Mohon tunggu...
Vanesa Dara Angelica
Vanesa Dara Angelica Mohon Tunggu... Lainnya - Freelancer

Welcome to my journeys! I write because I love it. I wish you have a nice day.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tapak Tilas Misteri Supersemar

12 Maret 2021   16:16 Diperbarui: 12 Maret 2021   16:22 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://nasional.kompas.com/

Pada tahun 1960-an politik dan perekonomian Indonesia berantakan. Setelah Soekarno memperkenalkan "Demokrasi Terpandu" pada tahun 1959, sehingga menggantikan demokrasi liberal (1950-1959), hal-hal dengan cepat memburuk. Demokrasi yang dipandu menyiratkan bahwa presiden memiliki peran yang kuat dengan kecenderungan otoriter yang mirip dengan isi UUD 1945 (yang telah berlaku sebelum eksperimen negara dengan demokrasi liberal). Karena berbagai kekuatan lawan dalam politik Indonesia - nasionalis, partai Islam, komunis dan tentara - politik dan ekonomi gagal membawa keberuntungan bagi bangsa muda.

Melalui Demokrasi Terpandu, Bapak Soekarno berpikir bahwa politik terhenti bisa diatasi. Dia menciptakan "Nasakom", sebuah konsep yang mengacu pada persatuan antara tiga aliran ideologis terpenting dalam masyarakat Indonesia pada 1950-an dan awal 1960-an: Nasionalisme, Agama, dan Komunisme. Namun, aliran ini memiliki sedikit kesamaan, dan pada kenyataannya menyimpan kebencian mendalam terhadap satu sama lain. Terserah keterampilan politik, karisma, dan statusnya sebagai pahlawan nasional untuk mencoba dan menjaga aliran ini bersama-sama, sementara pada saat yang sama berusaha menjaga tentara (yang memandang dirinya sebagai penyelamat bangsa) agar tidak menjadi terlalu kuat.

Penerbitan Supersemar pada tahun 1966 merupakan tonggak sejarah Indonesia. Sebelum surat ini dikeluarkan, pada 1 Oktober 1965, ada pembunuhan keji yang menimpa enam perwira tinggi dan satu perwira menengah angkatan darat. Peristiwa ini bukanlah satu-satunya. Pembantaian lainnya berlangsung hingga Desember 1965.

Koktail politik Soekarno ini adalah bom waktu yang berdetak. Ketegangan antara tentara, komunis, nasionalis dan kelompok Muslim meningkat dan akan menghasilkan kudeta yang sebagian besar tetap menjadi misteri hari ini. Pada malam 30 September 1965 enam jenderal angkatan darat dan satu letnan diculik dan dibunuh oleh sekelompok perwira kiri yang menyebut diri mereka Gerakan 30 September. Diduga, ketujuh perwira angkatan darat yang terbunuh ini merencanakan kudeta untuk menggulingkan Sukarno.

Namun, tidak pernah ada bukti yang jelas bahwa ketujuh perwira ini merencanakan kudeta militer terhadap Sukarno. Selain itu, juga tidak ada bukti yang jelas bahwa partai komunis (PKI) berada di balik serangan pre-emptive untuk mencegah kudeta militer. Namun, Soeharto, yang saat itu menjadi Kepala Komando Cadangan Strategis (Kostrad), segera menyalahkan PKI. Segera (tersangka) komunis dibantai di seluruh Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali dan Sumatera Utara (perkiraan jumlah korban bervariasi antara 400.000 hingga satu juta orang). Diduga pembunuh komunis ini adalah satuan tentara, geng sipil (yang menerima persenjataan dari satuan tentara) dan sayap pemuda Ansor militan Nahdlatul Ulama (partai politik). Pembunuhan ini berlanjut hingga tahun 1965 dan 1966.

Sementara itu, mulai awal 1966, tentara menyelenggarakan demonstrasi mahasiswa anti-Sukarno dalam langkah meningkatkan kekacauan di ibu kota Jakarta sehingga meningkatkan tekanan pada Sukarno. Dalam keadaan bermusuhan ini Sukarno enggan menandatangani dekrit Supersemar atas desakan tentara. Penandatanganan berlangsung di istana kepresidenan Bogor, 60 kilometer selatan Jakarta.

Panglima Komando Strategis Angkatan Darat, Mayor Jenderal Soeharto, diketahui berhasil mengatasi Gerakan 30 September 1965 atau yang biasa dikenal dengan G30S/PKI. Keberhasilan Soeharto mengatasi situasi tegang ini membuat Mayor Jenderal Soeharto bertugas menjadi Panglima Komando Operasional Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib).

https://makassar.tribunnews.com/
https://makassar.tribunnews.com/
Soeharto kemudian ditunjuk sebagai Panglima TNI. Pada Jumat, 11 Maret 1966, Presiden Soekarno memimpin sidang Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan (Kabinet 100 Menteri) di Istana Merdeka, Jakarta.

Namun, Presiden Soekarno meninggalkan persidangan lebih awal dan dievakuasi ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter bersama Wakil Perdana Menteri I Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh. Sidang pelantikan kemudian ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.

Diketahui, penyebab evakuasi Soekarno karena beredar kabar bahwa selain demonstrasi mahasiswa, ada sekelompok pasukan yang tidak dikenal tanpa atribut bergerak di sekitar Monas. Situasi tersebut kemudian dilaporkan kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang tidak hadir dalam sidang yang mengaku dirinya sakit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun