Indonesia luas bung!.
Memikirkan bagaimana nasib dan masa depan bangsa Indonesia, agaknya terlalu besar dan berat. Terlebih bagaimana konsepsi dan eksistensi kita sebagai siapa, tentunya ketika kita bukan termasuk dari kalangan pejabat dan non pemerintahan, hanya mengklarifikasi bahwa diri kita sebagai rakyat biasa saja. Terlepas dari peran dan fungsi tersebut, kemudian jangan kita pesimis dan minder untuk melakukan apapun, apalagi sampai ikut dalam ketidak patuhan dalam menjalankan misi pemerintahan.Â
Masalah yang ada di negeri ini, sudah banyak dirumuskan secara matang oleh para anggota dewan, meski ketika kita menelanjangi satu persatu ada hal yang mengandung ketidakberesan dalam beberapa kinerjanya. Wajar, kita punya argumen yang berbeda. Meskipun demikian, menawarkan konsepsi dalam sudut pandang lain sudah semestinya, biarpun tidak sampai pada langkah eksekusi. Baik dalam bidang sosial, agama, dan lain sebagainya.Â
Yang lebih cepat menimbulkan respon dari semua kalangan, biasanya dalam persoalan agama. Di Indonesia hampir banyak sederet kasus yang menimbulkan sengketa. Meskipun banyak kalangan pemuka agama sudah banyak menduduki kursi jabatan, tidak semuanya menjamin segala kewenangannya untuk membuat keputusan yang bijak. Hal ini sangat tampak ketika ada undang-undang baru, kemudian menimbulkan polemik dikalangan rakyat. Mulai dari unjuk rasa yang melibatkan massa yang banyak, hingga demo, membakar gedung pemerintahan, bahkan sengketa antar suku, ras dan golongan. Miris sekali dan memprihatinkan.
Baiklah jika tantangan sosial dan agama kini sangat urgen untuk diperbincangkan, apalagi ketika menyinggung persoalan partai politik hingga lebelitas dan status organisasi keagamaan yang disandangnya. Maka tidak heran, ketika terpilihnya pemangku koridor keagamaan di negeri ini adalah seorang arif bijaksana dari kalangan pesantren. Tentunya tidak diragukan lagi dalam menyelesaikan dinamika yang terkait keagamaan di Indonesia.
Sapaan akrab Gus Yaqut, kini mendirikan kursi jabatan menteri agama, meski dibeberapa kalangan ada saja yang belum menerima dengan legowo. Menurut pengamat penulis, mereka yang kurang atau belum sepakat dengan naiknya Gus Yaqut ini memang berbeda sudut pandang dan lebel organisasi yang disandangnya. Maka, ketidaksepakatan itulah yang sudah semestinya diselesaikan melalui kewenangan kementerian ini. Rasionalnya, jika semuanya sepakat, lalu wilayah mana yang kudu diselesaikan, pe-er kementerian nggak berfungsi dong?
Problematika keagamaan dalam tataran sosial memang sangat paradoks, tergantung bagaimana individu memahami konteks keagamaan secar luas dan terbuka. Konsepsi sederhana ini sudah banyak ditawarkan oleh pemuka agama kita. Dalam kancah nasional, tentunya mengusung konsepsi agama sebagai pesan damai, bukan untuk sekedar mencari dukungan dan komunitas saja, bahkan dinamika seperti ini kudu menyamakan persepsi, supaya pemahaman dalam menciptakan kedamaian di negeri ini bisa terwujud dengan sempurna.Â
Adagium Jawa mengatakan, Urip Rukun Agawe Sentosa, Hidup rukun membuat sentosa. Disini pemaknaan sentosa sangat luas, ketika menilik pada KBBI, makna dari kata 'sentosa' adalah bebas dari segala kesukaran dan bencana, aman, tentram dan sejahtera. Maka dari pemahaman singkat tersebut dapat kita pahami bahwa, kehidupan ini pada hakikatnya menjadikan kita hidup aman dari segala hal, dan sejahtera, artinya tercukupi bekal, ilmu dan pengetahuan dalam melakoni segala dinamika yang ada dalam kehidupannya ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H