Korupsi telah lama menjadi salah satu masalah terbesar di Indonesia, menggerogoti sendi-sendi kehidupan bangsa. Tahun lalu, ICW mencatat ada 791 kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2023, jumlah tersangkanya mencapai 1.695 orang. ICW juga menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi di Indonesia pada tahun 2023 mencapai Rp 56 triliun. Namun, hanya Rp 7,3 triliun yang berhasil dikembalikan.
Dampak dari korupsi begitu luas, mulai dari melumpuhkan pembangunan ekonomi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, hingga memperdalam kesenjangan sosial. Meskipun pelaku korupsi kerap mendapatkan hukuman berat, isu tentang hukuman mati bagi koruptor masih menjadi perdebatan hangat di berbagai kalangan.Â
Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hukuman mati hanya dapat dijatuhkan dalam keadaan tertentu, seperti saat terjadi krisis ekonomi atau bencana alam. Namun, definisi "keadaan krisis" ini belum jelas, sehingga membuat jaksa enggan menuntut dengan hukuman mati.
Adanya Pertimbangan Hukum dan Hak Asasi Manusia menjadi salah satu faktor utama mengapa di Indonesia belum ada hukuman mati untuk koruptor. Hukuman mati dianggap sebagai bentuk hukuman yang tidak dapat dibalik. Jika seseorang dihukum mati dan kemudian terbukti tidak bersalah, tidak ada cara untuk memperbaiki kesalahan tersebut.Â
Selain itu, banyak aktivis hak asasi manusia (HAM) menentang hukuman mati, berargumen bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dicabut kecuali oleh Tuhan. Dalam hukum Indonesia, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, meskipun ada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J.
Hukuman mati di Indonesia memiliki hubungan yang kompleks dengan ideologi Pancasila, yang merupakan dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Pancasila mengandung nilai-nilai yang berhubungan erat dengan hak asasi manusia. Penghilangan nyawa seseorang melalui hukuman mati dianggap melanggar hak paling dasar dari manusia, yaitu hak hidup.Â
Dalam perspektif Pancasila, negara seharusnya melindungi dan menghormati hak-hak setiap individu, bukan merampasnya. Sila kedua Pancasila menekankan pentingnya nilai kemanusiaan.Â
Hukuman mati sering dianggap bertentangan dengan prinsip ini karena dianggap sebagai bentuk hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan mengingkari hak asasi manusia, terutama hak untuk hidup, yang tertuang dalam Pasal 28A UUD 1945. Penerapan hukuman mati dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang diusung oleh Pancasila.
Selain itu, sistem penegakan hukum di Indonesia sering kali dianggap lemah, dengan banyak kasus korupsi yang dihukum dengan ringan.Sebagian besar terdakwa korupsi hanya dijatuhi hukuman penjara singkat.Â
Hal ini menciptakan persepsi bahwa sistem hukum tidak cukup tegas dalam menangani pelaku korupsi, sehingga penerapan hukuman mati dianggap tidak sejalan dengan praktik penegakan hukum yang ada. Hukuman mati bukanlah solusi efektif untuk memberantas korupsi.Â
Penerapan hukuman mati belum dapat mengurangi tingkat kejahatan, termasuk korupsi. Sebaliknya, fokus pada penguatan sistem hukum dan pengawasan dianggap lebih penting untuk mencegah tindakan korupsi di masa depan.