Mohon tunggu...
Vania Zalika
Vania Zalika Mohon Tunggu... Lainnya - siswa

hobi saya menari dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah dan Pengaruh Kerajaan Maritim Majapahit pada Masa Pemerintahan Hayam Wuruk

26 Oktober 2024   10:10 Diperbarui: 26 Oktober 2024   10:10 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Majapahit, sudah berdiri cukup lama di Nusantara dengan wilayah yang sangat luas. Majapahit sebagai Thalassokrasi kekaisaran maritim penguasa lautan berdiri di abad pertengahan dari tahun 1293-1527 M yang berpusat di Trowulan, yang kita kenal sekarang dengan Mojokerto, Jawa Timur. Majapahit penuh dengan cerita menakjubkan, mulai dari kemegahan, kekayaan, budaya, pemberontakan, kejayaan, perang saudara dan menjadi salah satu yang paling menonjol dalam pengembangan politik, ekonomi dan perdagangan global. Kita akan mencoba untuk mengeksplor kegigihan dan ambisi yang mendefinisikan salah satu kerajaan terbesar dalam sejarah Nusantara. Ketika orang-orang Austronesia, pelaut terbesar yang pernah hidup, berlayar dari Taiwan ke Jawa sekitar 3.500 tahun yang lalu, mereka langsung menempatkan daratan dan laut baru itu menjadi rumah mereka dan keturunan-keturunan mereka, yang nantinya membangun beberapa kerajaan paling kaya dalam sejarah.

Jawa menjadi tempat yang cocok untuk tempat tinggal karena merupakan salah satu tanah paling subur di bumi, dengan delapan belas gunung berapi aktif, menciptakan tanah paling produktif. Selain itu, Jawa juga adalah gerbang ke Selat Malaka, pusat utama dari jalur sutra maritim, yang sejak zaman kuno telah menghubungkan Cina dengan peradaban kuno India, Persia, Arab dan yang lainnya, dengan angin muson musiman yang mempermudah perjalanan ini. Sejak abad pertama Masehi, rempah-rempah di Indoneisa telah melakukan perjalanan sejauh Kekaisaran Romawi, dan ini mayoritasnya didistribusikan oleh penguasa Jawa. Dengan semua ini, tidak mengherankan bahwa kerajaan-kerajaan yang berpusat di Jawa mampu mencapai tingkat kekuasaan yang luar biasa. Angin muson meniup pedagang asing ke Nusantara, yang dengan itu juga memasukkan filosofi, ilmu pengetahuan, prinsip politik dan juga agama. Austronesia awalnya adalah penganut animisme, namun kontak terus-menerus dengan peradaban India membuat mereka perlahan mengadopsi agama Hindu dan Buddha. Dan menyebut diri mereka sebagai Devaraja, atau Raja Dewa. Monumen-monumen raksasa kemudian didirikan menjadi bukti kemuliaan kerajaan, seperti candi Prambanan dan candi Borobudur. Ini terjadi sebagian besar dengan raja-raja seperti Rakai Pikatan dan Dyah Balitung yang berhasil memperluas wilayah dan pengaruh kerajaan mereka dan membuatnya memundurkan ibu kota dari Jawa Tengah ke Jawa Timur.

 Majapahit di bawah Hayam Wuruk memperluas wilayah kekuasaannya secara signifikan, mencakup hampir seluruh Nusantara. Dalam Kakawin Nagarakretagama, pupuh 13-15, disebutkan bahwa wilayah kekuasaan Majapahit mencakup Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, Tumasik (Singapura), dan sebagian Kepulauan Filipina, menegaskan skala dan prestasi monumental dari Majapahit. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk, Majapahit tidak hanya memperkuat pertahanan dan keamanan tetapi juga mencapai kestabilan politik yang signifikan. Tanpa adanya pemberontakan internal atau agresi eksternal, kebijakan keamanan Majapahit terbukti efektif. Selain fokus pada pertahanan, Hayam Wuruk juga mendorong pengembangan ekonomi melalui perdagangan. Hubungan ekonomi yang erat dengan negara-negara tetangga sangat penting, mengingat Majapahit menjadi pusat perdagangan regional. Majapahit, sebagai kerajaan yang kaya sumber daya, memproduksi dan mengekspor barang-barang yang sangat diminati di pasar internasional seperti beras, lada, gading, timah, besi, intan, ikan, cengkih, pala, kapas, dan kayu cendana.

Peran Majapahit sebagai produsen dan perantara dalam perdagangan regional memberikan keuntungan ekonomi yang besar dan memperkuat hubungan politik dengan kerajaan dan negara lain di kawasan tersebut. Kebijakan perdagangan ini tidak hanya memperkaya kerajaan tetapi juga memperkuat pengaruh politik Majapahit di Asia Tenggara, memperluas jaringan aliansi, dan menjamin stabilitas regional yang berkesinambungan. Dengan demikian, pemerintahan Hayam Wuruk diingat karena kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi dan kemakmuran Majapahit, selain pencapaiannya dalam memperkuat pertahanan. Majapahit memperkuat posisinya sebagai kerajaan maritim yang kuat. Armada lautnya, yang dipuji oleh para penjelajah dan pedagang asing, menjadi salah satu pilar utama dominasi Majapahit di kawasan tersebut. Keberhasilan Majapahit mencapai puncak kejayaannya tidak lepas dari peranan pasukan Bhayangkara, Pasukan ini berperan penting dalam menjaga keamanan dan pertahanan Majapahit, baik dalam menghadapi peperangan maupun menjaga stabilitas dan keamanan di dalam negeri. Keberadaan mereka memungkinkan rakyat Majapahit merasa aman dan terlindungi. Proses seleksi untuk menjadi anggota Pasukan Bhayangkara sangat ketat dan teliti. Calon anggota harus menguasai berbagai ilmu pertarungan dan bela diri, memastikan hanya yang terbaik yang dapat bergabung. Meski jumlah mereka tidak banyak, efektivitas pasukan ini sangat tinggi, dikatakan bahwa satu anggota Bhayangkara memiliki kemampuan yang setara dengan empat puluh prajurit biasa.

 Keunggulan ini menunjukkan betapa Majapahit mengutamakan kualitas daripada kuantitas dalam membentuk kekuatan militernya. Majapahit, di bawah kepemimpinan Hayam Wuruk, beruntung memiliki dua pemimpin militer yang cemerlang: Gajah Mada dan Mpu Nala. Keduanya memainkan peran krusial dalam memastikan keberhasilan militer kerajaan. Mpu Nala, yang spesialis dalam pertahanan laut, memiliki peran penting dalam mengamankan perairan Majapahit dan memastikan keamanan rute perdagangan serta operasi maritim. Di sisi lain, Gajah Mada, sebagai Mahapatih, tidak hanya berperan dalam strategi militer tetapi juga dalam operasi intelijen dan taktik penyerangan. Keterampilannya dalam merencanakan dan melaksanakan strategi militer membuatnya menjadi salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Majapahit. Ia juga terlibat dalam pengembangan teknologi militer, termasuk perakitan senjata.

 Salah satu inovasi yang dikaitkan dengan Gajah Mada adalah cetbang, sebuah jenis meriam atau senjata api yang digunakan untuk memperkuat kapabilitas militer Majapahit. Kombinasi keahlian Gajah Mada dalam strategi darat dan kecakapan Mpu Nala dalam pertahanan laut menciptakan sinergi yang memperkuat kedudukan Majapahit sebagai kekuatan dominan di Asia Tenggara. Dengan kepemimpinan yang efektif dan inovasi teknologi, Majapahit mampu mempertahankan wilayahnya dan memperluas pengaruhnya melalui ekspedisi dan penaklukan. Pada masa keemasannya, Majapahit mengalami kemajuan signifikan dalam bidang maritim dan menikmati kemakmuran ekonomi yang berlimpah.

 Kerajaan ini mengembangkan sistem perekonomian yang dinamis, ditandai dengan perdagangan antar kerajaan yang lancar serta penerapan mata uang logam sebagai alat transaksi. Yang memudahkan perdagangan dan standarisasi nilai barang. Kerukunan sosial yang terjalin di Majapahit didukung oleh Filsafat "Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa," yang berarti "Berbeda-beda tetapi tetap satu, tidak ada dualisme yang abadi." Filsafat ini menjadi prinsip yang mengatur kehidupan sosial dan politik di Majapahit, mendorong keragaman agama dan etnis untuk hidup berdampingan dalam harmoni. Filsafat ini juga yang nantinya menjadi inspirasi bagi ideologi Pancasila di negara kita, Indonesia, yang tetap relevan dalam menjaga kerukunan dan kesatuan di tengah keragaman budaya dan agama.

 Dalam skala internasional, Majapahit mendapatkan pengakuan sebagai kekuatan yang kuat dan stabil. Hubungan perdagangan dengan kerajaan tetangga seperti Thailand, Singapura, dan Malaysia menunjukkan jaringan dagang yang luas dan saling menguntungkan, memperkuat posisi Majapahit sebagai pusat perdagangan dan politik di kawasan Asia Tenggara. Interaksi ini tidak hanya melibatkan pertukaran barang, tetapi juga pengaruh budaya dan politik, menciptakan era perdamaian dan kemakmuran yang memungkinkan Majapahit mencapai puncak kejayaannya. ratusan kelompok etnis, ribuan pulau, dan lebih dari 5.000 kilometer lautan. Menjadikannya Penguasa Laut terbesar di dunia pada saat itu, dan terbesar dalam sejarah Nusantara. Pada puncaknya, Majapahit menguasai teras-teras padi di Jawa, jalur pelayaran Malaka, dan pulau-pulau rempah di Maluku. Ini menjadikannya kekuatan agraris, maritim, dan pesaing serius di antara kekaisaran terkaya di dunia.

Rantai perdagangan Majapahit meluas melintasi lautan, menjaga hubungan dagang dengan Kekaisaran Vijayanagara di India Selatan dan berbagai negara di Asia Tenggara maritim seperti Champa, i Vit, Kekaisaran Ayutthaya, dan Kekaisaran Khmer. Bahkan hubungan Cina-Jawa kembali stabil setelah Dinasti Ming menggantikan Dinasti Yuan. Majapahit tidak hanya mengandalkan kekuatan ekonomi saja. Mereka memiliki angkatan laut yang kuat dengan kapal perang utama bernama jong. Kapal ini dapat dengan mudah berhadapan dengan kapal dari zaman penjelajahan Eropa. Majapahit mampu merakit armada hingga 400 jong, bersama dengan ribuan kapal kecil lainnya. Selain itu, Majapahit adalah salah satu dari sedikit negara abad pertengahan yang cukup kaya untuk memiliki pasukan tetap penuh waktu. Pasukan profesional ini berjumlah 30.000 prajurit, terdiri dari infanteri, kereta perang, dan penunggang gajah. Dengan kontribusi dari vasal mereka di seluruh kepulauan Nusantara, Majapahit dapat merakit hingga 200.000 tentara, jauh melampaui jumlah tentara di Eropa pada masa itu.

Selama pemerintahan emas Hayam Wuruk, kemewahan istana Majapahit tidak mengenal batas. Raja sendiri dikatakan ikut serta dalam pertunjukan gemerlap zaman itu, naik ke panggung dengan topeng emas untuk menampilkan tarian Topeng, yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dikuasai. Sesuai tradisi devaraja, penguasa Majapahit memperoleh hak untuk memerintah dengan alasan menjadi inkarnasi dewa di bumi. Raden Wijaya, pendiri dinasti Majapahit, digambarkan secara anumerta oleh keturunannya sebagai Harihara, gabungan dewa Siwa dan Wisnu. Kerajaan Majapahit adalah pusat global budaya dan pembelajaran selama tahun-tahun emasnya. Ibu kotanya di Trowulan adalah pelabuhan kosmopolitan yang berkembang, dengan pedagang dan pejabat dari Cina, Bengal, Gujarat, Persia, dan sekitarnya berbaur di jalan-jalannya. Bahkan petualang dari Eropa seperti Biarawan Fransiskan Odoric dari Pordenone menambahkan keragaman ekstra pada wilayah Majapahit. Kehidupan beragama juga sangat kuat, dengan agama Buddha dan Hindu hidup dalam harmoni penuh satu sama lain, keduanya meninggalkan jejak fisik mereka di tanah.

Kerajaan Majapahit menunjukkan organisasi sosial yang lebih kompleks dibandingkan kerajaan-kerajaan di Nusantara yang mendahuluinya. Dinamika sosial dan ekonomi yang berkembang di Majapahit mencerminkan adaptasi mereka terhadap perubahan zaman, terutama dalam hal orientasi ekonomi yang menjadi kunci kelangsungan hidup sebagai bangsa. Majapahit dikenal sebagai masyarakat dengan sistem kehidupan yang erat kaitannya dengan air dan perdagangan yang dinamis. Sebagai negara agraris semi komersial, Majapahit mengandalkan hasil bumi yang berlimpah dari daerah pedalaman yang subur, yang kemudian diangkut ke berbagai tempat untuk diperdagangkan. Keberadaan sungai dan jalan darat memfasilitasi mobilitas pedagang dari berbagai daerah yang datang ke pedalaman untuk mengumpulkan hasil bumi ini dan membawanya ke daerah pesisir. Perdagangan yang berkembang memicu pertumbuhan beberapa kota pelabuhan di daerah pesisir, yang menjadi pusat perdagangan dan pelayaran antar daerah serta antar pulau.

Majapahit memiliki basis ekonomi yang agraris dan semi komersial dengan pengaruh Hindu yang kuat. Hal ini membedakan Majapahit dari Mataram yang agraris dengan pengaruh Islam-Hindu, Malaka yang komersial dan berbasis Islam, serta Bali yang agraris dengan pengaruh Hindu yang kuat. Perbedaan ini tidak hanya terbatas pada ekonomi tetapi juga mempengaruhi struktur sosial masing-masing masyarakat, menunjukkan bagaimana kondisi geografis dan ekonomi dapat membentuk kompleksitas dan keunikan sistem sosial dan budaya suatu bangsa. Masyarakat Majapahit adalah contoh sempurna dari masyarakat majemuk. Mengingat wilayah Kerajaan Majapahit yang sangat luas dengan karakteristik beragam dari setiap daerahnya, keragaman ini tercermin dalam banyak aspek kehidupan mereka. Di daerah pedalaman yang bersifat agraris, pola kebudayaan cenderung lebih statis dan tertutup, dengan kegiatan yang berkisar pada siklus yang berulang-ulang dan tradisional. Sebaliknya, daerah pantai yang sering berinteraksi dengan pedagang dan bangsa asing menunjukkan kecenderungan yang lebih terbuka terhadap pengaruh dan ide-ide baru. Kehidupan keagamaan di Majapahit juga mencerminkan fondasi toleransi yang kuat dalam masyarakatnya. Majapahit mengakui dan menghormati dua agama besar pada masa itu, yaitu Hindu dan Buddha. Hal ini terlihat dari cara mereka mengintegrasikan pemimpin dan praktik keagamaan dari kedua agama tersebut ke dalam struktur pemerintahannya. Kehadiran kedua agama ini dalam struktur resmi menunjukkan sebuah pendekatan inklusif dan simbiosis yang langka pada zaman tersebut, yang berkontribusi terhadap stabilitas dan kemakmuran kerajaan.

 Kematian Hayam Wuruk membuka peluang bagi Parameswara untuk menolak status vasalnya kepada tahta Majapahit. Pasukan Majapahit merespons dengan menyerbu wilayah Parameswara dan mengusirnya dari kotanya. Dipaksa dalam pengasingan, Parameswara kemudian nantinya masuk Islam dengan salah satu alasan memanfaatkan pengaruh perkembangan Islam di Nusantara yang sudah mulai berkembang dari perdagangan dari Arab, Persia, India dan komunitas muslim di Cina. Dia mengambil nama Sri Iskandar Shah, dan mendirikan kesultanan dengan nama Kesultanan Malaka yang berkembang dengan bantuan Cheng Ho, pelaut Cina terkenal yang semuanya melewati Jawa dan Selat Malaka. untuk memberikan penghormatan kepada Kaisar Yongle di Beijing. Hubungan politik dengan Cina sangat penting dalam keseimbangan kekuasaan di Asia Tenggara. Sepanjang awal abad ke-15, perlindungan Cina memungkinkan Kesultanan Malaka untuk berkembang sementara Majapahit memasuki periode kemunduran.

Wirabhumi, anak dari selir, pasangan Raja yang bukan permaisuri, menantang klaim atas takhta yang dimiliki oleh Kusumawardhani sebagai pewaris utama yang merupakan seorang perempuan, namun dia sudah menikahi sepupunya Wikramawardhana untuk memperkuat garis keturunan kerajaan. Dan konflik ini memunculkan Perang Paregreg yang berakhir dengan kemenangan Wikramawardhana dan eksekusi Wirabhumi. Namun, perang saudara ini menguras sumber daya kerajaan dan melemahkan kontrol Majapahit atas wilayah-wilayah taklukannya. Dalam dekade-dekade berikutnya, penguasa lokal di Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau timur berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Majapahit, sementara Kesultanan Malaka melampaui Majapahit sebagai pusat perdagangan utama di wilayah tersebut dan secara aktif mendorong penyebaran Islam. Pada masa pemerintahan Wikramawardhana, serangkaian ekspedisi oleh armada Dinasti Ming yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho antara tahun 1405 dan 1433, memperkuat kehadiran komunitas Muslim di kota-kota pelabuhan utara Jawa, seperti Semarang, Demak, Tuban, dan Ampel, serta membantu penyebaran Islam lebih lanjut di wilayah tersebut. Pada saat yang sama, kebangkitan Kesultanan Malaka menjadi pusat perdagangan dominan di Selat Malaka, semakin mengurangi pengaruh Majapahit di kawasan itu. Kombinasi konflik internal, pengaruh asing, dan munculnya kekuatan baru seperti Kesultanan Malaka menyebabkan berkurangnya pengaruh Majapahit, yang akhirnya mengarah pada disintegrasi kerajaan ini di Nusantara.

 Selama masa pemerintahan Wikramawardhana, kekuasaan Majapahit di Sumatra terbatas pada Indragiri, Jambi, dan Palembang. Penyerahan wilayah Indragiri kepada Mansur Syah dari Malaka sebagai bagian dari pernikahan dengan putri Majapahit menunjukkan berkurangnya pengaruh Majapahit di kawasan itu. Kemudian terjadi lagi krisis pewarisan tahta yang menyebabkan kekosongan kekuasaan adik Rajasawardhana dan putra Kertawijaya, yang kemudian melarikan diri ke daerah Keling, Daha. Ranawijaya, putra Singhawikramawardhana, mengambil alih pada tahun 1474 berhasil mengalahkan Kertabhumi. Ranawijaya, yang kemudian mengambil gelar Girindrawardhana, Majapahit mengalami konflik berkepanjangan dengan Kesultanan Demak, kesultanan yang didasari dari penyatuan beberapa komunitas muslim sebelumnya, dan semakin kesini, semakin mendominasi di pesisir Jawa. Demak berhasil mengambil alih kontrol atas Jambi dan Palembang, yang sebelumnya di bawah Majapahit. Konflik ini mencerminkan pergeseran kekuatan di Jawa dari Majapahit ke Demak. Meskipun konflik politik mereda di bawah pemerintahan Patih Udara, yang mengakui kedaulatan Demak, konflik kembali muncul ketika Patih Udara berusaha mendapatkan dukungan dari Portugis untuk melawan Demak. Dengan runtuhnya ibu kota Majapahit pada tahun tersebut, kekuasaan di Jawa berpindah dari tangan Hindu ke tangan Islam, dengan Pati Unus dari Demak sebagai salah satu pemimpin kunci dalam transisi kekuasaan ini. Kelangsungan budaya dan tradisi Hindu dari Majapahit dilanjutkan oleh mereka yang melarikan diri ke daerah seperti Panarukan dan Blambangan di ujung timur jawa, dan juga pulau Bali. Kehadiran mereka membantu mempertahankan adat dan tradisi Hindu di kawasan tersebut.

Demak memantapkan posisinya sebagai kekuatan regional dan menjadi kerajaan Islam pertama di tanah Jawa, sementara Majapahit sebagai simbol kerajaan Hindu besar terakhir di Jawa menandai peralihan era di wilayah tersebut. Kejatuhan Majapahit memicu penyebaran Islam yang semakin kuat di Nusantara. Pada abad ke-21, era Majapahit memiliki tempat istimewa dalam buku-buku sejarah Indonesia, menempati posisi penting dalam narasi nasional. Penaklukan historis Majapahit dianggap telah menetapkan preseden untuk batas-batas modern Republik Indonesia. Masa-masa kemunduran Majapahit mengajarkan pentingnya stabilitas internal dan dampak negatif dari konflik perebutan kekuasaan.

Pengalaman ini memberi pelajaran tentang pentingnya kestabilan politik dan kebijaksanaan dalam diplomasi untuk menjaga integritas dan kemakmuran negara. Dari sejarah Majapahit, kita belajar tentang kejayaan yang dapat dicapai melalui kepemimpinan yang kuat, diplomasi yang efektif, dan penerimaan terhadap keberagaman. Meskipun kerajaan ini telah lama bubar, warisannya tetap hidup, menginspirasi generasi saat ini dan mendatang untuk menghargai dan memelihara keberagaman yang kaya serta persatuan yang kokoh. Sebagai salah satu kerajaan terbesar dan paling berpengaruh di Nusantara, Majapahit meninggalkan jejak sejarah yang mendalam, membentuk fondasi budaya dan politik yang masih relevan hingga hari ini di Indonesia. Di puncak kejayaannya, Majapahit bukan hanya sebuah kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga pusat kebudayaan yang melahirkan karya-karya sastra dan filosofis penting, seperti Sutasoma oleh Mpu Tantular yang melahirkan moto "Bhinneka Tunggal Ika." Filsafat ini, yang menjadi prinsip dasar keragaman dan kesatuan Indonesia, menunjukkan betapa Majapahit telah mempraktikkan konsep integrasi dan toleransi budaya jauh sebelum istilah-istilah modern tersebut. Indonesia merangkul warisan Majapahit dengan identitasnya sebagai negara multikultural modern dan perannya sebagai pemimpin ekonomi di panggung dunia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun