aspek rasionalitas amat kental.  Alangkah membosankannya berhadapan dengan manusia yang semata - mata rasional. Betapa kering dan membosankan hidup dengan manusia semacam ini. Ini adalah manusia-satu-dimensi (one dimensional man).
Di sisi lain, ada juga yang menampilkan dan mengeksploitir aspek estetis belaka: gagah, tinggi besar ngganteng. Nda peduli hal2 lain, yang penting dia gagah ngganteng. Atau aku pilih dia karna dia tampil berbeda, apa adanya, nyantai, dia metaallll (ini sih Jokowi hehe)
Aspek lain: ada yang menampilkan aspek spiritual belaka. Dan celakanya aspek spiritual ini dipermiskin menjadi sekedar: agama belaka. Ikut lah partaiku, ikut lah aku karna aku adalah makhluk spiritual. Lebih celaka lagi apabila agama dipahami hanya sekedar runtutan ayat demi ayat, tanpa pendalaman, internalisasi dan kontekstulasasi yang memadai.   Betapa menakutkan memiliki presiden yang dikit - dikit bicara agama, dikit - dikit bicara tentang surga dan neraka. Hidup menjadi kering, penuh ketakutan, Allah menjadi Allah yang Maha Pendendam, Maha Mudah Tersinggung, Maha Sensitif. Hidup kok jadi susah, hidup semacam ini bukan lagi hidup yang manusiawi dan sehat.
Lain lagi bagi yang mengedepankan hanya aspek etis belaka. Susah, bos. Pidatonya akan berkisar pada jargon2: seharusnya negara ini maju, seharusnya tidak korupsi, seharusnya jangan bohong dan sebagainya. Mbok ya jangan begitu lah. Etika pun membutuhkan evaluasi rasional, terutama apabila dihadapkan pada dilema moral. Tidak mudah hidup dibebani dengan bayang - banyang: seharusnya begini, seharusnya begitu dan sebagainya.
Jadi sebaiknya bagaimana?
Baik lah kita hidup sebagai manusia yang manusiawi: keempat dimensi kemanusiaan kita ditumbuh kembangkan, sehingga hidup menjadi lebih hidup. Nampaknya ini terpancar dan terekspresi dari pribadi Jokowi, dan itu ditangkap oleh rakyat banyak, walaupun secara implisit dan subtil.
Mungkinkah demikian? tulisan ini hanya membidik aspek filsafat saja, dan itupun dalam bentuk ringan. Masih banyak aspek lain yang nampaknya layak untuk ditelaah sehingga penilaian menjadi lebih lengkap.
Tidak ada salahnya para bakal calon presiden memperhatikan dan mempertimbangkan hal ini.
tabiiikkkkk . .. . . . .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H