Mohon tunggu...
Vanesa Aurellia Maghfiroh
Vanesa Aurellia Maghfiroh Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

UIN Maulana Malik Ibrahim Malang Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Prodi Pendidikan IPS

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Membangun Kemandirian Anak dengan Teori Condisioning Classic oleh Ivan Pavlov, Cara Efektif dan Mudah

29 September 2024   21:20 Diperbarui: 29 September 2024   21:35 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Teori Pengkondisian Klasik yang dikemukakan Pavlov, yang juga dikenal sebagai Classical Conditioning atau pengkondisian klasik, adalah salah satu temuan paling berpengaruh dalam psikologi perilaku. Teori ini ditemukan oleh Ivan Pavlov, seorang ahli fisiologi Rusia, pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Eksperimen klasik Pavlov melibatkan pengamatan terhadap anjing, di mana ia menunjukkan bahwa perilaku dapat dipelajari melalui asosiasi stimulus. Konsep pengkondisian klasik ini kemudian diterapkan pada berbagai bidang, termasuk dalam pengembangan dan pendidikan anak. 

Dalam konteks perkembangan anak, teori Pavlov memberikan wawasan penting tentang bagaimana anak-anak belajar melalui pengulangan dan asosiasi stimulus. Proses pembelajaran ini sangat penting untuk memahami bagaimana kebiasaan, emosi, dan respons perilaku terbentuk dan bagaimana hal itu dapat diterapkan dalam mendukung perkembangan kognitif dan emosional anak. Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam teori anjing Pavlov dan kaitannya dengan perkembangan anak serta bagaimana teori tersebut dapat diterapkan dalam pendidikan dan pengasuhan anak.

Ivan Pavlov menemukan konsep pengkondisian klasik melalui serangkaian eksperimen dengan anjing. Dalam eksperimen tersebut, ia menemukan bahwa anjing secara alami mengeluarkan air liur saat melihat makanan (stimulus tanpa syarat). Namun, ketika suara bel (stimulus netral) dibunyikan setiap kali makanan diberikan, anjing akhirnya belajar mengasosiasikan suara bel dengan makanan dan mulai mengeluarkan air liur hanya dengan mendengar suara bel, bahkan ketika makanan tidak diberikan. Proses ini disebut pengkondisian klasik, di mana stimulus netral menjadi stimulus terkondisi yang memicu respons terkondisi.

Pengondisian klasik melibatkan beberapa elemen dasar:

  1. Stimulus tidak terkondisikan (Unconditioned Stimulus): Stimulus yang secara alami menimbulkan respons tanpa perlu pembelajaran, misalnya makanan yang menyebabkan anjing mengeluarkan air liur.
  2. Respons tidak terkondisikan (Unconditioned Response): Respons alami terhadap stimulus tak bersyarat, misalnya air liur yang keluar sebagai respons terhadap makanan.
  3. Stimulus Netral (Neutral Stimulus): Stimulus yang awalnya tidak menimbulkan respons, misalnya bunyi bel sebelum diasosiasikan dengan makanan.
  4. Stimulus Terkondisikan (Conditioned Stimulus): Stimulus netral yang, setelah berulang kali dipasangkan dengan stimulus tak bersyarat, menjadi mampu menimbulkan respons.
  5. Respons Terkondisikan (Conditioned Response): Respons yang dipelajari terhadap stimulus bersyarat, seperti air liur yang keluar hanya dengan mendengar bunyi bel.

Pengondisian Klasik dalam Perkembangan Anak

Pada dasarnya, pengondisian klasik berlaku dalam banyak aspek perkembangan anak. Anak-anak, seperti anjing dalam eksperimen Pavlov, belajar melalui pengalaman dan asosiasi. Respons emosional dan perilaku anak terhadap situasi atau stimulus tertentu seringkali didasarkan pada pengalaman masa lalu mereka. Ini berarti bahwa pengondisian klasik dapat berperan penting dalam pembentukan pola perilaku dan kebiasaan anak.

Pembentukan Kebiasaan Positif dan Negatif

Salah satu cara di mana teori Pavlov berkaitan dengan perkembangan anak adalah dalam pembentukan kebiasaan positif dan negatif. Anak-anak dapat belajar mengasosiasikan perilaku tertentu dengan konsekuensi yang menyenangkan atau tidak menyenangkan. Misalnya, jika seorang anak selalu mendapatkan pujian (stimulus bersyarat) setelah menyelesaikan tugas sekolah (perilaku yang diinginkan), ia akan mengembangkan asosiasi positif antara menyelesaikan tugas dan pujian. Ini meningkatkan kemungkinan bahwa anak tersebut akan terus melakukan perilaku positif tersebut.

Sebaliknya, perilaku negatif juga dapat terbentuk melalui pengondisian klasik. Misalnya, jika seorang anak dihadapkan pada situasi yang menakutkan setiap kali ia mencoba berbicara di depan umum, ia dapat mengembangkan rasa takut terhadap situasi tersebut (respons bersyarat). Akhirnya, ia mungkin akan menghindari berbicara di depan umum karena asosiasi negatif yang telah terbentuk.

Pengaruh pada Perkembangan Emosional

Pengondisian klasik juga sangat berpengaruh pada perkembangan emosional anak. Emosi, seperti rasa takut, senang, atau cemas, sering kali terbentuk sebagai hasil dari pengondisian. Misalnya, anak yang secara konsisten menerima dukungan emosional dari orang tuanya saat ia merasa sedih dapat mengasosiasikan kehadiran orang tua dengan rasa nyaman dan aman. Sebaliknya, seorang anak yang menghadapi ejekan di sekolah mungkin mengembangkan kecemasan atau ketakutan terhadap situasi sosial tertentu.

Pengondisian klasik ini juga dapat memainkan peran dalam pembentukan fobia. Misalnya, seorang anak yang pernah mengalami kejadian menakutkan, seperti digigit anjing, mungkin mengembangkan fobia terhadap anjing sebagai respons terhadap kejadian tersebut. Anak ini telah belajar mengasosiasikan anjing (stimulus netral) dengan rasa takut (respons bersyarat), sehingga setiap kali ia melihat anjing, ia mengalami respons yang sama.

Penerapan Teori Pavlov dalam Perkembangan Anak

Teori Pavlov dapat diterapkan secara efektif dalam pendidikan dan pengasuhan untuk mendukung perkembangan anak, terutama dalam membantu anak belajar dan mengembangkan perilaku yang diinginkan. Beberapa contoh penerapannya antara lain:

1. Pembentukan Kebiasaan Belajar

Orang tua dan pendidik dapat menggunakan pengondisian klasik untuk membantu anak membentuk kebiasaan belajar yang baik. Misalnya, lingkungan belajar yang tenang dan nyaman dapat diasosiasikan dengan waktu belajar, sehingga anak merasa lebih fokus dan termotivasi setiap kali ia berada dalam suasana tersebut. Musik tertentu atau rutinitas harian dapat dijadikan stimulus yang dikondisikan untuk memulai proses belajar. Dengan demikian, anak dapat belajar mengasosiasikan lingkungan belajar dengan konsentrasi dan produktivitas.

2. Mengatasi Masalah Perilaku

Pengondisian klasik juga dapat diterapkan untuk mengatasi masalah perilaku anak. Misalnya, jika seorang anak mengalami kesulitan bangun pagi atau mengikuti rutinitas harian, orang tua dapat memperkenalkan stimulus netral, seperti bunyi alarm, yang diikuti dengan aktivitas menyenangkan (misalnya sarapan favorit). Dengan berulang kali mengasosiasikan bunyi alarm dengan hasil yang menyenangkan, anak akan mulai mengembangkan respons positif terhadap bangun pagi.

3. Meningkatkan Disiplin di Kelas

Di dalam kelas, guru dapat menggunakan pengondisian klasik untuk mendisiplinkan siswa. Misalnya, setiap kali siswa mendengar bunyi bel atau instruksi tertentu, mereka tahu bahwa mereka harus duduk dan memperhatikan. Dengan pengulangan, siswa akan belajar mengasosiasikan stimulus ini dengan tindakan yang diinginkan, yang akan mempermudah pengelolaan kelas.

4. Mengurangi Kecemasan

Pengondisian klasik juga dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan anak terhadap situasi tertentu. Misalnya, jika seorang anak takut pergi ke dokter, orang tua dapat memulai dengan mengasosiasikan kunjungan ke dokter dengan aktivitas yang menyenangkan, seperti hadiah atau kegiatan favorit setelah kunjungan. Dengan cara ini, respons negatif terhadap dokter dapat diminimalkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun