Mohon tunggu...
Vania JovelynNando
Vania JovelynNando Mohon Tunggu... Teknisi - Pelajar

Seorang yang terus mencoba

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence

Menghadapi Perubahan: AI dalam Perspektif Kemanusiaan

2 Oktober 2024   09:43 Diperbarui: 2 Oktober 2024   10:02 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Artificial Intelligence. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Gerd Altmann

Kecerdasan artifisial yang berkembang cepat di era disrupsi teknologi bukanlah hal yang perlu ditakutkan untuk dihadapi. Jangan hindari perubahan teknologi, jangan takut dengan mesin cerdas, dengan AI.” Orasi Presiden Joko Widodo di Sidang Terbuka IPB University, Jawa Barat, 2023.

Kecerdasan buatan (AI) akan memainkan peran krusial dalam menghadapi tantangan global dengan menciptakan peluang baru yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia dan mempercepat perkembangan teknologi di berbagai sektor. Namun, selaras dengan globalisasi, kontradiksi terkait perkembangan kecerdasan buatan berangsur-angsur bermunculan akibat rentetan kontroversi di balik jasa yang disuguhkan oleh mesin tersebut. Dengan kemampuannya dalam mengolah bentangan informasi dari internet yang luas, premis akan malapetaka sudah dibubuhkan jauh sebelum fenomena itu benar-benar terjadi. Ini menimbulkan suatu pertanyaan, akankah ada cara bagi kita untuk berharmonisasi dengan AI di masa kini dan ke depannya?

Dalam tabiatnya sebagai mesin yang memperoleh informasi, mengidentifikasi, membuat prediksi, kemudian memberikan rekomendasi, kini AI dimanifestasikan dalam banyak bentuk teknologi yang seringkali tidak disadari oleh masyarakat. Contohnya, algoritma penyesuaian feeds Instagram dan Facebook, aplikasi chatbot GPT yang mampu memberikan hasil kerja dengan praktis dan efisien, dll. Peristiwa-peristiwa yang mengandalkan kecerdasan buatan sudah hampir sempurna melebur pada kemasyarakatan, dan itu bukanlah hal yang buruk di luar ranah penyalahgunaan. Lantas, apa yang sebenarnya menjadi sumber keraguan di balik perannya yang merupakan titik jatuh dari kepiawaiannya?

Tidak lain dari reliabilitasnya sendiri yang melimitasi kegunaannya. Melalui sudut pandang prospek pekerjaan, tidak sedikit sumber daya manusia yang menjadi korban atas penemuan ini. Seperti buruh-buruh yang mulai dilengserkan oleh mesin akibat industri global yang bergeser menuju manufaktur buatan mesin. Melansir dari artikel Employment by Occupation (Bureau of Labor Statistic), laju perkembangan antara tahun dan tingkat produksi berbanding lurus, sementara ketika produksi disandingkan dengan tahun, timbur korelasi yang negatif. Hal ini merujuk pada efisiensi yang meningkat atas perkembangan produksi otomatis, namun utilisasi sumber daya manusia justru malah menurun.

Peristiwa tersebut juga merambat ke ranah edukasi, di mana pelajar mulai bergantung pada mesin untuk menuntaskan pekerjaan mereka, sehingga kemampuan untuk berpikir kritis semakin luntur (Lukman et al,  2023). Pengaruh buruk kecerdasan buatan adalah nyata, menghambat perkembangan pendidikan dan bila tidak ditangani dapat beranjak menuju isu yang lebih serius. Opini ini didasari dari pelaksanaan survei terhadap para mahasiswa masa kini, akibatnya laju plagiarisme serta penurunan kapabilitas untuk menjadi terampil mulai tak terbantahkan. Oleh karena itu, diperoleh kemunduran dalam dua aspek hidup walau tidak mewakili keseluruhannya.

Masa tampak beranjak sebagaimana sejak dahulu kala dikatakan oleh Aristoteles–seorang kontributor Yunani dalam filsafat dan sains, bahwa bila kita memiliki mesin perajut dan kecapi yang dapat menghasilkan musik tanpa bantuan manusia, maka nilai dari manusia akan musnah. Kemudian pada tahun 1930, istilah ini dikembangkan oleh Keynes dengan istilah technological unemployment, peristiwa teknologi mengambil alih pekerjaan manusia. Sehingga, umumnya argumen akan dampak negatif kecerdasan buatan lebih dipercaya oleh masyarakat.

Namun ketika ditilik dari sebuah perspektif baru, nilai kemanusiaan tampak prominen dalam nuansa ini, di mana bahkan kecerdasan buatan memiliki suatu limitasi yang menyebabkan masih adanya disparitas antara manusia dan mesin. Dicuplik dari wawancara Stuart Russel–seorang peneliti terkemuka dalam bidang kecerdasan buatan, ada perbedaan yang luas antara menugaskan sesuatu terhadap seorang manusia atau mesin. Sementara seseorang dapat mengambil berbagai faktor yang dibutuhkan dalam konsiderasi, seonggok mesin tentunya akan menjadikan perintah sebagai objektif yang mutlak sesuasi dengan algoritma yang telah di-input, dengan cara apapun. Wawancara tersebut dapat membantu kita dalam memisahkan mana yang merupakan kebenaran, mana yang sisanya omong kosong berhubungan dengan kecerdasan buatan.

Kecerdasan buatan mempunyai metode berpikir yang kian sistematis. Ibaratnya, bila kita menugaskan AI untuk memperbaiki pengasaman air laut–yang mana merupakan kembaran jahat perubahan iklim, maka pekerjaan tersebut akan selesai dengan efisiensi yang tinggi serta hasil yang sesuai, walau dalam proses penyelesaiannya mungkin tanpa sengaja biotik air akan dipunahkan ataupun lapisan ozon akan dideplesikan. Lalu, bagaimana cara agar kita dapat menghindari tragedi ini? Beberapa akan mengatakan untuk memberikan spesifikasi lebih akan perintah dan semacamnya. Dari sinilah kita akan menyadari bahwasanya manusia seringkali tidak menyadari hal-hal yang dipedulikan/diperlukannya. Kemampuan untuk berinisiatif inilah mutiara kemanusiaan yang hampir selalu dipandang rendah oleh masyarakat.

Kemanusiaan mampu mengontrol kecerdasan buatannya. Hal ini sudah demikian direncanakan sejak awal konstruksi dari mesin itu sendiri. Akibatnya, ketidakpastian mesin akan objektif sesungguhnya dapat menjadi indikasi atas perkembangan yang tidak diperkenan untuk dipantau. Pada akhirnya, masa saat independensi dalam berinisiatif tampak sebagai masa depan yang sangat jauh dari jangkauan umat manusia karena dibutuhkannya kompleksitas tinggi untuk hal itu. Diakui bahkan oleh salah satu pemuka AI–John McCarthy, dalam kutipan, “Suatu saat di antara 5 hingga 500 tahun, dan membutuhkan beberapa Einstein untuk membuatnya menjadi kenyataan.” dengan kata lain, bila terdapat suatu kesalahan dari AI seperti technological unemployment, dapat dikatakan masalah tersebut sepenuhnya akibat penyalahgunaan AI oleh manusia.

Sementara itu, kita telah menyaksikan tonggak-tonggak pencapaian dengan kecerdasan buatan. Padahal hanya beberapa tahun yang lalu, AI dikatakan sebagai tidak kreatif. Namun kini AI terasa seperti sungai kreativitas yang tidak berujung. Percakapan dengan AI menjadi bermakna dan harapan serta impian dapat dikembangkan dengan leluasa, bahkan menyediakan bantuan terhadap situasi emosional yang sulit bagi seseorang. AI bisa menyetir kendaraan, mengolah energi, hingga menciptakan molekul baru, seluruhnya masih di bawah kehendak algoritma manusia. Hanya beberapa tahun yang lalu, semua hal di atas merupakan fenomena mustahil. Prestasi-prestasi hebat mampu untuk dicapai dalam hitungan jari.

Tetapi, apa makna sesungguhnya dari kecerdasan buatan dalam kehidupan? Sama halnya seperti internet menyuguhkan browser dan  ponsel dengan aplikasi di dalamnya, sang cloud-based komputer super secara langsung mengantarkan kita menuju era yang baru dan tak terelakan, peleburan AI. Segala hal akan direpresentasikan dengan tampilan digital yang lebih konvensional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun