Mohon tunggu...
Von Lamalera
Von Lamalera Mohon Tunggu... -

pemikir pejuang - pejuang pemikir

Selanjutnya

Tutup

Politik

Presiden Paripurna: Popularitas PLUS Rasionalitas

24 Maret 2014   04:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:34 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Romo Magniz secara khusus membenturkan antara popularitas dengan visi, misi dan strategi.  Dengan kata lain - dalam bahasa filsafat - menunjuk forma dan materia, bentuk dan isi.  "Bentuk" dalam bahasa politik praktis adalah Popularitas, sedangkan materia, atau "isi" adalah visi, misi, strategi (dan cetak biru bangsa).   Dalam bahasa Leninis, popularitas tanpa praktek jitu adalah omong kosong, sedangkan praktek tanpa memiliki popularitas adlah sia - sia, tenggelam di lingkungan kecil tanpa memberikan manfaat maksimal untuk bangsa.

Beberapa calon presiden sudah mensosialisasikan visi, misi dan strateginya; terutama yang sudah akrab bagi masyarakat adalah dari Gerindra, pak Prabowo.  Yang lainnya belum jelas benar, bahkan ada yang sama sekali belum, seperti Jokowi.

Pertanyaan besarnya, mengapa Jokowi belum melakukan hal itu, dan apabila itu dilakukan, kapan?

Di titik ini, saya menukik ke tataran praktis.

Secara strategi, masa kampanye saat ini adalah masa kampanye untuk pemilihan legislatif, bukan pemilihan presiden.  Semua kekuatan partai dikerahkan untuk memenangkan dan atau memperoleh kursi yang cukup untuk melampaui ambang batas yang ditentukan agar dapat mengajukan calon presiden.  Dapat dipahami bahwa Jokowi fokus untuk hal ini dulu.  Nampaknya ini adalah strategi PDIP.   Dan yang namanya strategi, sah - sah saja, sebab strategi ditentukan berdasarkan situasi obyektif pertarungan yang biasanya amat dinamis.  Pilihan strategis seperti ini hanya akan dipahami apabila kita masuk ke alam pikir para ahli strategi PDIP.  Selama kita tidak bisa masuk ke alam pikir mereka, maka kita hanya bisa menduga - duga, atau mungkin berteriak - teriak dari luar, menuntut agar PDIP melakukan ini atau itu.

Secara etis, dalam kaitan dengan kepentingan rakyat banyak yang berhak atas informasi dan berhak memiliki waktu yang cukup untuk menimbang - nimbang, apakah langkah Jokowi dan PDIP itu tidak etis.   Dari "menara gading" sang filsuf, nampaknya jawabannya adalah ya, tidak etis.  Tetapi marilah kita turun ke arena berlumpur di mana lapis terbesar rakyat berada, apakah jawaban rakyat?  Nampaknya tidak ada masalah.  Survey membuktikan bahwa Jokowi selalu berada di peringkat atas.

Di lain pihak, dengan mengandaikan bahwa rakyat banyak - yang adalah massa - umumnya belum atau kurang mampu memiliki pemikiran kritis, maka amat perlu bagi Jokowi dan PDIP untuk sesegera mungkin mensosialisasikan cetak biru bangsa, visi-misi-strategi agar dengan cara itu, PDIP memainkan peran mulia: ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa.  PDIP ikut serta memberikan pendidikan politik dan pencerahan kepada rakyat; dan secara etis, PDIP memberikan kepada rakyat apa yang menjadi hak rakyat: informasi dan waktu yang cukup untuk mengelola informasi tersebut sehingga pilihan yang akan dijatuhkan, adalah pilihan yang sekaligus - sampai tataran tertentu - adalah pilihan rasional PLUS pilihan non-rasional (emosional, estetis, kesukuan, ideologi dan seterusnya).

tabik,

VL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun