Mohon tunggu...
Vanessa Nathania
Vanessa Nathania Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar.

"Mirabilis jalapa" yang gemar bersinggah di ufuk baratnya hidup.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Penghijauan Kembali di Hari Aksi Sedunia untuk Perubahan Iklim

24 Oktober 2021   10:24 Diperbarui: 24 Oktober 2021   10:52 131
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


And all across the world, from what we’ve seen over the course of past days, is the power of ordinary people. For all the people in the streets spoke 50, 75, 100 different languages, they were all saying the same dam* thing; 350, 350, 350.” adalah pernyataan yang menggema sepanjang bentangan plaza Time Square, New York, pada hari yang CNN sebut sebagai hari aksi politik paling berpengaruh dalam sejarah manusia; 24 Oktober 2009 - 12 tahun yang lalu, juga hari dinaikkannya strata kesadaran masyarakat akan perubahan iklim

Pada periode itu, 350 PPM (parts per million - satuan atau rasio yang digunakan untuk menunjukkan kandungan kontaminan) digarisbawahi sebagai batas aman konsentrasi karbon dioksida di lapisan atmosfer bumi - sesuatu yang butuh perhatian lebih. 

Dan ketahuilah, akhir-akhir ini angkanya berkisar di angka 410 PPM, berikut adalah kronologi terkikisnya kesempatan untuk mengembalikan bumi ke kestabilannya seperti sedia kala. 

Dua abad yang lalu, jaminan adanya penindaklanjutan bagi perkara-perkara dalam konteks Environmental issues, yang belum di-spesifikasi, tenggelam di antara prioritas masalah lainnya dengan kedaruratan ekonomi yang lebih tinggi. 

SDA yang tiada hentinya digarap, difokuskan untuk pemulihan dan peningkatan derajat kehidupan negara-negara berkembang. Akibatnya, aktivitas operasional yang menuntut keadilan bagi iklim masih amat terbatas.

Pada 1824, istilah ‘greenhouse gases’ muncul pada makalah terbitan Sir Joseph Fourier, dimana beliau juga mempelajari teori matematis terkait pemerangkapan gas oleh sebab difusi energi panas. Sebelum memasuki abad ke-20, pada 1896, Sir Svante Arrhenius asal Swedia melakukan perhitungan efek-efek yang berpotensi untuk turut ambil andil dalam pengaruh emisi dunia. 

Pada 1931, fisikawan Amerika; Sir E. O. Hulburt juga melakukan kalkulasi pada adanya peningkatan suhu planet yang akan terjadi bila tingkat konsentrasi CO2 berlipat ganda.

https://tse1.mm.bing.net/th?id=OIP.Q3JtjVopqECp372Xz17ApQHaEL&pid=Api
Kemudian, Sir G. S. Callendar mencetuskan The Callendar Effect pada 1938, dengan implikasi pada kegiatan manusia yang memicu peningkatan konsentrasi karbon dioksida atmosfer, yang akhirnya mengarah pada permasalahan krisis iklim hingga berperan besar dalam menguak terjadinya ‘global warming’. 

Dari pertengahan abad ke-20, kemunculan isu-isu berkenaan dengan permasalahan iklim mulai hadir secara berkelanjutan; seperti komplikasi ancaman kesehatan ditambah dengan banyaknya kasus kematian prematur. Hal ini akhirnya menjadi pemantik kesadaran dan permulaan bagi ‘clean air act’ di Britania Raya pada 1956 juga peresmian U. S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). 

Pada 1978, ditetapkanlah regulasi penggunaan perangkat yang menghasilkan CFC dan didirikanlah Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada 1988. Menuju millennial kedua, penduduk bumi semakin gencar melakukan penanggulangan di tengah kecemasan yang mulai terbukti absolut.

https://tse2.mm.bing.net/th?id=OIP.tI9UHM0r5hR7zhHNEAaz1wHaGL&pid=Api
Sejak berdirinya IPCC, sejumlah laporan mengenai deteriorasi kualitas iklim bumi terus membuat awas negara-negara di berbagai belahan dunia. Pada 2005, dikeluarkanlah ‘Kyoto treaty’ sebagai perpanjangan dari UNFCCC 1992 dengan komitmen untuk membatasi pengeluaran emisi gas rumah kaca

Namun kerusakan yang sedang berprogres memutar waktu lebih cepat, meningkatnya kesadaran manusia teredam oleh dicapainya konsentrasi karbon dioksida atmosfer di angka 400 PPM (artinya per juta bagian) pada 2013, eksploitasi pemakaian bahan bakar fosil salah satu penyebab terbesarnya.

Walau situasi ini begitu kronis, tidak ada salahnya untuk tidak melawan arus dan memulai langkah-langkah kecil seperti: tidak menyampah bahan-bahan anorganik seperti kantong plastik yang bisa dipergunakan ulang, mengurangi pengonsumsian barang-barang sekali pakai, atau sekedar membiasakan diri tidak menyalakan AC selama berada dalam ruang. Kontribusi seminimal apapun masih berlipat kali lebih baik daripada menjadi peninggal jejak terburuk dalam sejarah kehidupan.

Selamat Hari Aksi Sedunia untuk Perubahan Iklim.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun