Laki-laki dan perempuan pada dasarnya diciptakan berbeda. Tetapi, walaupun  berbeda, bukan berarti hal tersebut dapat dijadikan alasan oleh salah satu pihak untuk merasa lebih tinggi derajatnya. Namun pada kenyataannya, perbedaan ini dapat memicu terjadinya tindakan diskriminatif. Adanya konstruksi sosial budaya yang dibangun di masyarakat yang dapat menimbulkan ketidaksetaraan gender.
Gender dan seks merupakan dua hal yang berbeda. Seks merupakan jenis kelamin yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Sedangkan gender menurut Mansour Fakih (2008) adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural. Laki-laki yang selalu dianggap kuat, perkasa dan tidak boleh menangis, sementara perempuan harus lemah lembut, emosional dll. Hal tersebut yang kemudian menjadi tolak ukur di masyarakat, bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya seperti itu.
Persepsi masyarakat yang terbentuk akibat hasil konstruksi sosial yang sudah dibangun sejak lama, menjadikan perempuan seringkali di identikkan dengan memasak, menyapu dan mengasuh anak. Perempuan juga dipandang sebagai orang yang selalu berhubungan dengan pekerjaan rumah, dimana hal ini sudah melekat dalam benak masyarakat. Sementara laki-laki tidak ada batasan yang mengikatnya. Seperti contoh dalam dunia kerja, biasanya yang diutamakan adalah laki-laki, karena adanya anggapan bahwa laki-laki itu lebih kuat daripada perempuan.
Lahirnya budaya patriarki, yang menempatkan posisi laki-laki lebih dominan dibanding perempuan, dimana laki-laki mengonstruksikan segala sesuatu mulai dari adat istiadat, hak-hak sosial sampai penguasaan properti. Banyak contoh nyata terjadi di sekitar kita yang menunjukan dominasi kaum laki-laki. Salah satunya yaitu kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan verbal yang kerap dialami oleh kaum perempuan. Berdasarkan data Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) per tanggal 29 Februari 2020 - 10 Juni 2020, terdapat total 1310 kasus kekerasan (fisik maupun verbal) terhadap perempuan, 523 diantaranya merupakan kasus KDRT (sumber : Kemen PPPA).Â
Hal ini menunjukkan bahwa diskriminasi gender dan budaya patriarki masih sangat kuat di masyarakat. Selain itu, stereotip tentang kaum perempuan yang masih sering melekat dalam benak masyarakat, dapat menjadikan perempuan semakin tertindas. Adanya pandangan bahwa perempuan harus bisa memasak, perempuan harus menikah, perempuan harus memiliki keturunan dll.Â
Konstruksi gender membuat perempuan sulit mengubah "takdirnya" yang membuat posisi perempuan terpinggirkan. Ditambah dengan catcalling yang masih sering perempuan alami di tempat-tempat umum. Catcalling ini bisa didefinisikan sebagai siulan, komentar dan panggilan laki-laki kepada perempuan yang lewat di depannya. Sadar tak sadar, tindakan catcalling ini termasuk dalam pelecehan seksual secara verbal. Walaupun bisa dibilang hanya sekedar siulan, namun si korban akan merasa sangat tidak aman dan tidak nyaman. Sayangnya, orang-orang Indonesia masih menganggap bahwa tindakan ini wajar dan memang sampai saat ini belum ada hukum yang mengatur mengenai tindakan ini.
Dari sini kemudian muncul gerakan yang dinamakan feminisme. Feminisme sendiri merupakan suatu gerakan yang memperjuangkan perubahan kedudukan perempuan dalam sistem sosial di  masyarakat (sumber: nalarpolitik.com). Salah satu contoh dari gerakan ini terlihat jelas pada Instagram @lawanpatriarki. Dimana mereka benar-benar menyuarakan dan mengampanyekan gerakan ini.Â
Gerakan feminisme bukanlah sebuah gerakan untuk menyerang laki-laki, tetapi gerakan ini ada untuk mencapai kesetaraan gender. Gerakan ini ingin menyuarakan bahwa perempuan itu layak untuk mendapatkan hak dan peran yang sama, hak untuk berpendapat, hak untuk memiliki properti dll. Hadirnya CEDAW (Convention on Elimination of All Form of Discrimination Againts Women) yang merupakan konvensi perjanjian internasional yang secara khusus mengatur tentang hak-hak perempuan. Konvensi ini juga berbicara tentang penghapusan diskriminasi terhadap kaum perempuan, dimana Indonesia ikut menandatangani konvensi ini. Akan tetapi kenyataan yang terjadi, masih banyak kaum perempuan yang belum sepenuhnya mendapatkan hak-hak nya.Â
Terlebih di Indonesia, tak sedikit perempuan yang mengalami kasus kekerasan seksual (kekerasan fisik maupun kekerasan verbal). Bahkan banyak perempuan yang mengalami kekerasan seksual secara fisik tidak tahu harus pergi kemana untuk mendapatkan pertolongan, mereka merasa malu karena keluarganya memandang mereka sebagai aib keluarga. Tidak seharusnya keluarga mengatakan hal tersebut, karena korban sama sekali tidak meminta hal tersebut terjadi, hal itu terjadi karena di luar kendali korban. Justru pelaku-lah yang seharusnya malu dan mendapatkan hukuman yang setimpal akibat perbuatannya. Maka dari itu gerakan feminisme ini dibentuk agar perempuan lebih berani menyuarakan apa yang mereka alami, dan mendapat dukungan baik psikis maupun perlindungan secara hukum dari pemerintah dan juga dari lingkungannya.
Lalu bagaimana Pemerintah dapat memperbaiki hal tersebut? Tentu saja dengan mengesahkan RUU PKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). RUU ini ada karena tingginya angka pelecehan seksual yang dialami oleh perempuan, jika RUU PKS dapat ditetapkan maka setidaknya ada perlindungan secara hukum dan jaminan pemulihan bagi korban. Namun sampai saat ini, RUU PKS hanyalah sebuah rancangan yang tidak tau kapan akan di sah-kan.
Hal lain yang dapat dilakukan agar tidak terjadi kesenjangan gender, khususnya di Indonesia yaitu Pemerintah dapat menambahkan pengetahuan dan pendidikan mengenai gender sejak dini di sekolah-sekolah. Diharapkan dengan adanya pendidikan gender, mereka bisa mulai merubah pandangan sosial yang selama ini terbentuk dan mulai menyadari bahwa perempuan memiliki peran yang besar di tengah masyarakat dan perempuan bisa bebas untuk menjadi apa yang ia inginkan. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H