Mohon tunggu...
Vanessa Claudia
Vanessa Claudia Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Saya Vanessa Claudia, ingin mengembangkan bakat saya dalam menulis. Saya harap tulisan saya dapat berguna bagi banyak orang.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

G-30-S/PKI: Latar Belakang, Aksi, dan Penumpasan

19 November 2023   10:22 Diperbarui: 19 November 2023   10:22 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Alam Demokrasi Liberal 1950-1959 memberikan kesempatan pada PKI untuk mengadakan rehabilitasi walaupun sebelumnya partai ini telah melakukan pemberontakan di Madiun pada tahun 1948. Ketika D.N. Aidit menduduki pimpinan PKI, dengan cepat ia dapat membangun kebesaran PKI. Dalam pemilu 1955, PKI tampil sebagai salah satu dari empat partai besar di Indonesia.

Pada awal tahun 1964 hingga tahun 1965 PKI semakin agresif. Melalui rapat-rapat umum, pimpinan PKI melancarkan propaganda yang bersifat menghasut dan memusuhi lawan- lawan politiknya. Dengan propagandanya, para pimpinan PKI menyerang lawan-lawan politiknya dan menggambarkan lawan politiknya sebagai kapitalis birokrat, kontra revolusi, agen nekolim (neo kolonialisme) dan lain-lain. Selain dengan semboyan, di beberapa daerah propaganda PKI disertai dengan tindakan-tindakan kekerasan. Kaum tani dan buruh dihasut untuk menyerobot tanah-tanah rakyat dengan alasan landreform. Tindakan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban, baik dari kalangan ulama dari pesantren- pesantren maupun aparat keamanan. PKI juga membentuk blok-blok dalam tubuh ABRI melalui biro khusus yang dipimpin oleh Syam Kamaruzaman. Tujuannya untuk merancang dan merencanakan pengambilalihan kekuasaan. PKI juga mengadakan infiltrasi ke dalam tubuh ABRI dan pembinaan terhadap anggota-anggota ABRI.

Menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin, PKI memperoleh kemajuan yang pesat. Keberhasilan PKI mempengaruhi Presiden Soekarno menjadikan PKI menjadi salah satu partai terkemuka di samping PNI dan NU. Dalam perkembangannya PKI berhasil memperlemah lawan-lawan politiknya, terkecuali TNI-AD. PKI memandang TNI-AD dibawah pimpinan perwira-perwira pancasilais, seperti Jenderal Nasution dan Letjen Ahmad Yani merupakan hambatan terbesar bagi pelaksanaan program-program politiknya. Terbukti dengan ditolaknya usulan PKI tentang pembentukan angkatan kelima dengan mempersenjatai buruh dan tani yang ditentang keras oleh Letjen Ahmad Yani.

Kegagalan dalam pembentukan Angkatan ke V membuat PKI membuat siasat baru. PKI kemudian melancarkan fitnah bahwa Angkatan Darat akan melancarkan kudeta pada 5 Oktober 1965 berdasarkan dokumen yang ditemukan di rumah Duta Besar Inggris Gilchrist. Dokumen tersebut kemudian dikenal dengan sebutan "Dokumen Gilchrist". Dalam dokumen tersebut dikemukakan adanya Dewan Jenderal dalam Angkatan Darat yang bertujuan untuk melancarkan kudeta. Dewan Jenderal terdiri dari petinggi-petinggi AD antara lain, yaitu: Jenderal A.H. Nasution, Letjen Ahmad Yani, Mayjen Suprapto, Mayjen M. T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D. I. Panjaitan, dan Brigjen Sukendro. Pernyataan PKI tersebut dibantah oleh TNI AD.

Dalam situasi sakitnya Presiden Soekarno, D.N. Aidit melakukan evaluasi. Menurutnya pertentangan fisik tidak dapat dihindari apabila kepemimpinan Presiden Soekarno tidak ada lagi atau tidak tidak efektif lagi. Dalam situasi seperti itu, TNI- AD lah yang mempunyai kemampuan untuk menggulung PKI. Sebelum hal itu terjadi, PKI harus melakukan langkah-langkah untuk melumpuhkan TNI-AD.

Sebelum melakukan gerakannya, PKI mengadakan persiapan dengan pelatihan kemiliteran yang di Lubang Buaya, Pondok Gede, Jakarta Timur. Mereka melatih para kader dan ormas PKI seperti Barisan Tani Indonesia (BTI), Pemuda Rakyat, Serikat Buruh Kereta Api, Serikat Buruh Postel, SOBSI, buruh/tani non partai dan para simpatisan PKI. Kemudian PKI mematangkan rencananya dengan menyusun "struktur Organisasi dan Pengendalian Perebutan Kekuasaan serta perencanaan penculikan terhadap para perwira AD yang mereka pandang sebagai "Dewan Jenderal" dan juga penguasaan objek-objek viral.

Aksi Gerakan 30-S/PKI
Setelah langkah persiapan dinilai cukup, PKI mulai bergerak. Pemimpin teknis G-30-S/PKI dipegang oleh Letkol Untung Sutopo (Komandan Batalyon I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa). Sekitar pukul 01.30 dini hari tanggal 1 Oktober 1965, tujuh kelompok Pasukan Pasopati yang dipimpin oleh Dul Arief ditugaskan menculik para jenderal. Enam perwira tinggi Angkatan Darat menjadi korban penculika dan keganasan G-30-S/PKI, yaitu sebagai berikut.

1) Letnan Jenderal Ahmad Yani (Men/Pangad).

2) Mayjen Haryono Mas Tirtodarmo (Deputi III Pangad).

3) Mayjen R. Suprapto (Deputi II Pangad).

4) Mayjen Siswondo Parman (Asisten I Pangad). 5) Brigjen Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).

6) Brigjen Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman).

Jenderal Abdul Haris Nasution (Menko Hankam/Pangab) berhasil lolos dari penculikan. Tetapi, putrinya Ade Irma Suryani terluka parah karena tembakan penculik dan akhirnya meninggal di rumah sakit. Ajudan Nasution, Letnan Satu Pierre Andries Tendean, menjadi sasaran penculikan karena wajahnya mirip dengan Jenderal Nasution. Ketika itu juga tertembak Brigadir Polisi Karel Satsuit Tubun, pengawal rumah Waperdam II Dr. J. Leimena yang rumahnya berdampingan dengan rumah Nasution.

Gerombolan PKI juga mengadakan pembunuhan terhadap perwira TNI AD di Jawa Tengah. Kolonel Katamso, Komandan korem 072 Kodam VII Diponegoro dan kepala stafnya Letkol Sugiono menjadi korban keganasan PKI. Keduanya dibawa ke Kentungan sebelah utara Yogyakarta dan kemudian dibunuh pada 30 September 1965.

Pada 1 Oktober pukul 04.00 pagi, Letkol Untung Sutopo memerintahkan Batalion 454 dan 530 mengepung istana dan mengendalikan Stasiun RRI Pusat dan Gedung PN Telekomunikasi di Jalan Medan Merdeka Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 1965 pemimpin G-30-S/PKI Letkol Untung Sutopo, melalui RRI mengumumkan pembentukan "Dewan Revolusi Indonesia" dan pendemisioneran kabinet Dwikora.

Penumpasan G-30-S/PKI
Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) Mayor Jenderal Soeharto segera melakukan pemetaan terhadap keberadaan Gerakan 30 September. Operasi penumpasan terhadap G-30-S/ PKI dilakukan pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada pukul 19.15 pasukan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) di bawah pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo berhasil menduduki Gedung RRI Pusat dan Gedung Telekomunikasi serta mengamankan seluruh Medan Merdeka tanpa perlawanan. Batalion 328 Kujang/Siliwangi menguasai Lapangan Banteng untuk pengamanan Markas Kodam V/Jaya dan sekitarnya. Batalion I Kavaleri berhasil mengamankan BNI I dan Percetakan Uang di Kebayoran. Dalam waktu singkat, Jakarta sudah dapat dikuasai kembali oleh ABRI

Pada pukul 20.00 Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan tentang adanya usaha perebutan kekuasaan oleh Gerakan 30 September. Diumumkan pula bahwa penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi AD. Presiden dan Menko Kasab dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa antara Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Kepolisian sudah ada saling pengertian untuk bekerja sama menumpas G-30-S/PKI. Kepada masyarakat dianjurkan untuk tetap tenang dan waspada.

Langkah berikutnya adalah membebaskan basis utama G-30-S/PKI di Halim Perdanakusuma. Kepada Presiden Soekarno diberitahukan agar meninggalkan wilayah sekitar Halim. Setelah presiden meninggalkan Halim menuju Istana Bogor, pasukan RPKAD serta Batalion 328 Kujang/Siliwangi dan Batalion 1 Kavaleri bergerak menuju Halim. Tanpa menemui kesulitan, pada pukul 06.10 tanggal 2 Oktober 1965 daerah sekitar Pangkalan Udara Halim sudah berhasil dikuasai.

Pada 3 Oktober 1965 berdasarkan petunjuk dari Ajun Brigadir Polisi Sukitman, jenazah para perwira TNI AD ditemukan dalam sebuah sumur tua. Sukitman adalah seorang anggota polisi yang ditangkap ketika pasukan penculik menculik Brigjen D.I. Panjaitan. Jenazah para perwira AD tersebut dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata tepat pada HUT ABRI 5 Oktober 1965. Para perwira TNI AD tersebut kemudian dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi secara anumerta. Pemerintah kemudian menetapkan tanggal 1 Oktober sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun