Pada Sabtu, 4 Desember 2021, Gunung Semeru yang terletak di perbatasan Kabupaten Malang dan Lumajang, Jawa Timur ini mengalami erupsi.Â
Gunung Semeru memuntahkan awan panas sekitar pukul 15.00 WIB, di mana sebelumnya gunung ini dilaporkan sempat mengeluarkan lahar pada pukul 13.00 WIB. Warga yang berada di sekitar gunung pun lari berhamburan keluar dari rumah mereka untuk mencari perlindungan di tempat yang aman.
Erupsi Gunung Semeru ini telah menimbulkan dampak jatuhnya korban jiwa dan juga banyak warga yang mengungsi meninggalkan rumah mereka yang rusak akibat semburan guguran awan panas.Â
Dilansir dari situs web Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNBP), per Selasa, 7 Desember 2021, jumlah warga yang mengungsi adalah 3.697 jiwa, dan terdapat 56 jiwa yang mengalami luka-luka, 17 jiwa hilang, dan meninggal dunia 34 jiwa.Â
Bahkan, jembatan yang menghubungkan Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang pun putus akibat dampak dari letusan Gunung Semeru. Akibatnya, warga tidak bisa pergi dari tempat tinggal mereka menuju tempat-tempat pengungsian untuk mencari perlindungan yang lebih aman.
Bencana yang diakibatkan oleh Gunung Semeru ini sendiri tergolong ke dalam risiko catastrophic, di mana risiko ini ditimbulkan oleh adanya peristiwa alam yang tergolong skala besar di mana meskipun peristiwa ini jarang terjadi, tetapi apabila terjadi kerugian yang akan ditimbulkannya sangatlah besar, seperti yang bencana alam yang diakibatkan oleh Gunung Semeru ini.
Di lihat dari sisi Manajemen Risiko ISO 31000 sendiri, menurut saya salah satu kejadian risiko pada peristiwa erupsi gunung semeru ini adalah kerusakaan infrastruktur. Seperti yang kita ketahui guguran awas panas sangat mematikan dan dapat meluluhlantahkan objek apapun disekitarnya, seperti rumah, jembatan, dan bangunan-bangunan lainnya. Bahkan lebih parahnya lagi, guguran awan panas sendiri dapat merusak paru-paru manusia yang dapat menyebabkan manusia tewas seketika.
Risk owner dari kejadian risiko ini sendiri merupakan pemerintah setempat yang bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur itu sendiri.
Indikator risiko tersebut dapat kita lihat dari adanya jembatan yang putus atau ambruk, jalan-jalan yang rusak, dan bangunan-bangunan hancur (seperti tempat tinggal, rumah ibadah, dan kantor pemerintahan).Â
Untuk menghadapi risiko tersebut, pemerintah telah melakukan kegiatan pencegahan berupa pemantauan aktivitas gunung berapi selama 24 jam menggunakan seismograf, menyusun rencana tindakan tanggap darurat, dan melakukan sosialiasi kepada masyarakat di sekitar lereng untuk menyiapkan rencana penyelamatan untuk menghadapi adanya bencana.