Gagal dalam menyelamatkan Ibunya, Seraphina menangis tersedu-sedu seolah tidak percaya Ibunya telah tiada. Perasaan sedih, bingung dan kalang kabut bercampur menjadi satu. Ia tak menemukan satu orang pun untuk dimintai pertolongan. Ia bahkan tak tahu bagaimana harus pulang sendirian, sementara hari mulai menjadi petang.Â
Seraphina: "Ibu??" Sambil menatap ke kejauhan, seolah tidak percaya bahwa matanya melihat sosok Ibu yang ia kira tak akan pernah ia lihat kembali.
Ibunya tersenyum dan menggandeng tangan mungilnya. Hujan yang tak kunjung henti menjadikan tangan ia dan Ibunya dingin ketika bergenggaman. Mereka kemudian pulang dengan kembali menaiki transportasi umum. Sepanjang perjalanan, tak sepatah kata pun yang terlontar dari mulut Ibu Seraphina. Ibunya terus tersenyum dan mengelus kepalanya yang basah oleh air hujan.Â
Sesampainya di rumah, Seraphina bergegas mandi dan menyimpan siput rawa yang hanya tersisa satu ember akibat jatuh terpeleset tadi. Seusai mandi, ia mencari Ibunya untuk membantu memasak siput rawa. Namun, Ibunya tak ia temukan di seluruh penjuru rumah.Â
Seraphina: "Ibu?,, Ibu??" Panggil Seraphina
Tak ada jawaban.Â
Tak lama, terdengar ketukan pintu dari luar dengan suara yang begitu keras, diikuti remang-remang suara warga yang begitu riuh.
Seraphina membuka pintu rumahnya, Bu Ayu, tetangganya dengan cepat memeluk Seraphina dengan dibanjiri air mata.
Bu Ayu: "Dik, Ibumu dik..." Sambil terus mendekap Seraphina
Seraphina terdiam, masih tidak mengerti apa yang terjadi hingga membuat hampir seluruh tetangganya mendatangi rumahnya dengan raut wajah penuh duka.
Bu Ayu: "Kuat yaa dik, tubuh Ibumu sudah dibawa menuju kesini, tadi ditemukan warga sekitar di pinggir sungai, Ibumu sudah tergeletak"