Oleh: Nofa Auliyaur Rokhmah (231510601050), Vanisa Rahmawati. I.R (231510601057), Yora Serena Boru. N (231510601120), Alfanda Pramudya. R (231510601153)
Program Studi Agribisnis,Fakultas Pertanian Universitas Jember
Gula merupakan salah satu komoditas pangan strategis nasional. Secara umum gula yang dikonsumsi bersumber dari gula tebu. Gula tebu memiliki peran penting di sector pertanian khususnya sub sektor perkebunan dalam perekonomian nasional karena selain menjadi kebutuhan pokok gula juga merupakan bahan pangan sumber kalori yang relatif murah. Konsumsi gula di Indonesia dari tahun ketahun semakin meningkat di sebabkan oleh pertambahan penduduk dan peningkatan sehingga perlu adanya keseimbangan peningkatan produksi gula (Puspita & Ingesti, 2024).
Salah satu cara untuk meningkatkan produksi dan sekaligus meningkatkan pendapatan petani tebu adalah dengan cara diterapkan sistem pola kemitraan. Kemitraan dapat menjadi salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan yang sering kali dihadapi oleh petani seperti penyediaan input, masalah harga, pemasaran dan ketersediaan modal (Salsabila & Wulandari, 2021). Dimana, petani membutuhkan perusahaan untuk mengolah tebunya dan perusahaan membutuhkan petani untuk ketersediaan bahan baku. Sehingga penting adanya jalinan kemitraan yang besifat saling menguntungkan, saling terbuka, dan saling percaya.
Oleh sebab itu Isi kontrak kemitraan merupakan kesepakatan yang muncul dari petani dan pihak mitra. Perusahaan mitra menentukan grade (harga standar) tebu sesuai dengan kualitas produk yang dihasilkan petani. Dengan kontrak yang sudah berjalan, petani mengatakan bahwa mereka bersedia untuk memperpanjang kontrak dengan pihak mitra. Bagi petani, kontrak yang sudah dilakukan mampu untuk merubah nasib petani. Berdasarkan fenomena diatas penulisan artikel populer ini bertujuan untuk mengetahui (1) peran stakeholder dalam kemitraan tebu, (2) bagaimana indentifikasi pola kemitraan tebu, serta (3) apa dampak adannya kemitraan tebu bagi petani mitra dan juga pabrik gula.
Pengusaha agribisnis lebih memilih contract farming dengan petani dibandingkan menanam di lahan sendiri atau membeli langsung ke pasar terbuka karena perusahaan dapat meminimalkan biaya transaksi. Kontrak yang dilakukan oleh petani berbeda-beda tergantung kesepakatan yang telah diatur antara petani dengan perusahaan, ada kontrak tertulis dan ada kontrak yang tidak tertulis. Kontrak yang tidak tertulis ini sifatnya kurang kuat dan tidak bisa dipertimbangkan secara hukum. Pelaku kontrak pertanian di sektor tebu mencakup berbagai pihak yang terlibat dalam proses penanaman, pengolahan, hingga distribusi produk tebu. Pelaku kontrak pertanian tebu adalah sebagai berikut:
Dalam pertanian kontrak komoditas tebu, hubungan antara petani (sebagai agent) dan perusahaan gula (sebagai principal) dapat dijelaskan melalui teori "principal-agent". Menurut Mudhofir et al. (2019) Principal-agent berfokus pada struktur  preferensi  setiap  pihak, kondisi ketidakpastian, struktur informasi, termasuk pembagian risiko dan  manfaat  agar dapat menciptakan kontrak yang optimal.
Pada pola kemitraan tebu terdapat istilah adverse selection yang merupakan kondisi di mana informasi yang tidak simetris antara kedua belah pihak dapat menyebabkan kerugian salah satu pihak. Seleksi yang dilakukan oleh principal sangat berpengaruh terhadap tujuan yang diinginkannya sehingga diperlukannya kriteria-kriteria dalam pemilihan agen sehingga proses kemitraan dapat berjalan dengan lancar (Fikri & Aminullah, 2024).
Kriteria adverse selction terjadi pada pola kemitraan antara petani tebu dengan Pabrik Gula. Petani tebu harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh PG yaitu harus berdomisi di kabupaten setempat misalnya Kabupaten Subang yang dibuktikan dengan kartu tanda identitas, melakukan pendaftaran kemitraan ke PG Subang, pengajuan dana pinjaman (KUR), serta pembayaran hasil tebu. Petani mitra wajib membayarkan hasil panen tebu ke pihak PG Subang. Pihak PG kemudian membayarkan hasil panen tebu kepada petani mitra setelah dikurangi dengan pembayaran pokok dan bunga pinjaman petani (Budi et al., 2024). Pola kemitraan yang terjadi di masa sekarang ini pada Pabrik Gula dengan petani tebu adalah model kemitraan kerjasama operasional agribisnis (KOA). Kriteria petani tebu yang diinginkan oleh pihak PG yaitu petani telah bergabung dalam suatu kelompok tani, mampu menyediakan bahan baku yang sesuai dengan kriteria kualitas dan kuantitas yang baik, bersedia melakukan budidaya sesuai dengan bimbingan dari petugas lapang sehingga tebu yang dihasilkan mempunyai kuantitas dan kualitas rendemen yang tinggi (Komarrudin et al., 2024)
Adannya kecurangan atau moral hazardjuga sering terjadi antara principal dan agent. Moral hazardterjadi apabila salah satu pihak baik agent maupun principal mendapat informasi yang lebih banyak. Keuntungan tersebut yang akhirnya dimanfaatkan menjadi tindakan yang negative, kemudian berdampak pada penyalahgunaan wewenang sebab merasa tidak diawasi oleh pihak yang bermitra.
Penyalahgunaan modal produksi tebu oleh petani mitra tebu yang berada di Kabupaten Subang. Petani menyalahgunakan modal dengan cara menggunakan pinjaman dari pihak bank dengan pihak pabrik gula sebagai penjamin (avalis) pinjaman (Budi et al., 2024). Petani memanfaatkan pinjaman bank yang dijamin oleh pabrik gula  untuk tujuan di luar produksi tebu. Praktik ini tidak hanya merugikan pabrik gula sebagai penjamin, tetapi juga berdampak negatif pada keberlanjutan usaha tani tebu. Petani yang terjebak dalam lingkaran utang akan kesulitan meningkatkan produktivitas dan kualitas tebu, yang pada akhirnya merugikan seluruh rantai pasok. Moral hazard dalam konteks kemitraan tebu seringkali terjadi ketika petani mitra tidak memenuhi kewajibannya untuk menjual seluruh hasil panen sesuai dengan kesepakatan kontrak. Perilaku ini merupakan bentuk penyimpangan dari kontrak yang merugikan pihak pabrik gula. Ketika petani memiliki insentif untuk tidak mematuhi kontrak, misalnya karena adanya peluang mendapatkan harga yang lebih tinggi di pasar bebas, maka muncullah moral hazardyang dapat mengganggu kelancaran rantai pasok tebu. Faktor yang menyebabkan ha tersebut terjadi karena fluktuasi harga di pasar bebas lebih tinggi dibandingkan harga yang ditetapkan di kontrak, lemahnya pengawasan, serta keterbatasan informasi petani mitra mengenai konsekuensi melanggar kesepakatan. (Puspita & Ingesti, 2024).
Menurut Hafsah (2000) dalam Hakim (2016) manfaat dari kemitraan adalah meningkatkan produktivitas, efisiensi tenaga kerja, waktu, dan biaya produksi, jaminan kualitas, kuantitas, dan kontiueitas, serta resiko ditanggun secraa bersama-sama sesuai kesepakatan. Manfaat sosial kemitraan yaitu meningkatkan persaudaraan antar pelaku kemitraan, meingkatnya ketahanan ekonomi secara nasional, meningkatkan pendapatan sehingga diikuti dengan kesejahteraan pelaku kemitraan, mengentaskan kemiskinan, mengurangi pengangguran, meningkatkan pemerataan dan keadilan sosial, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya alam dan lingkungan, melestarikan kualitas lingkungan untuk mendukung kegiatan pembangunan. Menurut Komarrudin et al ., (2024) Tujuan adannya kemitraan ini yaitu untuk meningkatkan keuntungan melalui kerja sama antara petani dengan budidayanya dengan pabrik gula sebagai industri pengolahnya disertai adannya pembinaan usaha.
