Pilihan Lucky mensinergikan ekspresi para pemeran dan musik latar malah menjadikan musik tak sekadar tempelan; ia memberi nyawa setiap detil scene. Di sini, saya melihat Lucky mampu memberikan ruang pada audience melibatkan indra pendengarnya untuk menghayati melodi dan lirik lagu buat menginterpretasikan tiap scene ‘Galih dan Ratna’. Pencapaian ini, bagi saya, sukses menutup beberapa goofs macam kehadiran Ratna di peron stasiun walau ia bukan penumpang.
Harus diakui, pilihan Lucky dalam mengemas ‘Galih dan Ratna’ adalah pilihan yang manis, klasik, sekaligus beresiko, bagaikan gita pengungkap cinta dalam sebuah mixtape. Manis,sebab gaya penyutradaraan Lucky mampu membawa penonton tak hanya “witness the moment” tapi juga “feel the moment”. Penonton Indonesia diajak menjadi penonton yang lebih dewasa dalam memaknai film drama romantis remaja dengan utuh tanpa harus disuapi adegan mesra berlebihan atau gombalan basi. Klasik, karena pendekatan subtle-romantic ala Lucky ini akan diingat sebagai pencapaian baru kolaborasi musik dan film di Indonesia. Beresiko, sebab, jika tak di-protect, film sebagus ini cuma mampir sebentar di layar bioskop– sehingga kenangan bahagia-nestapa masa remaja ‘Galih dan Ratna’ tak mampu dirayakan lama-lama oleh penikmat layar perak Indonesia, khususnya para milenials.
Maka, mixtape ‘Galih dan Ratna’ buat milenials ini mesti segera disaksikan, didengar, dan dinikmati di sinema sebelum ia tergerus kebijakan miskin layar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H