Di sisi lain, Galih mendorong kekasihnya mengembangkan bakat di bidang tarik suara dan penulisan lagu. Siapa nyana, suara Ratna merdu dan ia pandai mencipta lagu. Hal itu membuat Galih meyakinkan Ratna berkarir jadi musisi.
Keberhasilan Galih membangkitkan “Nada Musik” dan sukses Ratna memantapkan diri lebih serius bermusik tiada membuat bahagia menjemput dua sejoli ini. Beragam tantangan harus dihadapi mereka. Tantangan terbesar berasal dari lingkungan terdekat: sekolah dan keluarga.
Sang sutradara, Lucky Kuswadi, mengangkat respon sejoli terhadap konflik ini dengan apik. Galih dan Ratna naik kereta ke luar kota tak jelas ke mana tujuannya. Mereka hanya menggenggam tangan satu sama lain sambil memandangi rentetan hijau ladang di kanan-kiri rel—galau--tak mampu menjatuhkan pilihan.
Namun, di akhir cerita, baik Galih maupun Ratna dipaksa untuk memilih. Nyatanya, segala keputusan yang diambil dua remaja ini berujung pada proses pendewasaan diri masing-masing. Proses pendewasaan ini membuat Galih dan Ratna belajar bahwa terdapat konsekuensi di balik pilihan untuk mengejar mimpi. Pun, ada timbal balik dari keputusan untuk berkompromi mengikuti pilihan yang tak sesuai nurani.
--
Secara garis besar, film ‘Galih dan Ratna’ disajikan dengan sangat menarik. Sinematografi yang digarap rapi berhasil menangkap lanskap Bogor sebagai kota latar cerita; lengkap dengan hijau-hijauan di sekeliling kota, gedung tua tempat ‘Nada Musik’ berada, sampai angkot hijau yang legendaris. Pemilihan stasiun Tanjung Priok dengan arsitektur bergaya Belanda juga bakal menyegarkan ingatan penonton pada korelasi kisah remake ini dengan cerita pendahulunya, ‘Gita Cinta dari SMA’ (1979, sutradara Arizal, dibintangi Rano Karno dan Yessy Gusman).
Lucky Kuswadi mesti diacungi jempol atas keberhasilannya mengangkat identifikasi remaja milenials yang berani tampil quirky dalam dandanan, bold dalam prinsip, maupun outspoken dalam gaya bicara. Penonton bisa menangkap representasi identitas ini lewat tokoh-tokoh pendukung ‘Galih dan Ratna’. Sebut saja tokoh Erlin (Stella Lee), seorang beauty blogger yang selalu berdandan harajuku dengan wig abu-abu dan memilih teman berdasarkan jumlah followers. Atau Mimi (Rain Chudori), perempuan chubby aktivis sekolah yang concern terhadap isu sosial dengan bikin petisi mendukung ibu-ibu Rembang dan sudah mendeklarasikan diri memiliki orientasi seks berbeda.
Hal istimewa lain dalam film ini adalah kualitas akting dua pemeran utamanya. Sheryl Sheinafia sanggup menghidupkan tokoh Ratna sebagai remaja putri kreatif dengan energi meletup-letup. Pendirian Ratna yang kuat untuk melewati kisah tak enak sesuai filosofinya mendengarkan musik diintepretasikan dengan pas oleh Sheryl terutama pada bagian akhir film.
Pujian pun patut dialamatkan pada Refal Hady, aktor pendatang baru yang mampu memerankan Galih, pemuda introvert, romantis, sekaligus nerd. Meski agak minim variasi intonasi, kedua pasang mata Refal mampu “berbicara” guna menghadirkan sosok Galih berproses dalam berbagai situasi; baik ketika Galih sedang jatuh cinta, bingung, sedih, marah, dan patah hati.
Meski demikian, bagi sebagian penonton Indonesia, gaya bertutur Lucky yang amat subtle dalam menyajikan jalinan cinta Galih dan Ratna membuat konflik film terasa “tanggung”. Mungkin karena di beberapa scene klimaks, termasuk saat Galih dan Ratna jadian dan kala mereka berantem hebat, para aktornya tak diberi jatah dialog panjang dengan diksi mellow-dramatik layaknya di beberapa judul teen-flick Indonesia yang meledak di pasaran setahun terakhir.
Lalu, adakah hal ini mengurangi unsur romantis yang diusung “Galih dan Ratna”? Saya rasa tidak. Gerak-gerik dan ekspresi pemeran yang minim rayuan gombal dalam mengekspresikan perasaan tetap terlihat meyakinkan. Sebab, bagian ini didukung lagu tema indah dari GAC, Rendy Pandugo, Agustin Oendari, White Shoes and Couples Company, Ivan Gojaya, serta Sheryl-sang Ratna.