Petani mitra tebu akan mendapatkan pinjaman modal untuk membeli sarana produksi pertanian seperti bibit tebu, pestisida, pupuk, dan teknologi penunjang yang dibutuhkan selama proses budidaya. Petani juga memperoleh bimbingan dan pembinaan dari petugas yang ada di Pabrik Gula pada saat budidaya sehingga kualitas dan kuantitas yang diinginkan oleh PG dapat tercapai. Hasil panen tebu selanjutnya akan diangkut dan di setorkan kepada Pabrik Gula. Proses selanjutnya pengecekan rendemen tebu dan ketika telah selesai maka petani mitra tebu akan dihargai hasil kerja kerasnya tersebut sesuai dengan harga yang telah disepakati dalam kontrak. Jaminan pasar dan bimbingan teknis dari pihak Pabrik Gula dapat memudahkan petani dan meningkatkan pendapatan petani. Kegiatan kemitraan ini dapat menciptakan hubungan yang menguntungkan kedua pihak baik petani tebu mitra dan juga Pabrik Gula.Â
Kelembagaan petani tebu memegang peranan penting dalam mendukung produksi gula nasional melalui kemitraan antara petani tebu dan pabrik gula. Kemitraan ini dirancang untuk saling menguntungkan, dengan perusahaan memberikan jaminan pasar, penyediaan input produksi, pelatihan teknis, dan bimbingan kepada petani. Di sisi lain, petani bertanggung jawab untuk mematuhi standar kualitas dan kuantitas yang telah disepakati. Namun, pelaksanaan kemitraan sering kali menghadapi tantangan seperti asimetri informasi, moral hazard, dan adverse selection yang dapat menghambat transparansi dan keadilan. Meski demikian, kemitraan ini memberikan manfaat signifikan, termasuk peningkatan produktivitas, efisiensi, dan pendapatan petani, serta memastikan pasokan tebu berkualitas bagi industri gula. Pola kemitraan yang diterapkan bervariasi, seperti kerja sama operasional agribisnis (KOA) atau kontrak dengan syarat tertentu, yang disesuaikan dengan kondisi lokal. Pemerintah juga berperan dalam regulasi, subsidi, dan pengawasan, meskipun intervensi yang berlebihan dapat menimbulkan distorsi. Secara keseluruhan, keberhasilan kelembagaan petani tebu bergantung pada hubungan kerja yang transparan, adil, dan berkelanjutan antara semua pihak yang terlibat.
Budi, N., Yusiana, E., & Budiandrian, B. (2024). Analisis Pola Kemitraan Petani Tebu (Saccharum officinarum Linn) di PT. PG Rajawali II Unit PG Subang. Paspalum: Jurnal Ilmiah Pertanian, 12(2), 271-278.
Fikri, M. R., & Aminullah, A. (2024). Efektivitas Implementasi Program Yess dalam Erspektif Principal Agent di Kabupaten Pasuruan. Journal of Management and Bussines (JOMB), 6(1), 8-19.
Puspita, A. D., & Ingesti, P. S. V. (2024, October). Analisis Usaha Tani pada Pola Kemitraan Petani Tebu Rakyat Mandiri dengan Pabrik Gula Madukismo (Studi Kasus di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta). In Prosiding Seminar Nasional Pembangunan dan Pendidikan Vokasi Pertanian (Vol. 5, No. 1, pp. 1230-1244).
Budi, N., Yusiana, E., & Budiandrian, B. (2024). Analisis Pola Kemitraan Petani Tebu (Saccharum officinarum Linn) di PT. PG Rajawali II Unit PG Subang. Paspalum: Jurnal Ilmiah Pertanian, 12(2), 271-278.
Hakim, L. (2016). Analisis Biaya Transaksi Ekonomi dan Faktor Determinan Penerapan Kemitraan Usaha Tani Tebu Rakyat Studi Kasus Mitra Tani PG Pandji, Kecamatan Pandji, Kabupaten Situbondo. Skripsi : Universitas Jember.
Hank, I. (2018). Eksplorasi contract farming dalam mewujudkan kesejahteraan petani (Doctoral dissertation, Program Studi Agribisnis FPB-UKSW).
Komarrudin, S. D., Mulyaningtiyas, R. D., & Askafi, E. (2024). Pola Kemitraan Petani Tebu Dengan Pabrik Gula Djombang Baru. Manajemen Agribisnis: Jurnal Agribisnis, 24(2), 262-269.
Mudhofir, M. R. T., Nugroho, B., & Soedomo, S. (2019). Kontrak Usaha Pemanfaatan Wisata Alam pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung Rinjani Barat. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (Journal of Natural Resources and Environmental Management), 9(2), 419-436.
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997
Puspita, A. D., & Ingesti, P. S. V. (2024, October). Analisis Usaha Tani pada Pola Kemitraan Petani Tebu Rakyat Mandiri dengan Pabrik Gula Madukismo (Studi Kasus di Kabupaten Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta). In Prosiding Seminar Nasional Pembangunan dan Pendidikan Vokasi Pertanian (Vol. 5, No. 1, pp. 1230-1244).
Raharjo, Adisasmita. (2016). Pembangunan Pedesaan dan Perkotaan, Yokyakarta: Graha Ilmu.
Syahyuti. (2020). Bedah Konsep Kelembagaan : Strategi Pengembangan dan Penerapannya dalam Penelitian Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Bogor.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H