H.L.A. Hart dalam jurnal (2) Â ialah :
Dinamika hukum ekonomi syariah di Indonesia terus berproses dan bergulir yang secara epistemologi yuridis terpola dalam empat fase, yaitu pertama, fase shari'ah dimana  ekonomi syariah masih berada pada tataran moral doktrinal normatif yang ditandai oleh ketersediaan nilai dan prinsip ekonomi syariah di dalam al-Qur'an dan hadis, kedua, fase fiqh, ditandai oleh maraknya penggunaan literatur fiqh klasik dan interpretasi dari al-Qur'an dan hadis yang kemudian terkodifikasi seperti Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dan Fatwa DSN-MUI, ketiga, fase qanun,  ditandai oleh internalisasi prinsip ekonomi syariah yang terdapat dalam al-Quran, hadis, kitab klasik, KHES, dan fatwa DSN MUI ke dalam perundang-undangan negara (legal posotivism), seperti Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), dan sebagainya. Keempat, fase qada', yakni fase di mana perundang-undangan negara tentang ekonomi syariah, seperti UU No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), dan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) menjadi sumber hukum formal bagi hakim Pengadilan Agama
Dari empat fase tersebut, Menurut Hart, transisi dari moral menuju hukum melibatkan dua konsep, yaitu primary rules (norma moral yang dianut masyarakat) dan secondary rules, yaitu modifikasi dan dinamisasi dari ketentuan primer yang mengikat seluruh warga negara dan memerlukan kekuasaan negara untuk pelaksanaannya. Secondary rules bersifat menggantung (parasitic) dan merupakan follow up dari aturan pertama.
Dalam The Concept of Law HLA Hart menegaskan bahwa masyarakat yang berciri khas primary rules of obligation ditandai tiga kekurangan. Pertama, jika muncul ketidakjelasan aturan, sumber hukum tidak ada dan berimplikasi pada ketidakpastian (uncertainty). Kedua, ketentuannya bercorak statis. Ketiga, ketentuannya tidak efisien (inefficiency), sebab tidak terdapat institusi yang berwenang. Kekurangan tersebut bisa diabaikan jika didukung tiga unsur secondary rules. Pertama, untuk antisipasi ketidakpastian ketentuan diterbitkan rule of recognition, yakni pengakuan terhadap kearifan lokal menjadi referensi otentik, muncul individu dan badan otoritatif yang menerbitkan primary rules of obligation, melakukan unifikasi dan kodifikasi terhadap tradisi lama atau melalui putusan peradilan. Kedua, sebagai jawaban atas ketentuan yang statis didesain rules of change untuk mewujudkan primary rules baru dan menghapus yang lama. Ketiga, sebagai tindak lanjut inefficiency bisa diterbitkan rules of adjudication, yakni siapa yang punya kewenangan mengadili, bagaimana mekanismenya, dan sanksi untuk yang tidak taat pada primary rules of obligation. Sehingga, terwujud peraturan perundang-undangan legal formal, mulai yang lemah sampai sampai yang kuat, meliputi dimensi-dimensi hukum sampai munculnya sistem hukum. Norma keadilan (moral justice) yang awalnya hanya mengatur individu berubah menjadi norma hukum (legal justice) yang wajib ditaati seluruh warga negara dan bagi pelaku pelanggaran mendapat sanksi.
- Pendapat saya mengenai pemikiran Marx Weber dan H.L.A. Hart dalam masa sekarang ini masih relevan dengan konteks sosial dan hukum. Bahwa, Marx Weber menilai konsep dinamisasi dalam organisasi modern memberikan pengaruh terhadap masyarakat. Di era digital, analisis pembentukan hukum dan ekonomi menjadi otoritas yang penting untuk dipahami karena membawa perubahan dalam susunan struktur sosial dan teknologi mempengaruhi interaksi sosial. Bahwa, H.L.A. Hart menilai konsep hukum dan nilai norma. Di era kontemporer saat ini, aturan-aturan dari adanya hukum dan dilaksanakannya norma-norma dalam masyarakat, memberikan dorongan untuk menerapkan hukum dan menghadapi tantangan mengenai isu-isu hak-hak asasi manusia terutama keadilan sosial.
- Perkembangan hukum di Indonesia dengan menggunakan pemikiran Marx Weber dan H.L.A. Hart, bahwa Weber menekankan pentingnya rasionalisasi dalam perkembangan hukum. Di Indonesia, seringkali masih dipengaruhi oleh adat dan tradisi. Menurut Weber, hukum modern harus bersifat sistematis dan dapat diprediksi. Selain itu, adanya perubahan sosial yang membuat cara hukum dipengaruhi olehnya dan harus beradaptasi untuk penemuan hukum supaya tetap relevan. Selanjutnya, bahwa H.L.A. Hart, lebih fokus pada hukum dan norma. Hart menekankan pentingnya norma sebagai landasan hukum. Di Indonesia, hukum tertulis dan tidak tertulis saling berinteraksi menciptakan sistem hukum yang kompleks. Namun, Hart berpendapat bahwa hukum tidak bisa berdiri sendiri tetapi norma-norma tersebut yang memandu perilaku sosial. Adanya ketaatan hukum dalam Indonesia, memberikan tantangan dimana kepatuhan terhadap hukum seringali dipengaruhi faktor budaya dan sosial. Hukum sebagai sistem yang terbagi menjadi hukum primer dan sekunder, di Indonesia kedua aspek ini menciptakan sistem yang efektif.
Bahwa perkembangan hukum di Indonesia, dengan menggabungkan pemikiran Weber dan H.L.A. Hart keduanya dapat membantu dinamika sosial di Indonesia yang semakin berkembang di tengah perubahan sosial, budaya, dan politik.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H