Mohon tunggu...
Jolane Alanda
Jolane Alanda Mohon Tunggu... Desainer - A pattern spotter

A sounding board who likes to ask why. A pattern spotter

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memahami Toleransi Pukul 03.00 Dini Hari, Selamat Natal

25 Desember 2020   05:27 Diperbarui: 25 Desember 2020   22:34 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pkl02.00 WIB, 25 Desember 2020

Si Citeng mengeong kencang. Satu kali.. Dua kali. Belum hitungan ketiga saya terbangun. Dalam kondisi remang karena lampu kamar yang padam, saya menghampiri kursi kerja yang berfungsi sebagai tempat tidurnya di malam hari. Saya mengangkat makhluk berbulu berkaki empat ini dan memindahkannya ke luar kamar. Setelah memastikan Citeng berada di luar kamar, saya kembali ke kasur, berusaha beranjak tidur dengan alunan lagu "When you come home" oleh Mree yang saya putar sejak malam sebagai lullaby.

Tidak lama saya mendengar Citeng mengeong lagi dari luar kamar. Suaranya seperti sirene yang makin mendekat ke arah kamar saya. Saya mendengus. Ketika saya membuka pintu kamar, Citeng sudah mengirim sinyal-sinyal ingin dipindahkan ke luar rumah. Saya turuti kemauannya.

Jujur saja saya agak kesal dengan kelakuan  Citeng. Bisa-bisanya dia mengeong kencang agar saya membukakan pintu ruang tamu sehingga dia bisa melenggang di tengah dinginnya cuaca Bandung pkl02.30. Kucing macam apa ini.

Setelah melayani perintah Citeng, saya kembali ke kamar. Berusaha untuk kembali terlelap.

Pkl03.00 WIB, 25 Desember 2020

Suara gaduh terdengar dari luar rumah. Dua anjing peliharaan keluarga saya menggonggong bersautan. Saya masih memejamkan mata sambil menganalisis suara gaduh tersebut. Suaranya nyaring dan konstan. Bukan suara mesin atau gemuruh alam. Citeng berkelahi? Tidak. Terlalu berlebihan jika dua anjing keluarga sampai merespon kegaduhan yang disebabkan perkelahian kucing.

Tak lama suara pintu kamar saudara saya terbuka. Disusul suara pintu kamar lain. Derap kaki penghuni rumah terdengar terburu-buru menuju ke pintu ruang tamu. Saya merasa ada sesuatu yang tidak lazim sedang terjadi. Akhirnya saya ikut membuka pintu kamar dan menuju ke ruang tamu. Suara gaduh itu mulai saya kenali. Teriakan manusia.

Suara laki-laki usia duapuluhan berteriak. Suara perempuan usia limapuluhan terisak. Dentingan pecah belah terdengar disusul sumpah serapah.

Saya berdiri di pintu ruang tamu yang terbuka. Teriakan-teriakan itu menjadi jelas. Bahkan saya dapat menangkap beberapa kata dari kegaduhan itu.

Saya menemui saudara saya yang sedang berada di pintu pagar. Ia sedang bersiap mengecek kegaduhan yang terjadi di sebuah rumah yang hanya berjarak 30meter dari rumah keluarga saya. Tetapi ia mengurungkan niat karena ayah mencegahnya.

Sosok laki-laki berpakaian hitam berlari melintasi rumah menuju sumber kegaduhan. Dari perawakannya, dugaan saya laki-laki tersebut adalah salah satu petugas sekuriti perumahan.

Saya melihat sekeliling. Beberapa orang keluar dari rumahnya. Ada yang mengawasi keadaan cukup dari dalam pagar rumah masing-masing.  Bahkan ada yang menghampiri sumber kegaduhan walau jarak rumahnya lebih dari 100m. Baru kali ini, orang-orang terjaga bersama.

Di ruang tamu, semua anggota keluarga saya sudah berkumpul. Ibu sampai gemetar karena suara gaduh itu belum mereda. Saya menutup pintu ruang tamu untuk meredam suara gaduh dari luar. Kami sama-sama berusaha menerka situasi yang sedang terjadi. 

Perlahan kegaduhan mereda. Suara isakan berhenti tetapi sumpah serapah itu terdengar semakin kencang dan berpindah ke jalan, rupanya laki-laki usia duapuluhan itu hendak melintasi depan rumah. Saya mengintip dari jendela. 

Respon saudara saya berbeda dengan yang saya lakukan. Ia justru terang-terangan kembali membuka pintu. Rahangnya mengencang, memperlihatkan bahwa ia sangat terganggu dan ingin memaki laki-laki seusianya itu untuk segera menghentikan kegaduhan. Ibu dan ayah saya bersautan meminta saudara saya masuk ke dalam rumah.

"Balikin kunci mobil, a*#))-'a! Dari dulu m4neh* juga ga pernah sayang ke a1n9**!" teriak laki-laki duapuluhan itu kepada sosok laki-laki lain yang lebih tua sembari berjalan cepat ke arah rumah mereka. Ketika dua sosok itu tepat melintasi pintu ruang tamu keluarga kami, saya menarik saudara saya untuk masuk sambil berujar, "biarkan sudah biarkan urusan keluarga orang."

Saudara saya berdecak kesal, "ya ga usah ribut juga di depan kamar a1n9**!". Ia melewati saya untuk kembali ke kamarnya yang memang menghadap ke jalan utama.

"Ya kita belajar toleransi. Didoakan supaya cepat selesai masalahnya" ujar Ibu dengan suara tenang.

Saya masuk ke kamar tanpa menutup pintu, ayah dan ibu masih menunggu di ruang tamu. Mereka hanya diam diiringi kegaduhan yang masih terdengar sebagai latarnya. Pikiran saya masih terjaga. Akhirnya saya mencari cara untuk mengurai keadaan yang menegangkan. Saya membuka Twitter.

Trending Indonesia: Pak Menteri.

Oh, saya baru melihat video Menteri Agama (yang baru saja dilantik) mengucapkan selamat natal dengan kehangatan seperti ini. Videonya pun banyak mendapat respon positif dari masyarakat Indonesia.

Toleransi.


Saya pun melihat berita selanjutnya, masih berkaitan dengan Menteri Agama, kali ini berkaitan dengan kebijakannya. Ia berencana mengafirmasi aliran agama yang selama ini tidak diakui secara hitam di atas putih oleh negara.

Ah.

Ada banyak wujud toleransi yang saya pelajari pada pkl03.00 dini hari.

*maneh = bahasa sunda kasar yang berarti “kamu”.

**aing = bahasa sunda kasar yang berarti “saya”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun