Mohon tunggu...
Habib Alfarisi
Habib Alfarisi Mohon Tunggu... Freelancer - Peneliti

Politik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perspektif Amnesty International terhadap Pelanggaran HAM Uighur di Tiongkok 2016-2021

17 April 2023   20:28 Diperbarui: 17 April 2023   20:31 692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pelanggaran HAM merupakan salah satu unsur yang selalu memenuhi hubungan internasional yang ada pada masa lalu maupun pada masa sekarang. Pada masa lalu, pelanggaran HAM dapat terjadi di berbagai macam pertempuran dan pemerintahan raja-raja atau kaisar yang merampas hak dan kebebasan dari masing-masing warga yang beragama (Damanik, 2021). Misalnya pada salah satu pemerintahan kaisar Romawi, yang bernama Elgabalus, yang mengharuskan setiap orang Romawi untuk menyembah dewa matahari yang bernama Elgabal dan menghapuskan kebebasan menganut agama lain atau perlakuan berbagai macam kaisar Romawi lainnya seperti Diocletianus, Marcus Aurelius dan sebagainya yang mempersekusi para pemeluk agama Kristen, yang dapat dikategorikan sebagai bentuk dari pelanggaran HAM yang sangat berat, karena agama merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan sudah seharusnya manusia mendapatkan kebebasan untuk memeluk dan menjalankan agama dan keyakinan yang dipilih secara pribadi dan tanpa paksaan dari pihak lain (Alfarisi, 2022).

Pelanggaran HAM pada masa lalu tidak menjadi salah satu prioritas yang dimiliki oleh negara dan tidak ada gerakan yang terkoordinasi untuk melawan dan menghapuskan segala bentuk pelanggaran HAM yang ada dan hanya ada perlawanan dan konfrontasi langsung antara pihak yang dizalimi melawan pihak yang menzalimi. Hal ini tentu disebabkan oleh sebuah fakta bahwa isu keamanan yang ada pada masa dahulu hanya berpusat kepada negara dan keamanan negara sebagai sebuah entitas politik sehingga banyak dari para pembuat kebijakan pada masa dahulu hanya berfokus kepada pertahanan negara dan isu-isu seperti perang dan damai yang melibatkan berbagai macam pihak dan warga negara dituntut untuk melindungi negaranya dengan memberikan berbagai macam hal yang dimilikinya.

Sementara pada masa modern, isu pelanggaran HAM memiliki bentuk dan wujud yang berbeda. Paradigma dan isu keamanan juga sudah mengalami perubahan yang tidak hanya berfokus kepada negara sebagai entitas politik dan bagaimana mempertahankan negara dari berbagai macam ancaman yang berasal dari dalam atau luar suatu negara, melainkan juga berfokus kepada keamanan kepada manusia sebagai individu dan bagaimana masing-masing manusia mendapatkan porsi keamanan yang adil agar dapat berkembang dan bertumbuh dan aman dari berbagai macam marabahaya dan ancaman yang dapat merusak dirinya dan orang-orang sekitarnya.

Adanya perubahan paradigma keamanan itu tentu menjadi salah satu alasan tumbuhnya  berbagai macam gerakan yang membela HAM yang ada di seluruh dunia dan berusaha untuk menjaga dan mempertahankan penegakan HAM dari seluruh pihak yang melakukan pelanggaran HAM baik itu yang dilakukan oleh aktor negara atau aktor non-negara dalam sebuah sistem internasional. Salah satu hal yang menarik perhatian pada masa sekarang adalah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Tiongkok terhadap para penduduk Uighur yang berada di Xinjiang, yang merupakan salah satu provinsi dari Tiongkok. Terdapat berbagai macam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Tiongkok seperti melarang kebebasan beragama dari penduduk Uighur, kebebasan berekspresi dan lain sebagainya yang bertentangan dengan kehendak yang dimiliki oleh para penduduk Uighur.

Salah satu hal yang dilakukan untuk mengurangi dampak dan kehancuran yang disebabkan oleh pemerintahan Tiongkok terhadap para penduduk Uighur adalah dengan peran dan tindakan yang dilakukan oleh Amnesty International, yang merupakan salah satu organisasi yang membela kepentingan para individu yang menjadi korban dalam sebuah peristiwa pelanggaran HAM yang dilakukan oleh berbagai macam pihak. Bab ini akan fokus membahas bagaimana tindakan dan perspektif Amnesty International serta dampak yang dihasilkan dari perbuatan dan aksi yang dilakukan oleh Amnesty International selaku organisasi yang membela kepentingan HAM yang ada di seluruh dunia.

3.1 AGENDA DAN GERAKAN AMNESTY INTERNATIONAL

Amnesty International adalah sebuah gerakan yang didekasikan secara khusus untuk melawan penindasan yang merugikan manusia sebagai individu dan menegakkan HAM terlepas dari batas-batas dan jarak yang dimiliki oleh negara-negara yang ada di dunia internasional. Gerakan Amnesty International sebenarnya bermula pada tahun 1961, yang pada masa itu, seorang pengacara dari Inggris yang bernama Peter Benenson mengamati peristiwa yang terjadi di Portugal, yang melibatkan dua orang mahasiswa yang pada akhirnya dipenjara karena melakukan sebuah tos kebebasan. Sebagai sebuah reaksi atas peristiwa yang terjadi di salah satu negara yang terletak di kawasan paling barat di Eropa, Benenson kemudian memutuskan untuk membuat dan merilis sebuah artikel yang berjudul The Forgotten Prisoners. Artikel yang ditulis oleh Benenson pada tahun 1961 menjadi salah satu artikel yang mendapatkan perhatian di dunia internasional (Kenway, 2021).

Artikel yang ditulis itu seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya, menjadi viral dan menjadi pusat perhatian dunia pada masa itu, karena mengkritik tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Portugis yang bertentangan dengan penegakan HAM yang ada di negaranya, mengingat kebebasan berekspresi menjadi salah satu hal yang paling dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam mengekspresikan dirinya dalam konteks sehari-hari atau dalam konteks memberikan suara dan aspirasi dalam kehidupan dan dunia politik negaranya.

Setelah peristiwa tersebut dan setelah artikel yang ditulis oleh Peter Benenson menjadi perhatian dunia internasional, berbagai delegasi dari negara yang ada di dunia kemudian memutuskan untuk berkumpul di Inggris dan kemudian melakukan sebuah gerakan yang dinamai dengan Amnesty International. Awalnya AI hanya sebuah organisasi yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan suaka politik terhadap para tawanan politik yang dianggap kriminal karena menyatakan pandangan dan pemikiran yang bertentangan dengan kepentingan dan kedudukan elite politik dalam suatu negara. Pada tahun pendirian, Amnesty International sama sekali tidak memiliki kantor pusat. Selang dua tahun setelah pendirian, tepatnya pada tahun 1963, Amnesty International baru mendapatkan kantor sekretariatnya di London.

Gerakan Amnesty International yang berfokus kepada pembebasan tahanan politik dibuktikkan dengan berbagai macam gerakan yang dilakukan oleh Amnesty International yang bertujuan untuk membebaskan tahanan politik dari tindakan yang dilakukan oleh berbagai macam elite politik pada masa itu. Salah satu tindakan yang berhasil dilakukan oleh Amnesty International pada masa awalnya adalah membebaskan uskup Ukraina yang ditahan oleh pemerintahan Uni Soviet karena melakukan dan menyampaikan sebuah pemikiran yang bertentangan dengan apa yang telah ditetapkan oleh pemerintahan Uni Soviet.

Bahkan atas keberhasilan yang dimiliki oleh Amnesty International, pada tahun 1973, salah satu pendiri dari Amnesty International yang bernama Sean Mcbridge berhasil mendapatkan piagam dan penghargaan Nobel Perdamaian atas peran dan jasanya dalam membebaskan berbagai macam tahanan politik yang ada di seluruh dunia dan sekaligus menandakan bahwa isu HAM dan isu kemanusiaan menjadi salah satu isu yang mulai mendapatkan perhatian dunia internasional pada masa itu.

Gerakan yang dilakukan oleh Amnesty International yang pada dahulunya hanya berfokus terhadap pembebasan tahanan politik tidak dapat dilepaskan dari kondisi dunia internasional pada masa itu, yang masih mengalami masa peralihan dan instabilisasi pasca Perang Dunia II dan di saat berlangsungnya Perang Dingin antara Amerika Serikat. Oleh karena itu, pada kondisi politik dan persaingan politik yang tidak stabil pada masa itu, penahanan seseorang akibat ideologi politik yang berlainan kerap terjadi di dunia internasional.

Selain daripada yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Amnesty International juga berusaha melebarkan sayap dan pengaruhnya dengan memulai kampanye anti kekerasan dan penyiksaan semenjak tahun 1974. Kampanye anti penyiksaan yang dilakukan oleh Amnesty International tidak dapat dilepaskan dari sebuah fakta yang ada pada masa itu bahwa banyak orang yang mengalami penyiksaan karena memiliki pendapat dan kedudukan yang bersebrangan dengan seorang elite politik yang ada di sebuah negara, seperti yang pernah terjadi di Chile, yang menyebabkan beberapa individu menghilang akibat secara aktif mengkritik diktator yang berkuasa di negara tersebut pada masa itu.

Kampanye yang dilakukan oleh Amnesty International yang bertujuan untuk menghapuskan kekerasan dan penyiksaan terhadap berbagai macam individu berdasarkan kepentingan politik, ras dan berbagai macam identitas lainnya, bertransformasi menjadi salah satu kontribusi Amnesty International yang terbaik dengan dijadikannya gerakan Amnesty International sebagai salah satu konvensi atau perjanjian yang diakui dan dilindungi oleh PBB yang pada akhirnya berhasil dikukuhkan pada tahun 1984, yang berarti bahwa Amnesty International telah mendapatkan kedudukan yang diakui oleh PBB di dunia internasional.

Selain daripada itu, Amnesty International menghasilkan sebuah prinsip untuk memperjuangkan penegakan HAM di seluruh dunia terlepas dari jarak, waktu dari tempat pelanggaran HAM itu terjadi. Amnesty International juga berusaha untuk membela siapapun korbannya terlepas dari identitas religius, ras, bahasa dan budaya yang dimiliki oleh para individu yang menjadi korban pelanggaran HAM tersebut.

Hingga pada masa sekarang, Amnesty International telah menyebar ke seluruh dunia, yang semulanya merupakan sebuah organisasi yang hanya berfokus kepada pembebasan tahanan politik, pada akhirnya bertransformasi menjadi sebuah organisasi yang membela semua jenis HAM yang ada di seluruh dunia tanpa terkecuali. Amnesty International pada masa sekarang memiliki sekitar 10 juta anggota aktif yang tersebar di 150 negara yang ada di seluruh dunia yang melakukan gerakan dan visi dan misi yang sama seperti Amnesty International pertama kali didirikan di Inggris.

4.2 TIONGKOK DAN UIGHUR  

Tiongkok merupakan sebuah negara yang berada di kawasan Asia Timur dan merupakan negara dengan penduduk terbanyak yang ada di dunia dengan jumlah yang mencapai 1 miliar individu yang menempati wilayah Tiongkok. Selain daripada itu, Tiongkok merupakan salah satu negara yang tertua di kawasan Asia dengan peradaban yang dimulai ribuan tahun sebelum masehi. Tiongkok juga awalnya merupakan sebuah negara yang berbentuk kekaisaran, yang dinasti pertamanya berada di bawah Shi Huang Di.

Kekuasaan dinasti tersebut silih berganti hingga pada masa Perang Dunia II dan perang saudara yang terjadi di Tiongkok antara Partai Komunis dan Partai Nasionalis Kuo Min Tang, yang pada akhirnya perang tersebut dimenangkan oleh partai komunis Tiongkok dan mendirikan sebuah negara di Tiongkok daratan, menghapus pemerintahan republik dan kekaisaran Tiongkok dan memulai kehidupan baru di Tiongkok daratan. Akibat kekalahan yang diderita oleh pasukan Kuo Min Tang pada masa perang saudara, partai tersebut kemudian memutuskan untuk meninggalkan Tiongkok dan membentuk negara di Taiwan, yang juga kini menjadi salah satu negara merdeka.

Sebagai negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, sejarah yang sangat panjang, dan tradisi yang sangat luas, Tiongkok merupakan sebuah negara yang memiliki berbagai macam etnis yang tinggal bersama, baik etnis yang serumpun maupun yang tidak serumpun sama sekali. Tiongkok memiliki beberapa etnis asli yang serumpun seperti etnis Han, yang merupakan etnis mayoritas, yang bahasanya menjadi bahasa nasional Tiongkok dan sistem penulisan dari etnis ini dipergunakan di berbagai bahasa yang ada di kawasan Asia Timur seperti bahasa Jepang dan bahkan bahasa Korea, yang menggunakan sistem penulisan Han sebelum penggunaan huruf Hangeul yang diperkenalkan oleh seorang raja di salah satu masa pemerintahan kerajaan Korea pada abad pertengahan (Amnesty, 2009). Tiongkok memiliki pengaruh dan kekuasaan secara kultural dan saintifik di kawasan Asia Timur semenjak dahulu.

Selain daripada etnis Han, yang menjadi etnis mayoritas, terdapat juga etnis Zhuang dan etnis Hui. Etnis Hui yang ada di Tiongkok memeluk agama Islam, yang memiliki identitas yang sama dengan etnis Uighur yang menetap di negara itu. Selain daripada itu, terdapat juga etnis yang mendiami wilayah Tibet, yang juga masih berada di rumpun yang sama dengan etnis-etnis Tiongkok yang lainnya yang telah disebutkan pada bagian sebelumnya. Terlepas dari itu, Tiongkok juga memiliki etnis yang tidak memiliki hubungan rumpun sama sekali. Salah satu etnis yang sama sekali tidak berada di rumpun yang sama dengan Tiongkok adalah etnis Uighur.

Uighur merupakan sebuah etnis yang berada pada rumpun Turkik, yang memiliki kesamaan dengan Turki, Turkmenistan dan lain sebagainya, yang masih memiliki identitas dan satu rumpun dengan Uighur. Adapun Uighur dapat menetap di Tiongkok disebabkan oleh faktor sejarah seperti pada masa kekuasaan Genghis Khan, yang berhasil menyatukan kerajaan dan wilayah yang membentang dari Mongolia hingga Asia Tengah. Akibat persatuan dan kekuasaan politik yang ada pada masa kekuasaan Genghis Khan, banyak suku yang mengalami perpindahan, yang salah satunya adalah Uighur (Battacharya, 2003). Selain itu, terdapat juga sebuah teori yang menyatakan bahwa Uighur merupakan salah satu keturunan dari bangsa nomaden yang bernama Xiong Nu, yang menjadi salah satu ancaman yang sangat mengerikan kepada bangsa Tiongkok pada masa lalu, mengingat suku tersebut sering melakukan penzarahan dan menyerang berbagai macam wilayah yang ada di Tiongkok untuk mengambil dan mencuri berbagai macam barang berharga yang dimiliki oleh para warga Tiongkok dan salah satu alasan dibangunnya Tembok Besar Tiongkok adalah untuk melawan serangan suku tersebut dan melindungi Tiongkok dari tindakan suku Xiong Nu.

 Salah satu keturunan dari Xiong Nu pada akhirnya dapat menetap di wilayah yang dimiliki oleh Tiongkok, tepatnya di wilayah Xinjiang, yang sebenarnya berarti Provinsi Baru. Adapun suku Uighur yang menetap di wilayah tersebut dan semua identitas yang dimiliki oleh suku Uighur merupakan hasil rekonstruksi oleh pemerintahan Tiongkok sebagai salah satu cara untuk mendapatkan wilayah yang didiami oleh Uighur, mengingat wilayah Xinjiang merupakan salah satu wilayah yang memiliki cadangan sumber daya alam yang sangat banyak, terutama minyak bumi yang diperlukan oleh pemerintahan Tiongkok sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses industrialisasi yang ada di Tiongkok.

Wilayah Xinjiang yang ada pada masa sekarang merupakan sebuah wilayah yang dihuni oleh beberapa suku yang memiliki identitas religius yang sangat berbeda dengan penduduk Tiongkok pada umumnya. Adapun agama mayoritas yang ada di provinsi ini adalah Islam. Selain dihuni oleh Uighur dan Hui, wilayah ini juga dihuni oleh etnis Kazakh dan beberapa etnis lainnya (Battacharya, 2003). Pemerintah Tiongkok selaku negara yang berdaulat atas wilayah ini, kemudian melakukan berbagai macam program dan pembaruan, terkait integrasi kultural dan berbagai macam integrasi lainnya agar para etnis yang ada di sana memahami dan dapat bertoleransi dengan para penduduk Tiongkok yang ada (Welshans, 2007).

Usaha pemerintah Tiongkok mengalami hambatan yang cukup signifikan dengan banyaknya pemberontakan dan protes yang terjadi di kalangan para penduduk yang ada di sana. Secara identitas, para penduduk Xinjiang merasa memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan penduduk Tiongkok pada umumnya, yang kemudian hal tersebut memunculkan sebuah isu untuk membebaskan diri dari pengaruh Tiongkok dan membentuk negara sendiri. Atas tindakan yang dilakukan oleh berbagai macam penduduk Xinjiang, yang salah satunya adalah penduduk Uighur, Tiongkok memutuskan untuk bertindak tegas agar dapat memadamkan segala potensi pemberontakan yang ada, mengingat sebuah fakta bahwa wilayah tersebut merupakan wilayah yang memiliki kedudukan yang sangat penting bagi Tiongkok, terutama kandungan sumber daya alam yang dimilikinya.

4.2.1 PELANGGARAN HAM TERHADAP PARA PENDUDUK UIGHUR

Tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok untuk memadamkan pemberontakan dan potensi perlawanan dari para penduduk Uighur tersebut sangat beragam. Salah satu tindakan tersebut adalah melakukan pengawasan ketat terhadap para penduduk Uighur semenjak tahun 2009 (Groups, 2009). Pengawasan ketat ini pada akhirnya berubah menjadi serangkaian pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintahan Tiongkok. Adapun bagian ini akan menjelaskan secara rinci pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Tiongkok tersebut. Pelanggaran HAM tersebut adalah sebagai berikut:

  • ANCAMAN TERHADAP KEBEBASAN BERAGAMA

Agama merupakan salah satu unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia dan setiap manusia memiliki hak yang mutlak dan tidak dapat dipisahkan dari dirinya semenjak manusia tersebut dilahirkan. Agama dapat diartikan juga sebagai sebuah ikatan yang dibentuk oleh manusia dengan Sang Pencipta atau Tuhan dengan menjalankan berbagai macam aturan dan kegiatan ibadah serta menjauhi semua larangan dan kegiatan atau tindakan yang dapat menimbulkan dosa di sisi Tuhan yang dipercaya oleh para pemeluk agama tersebut. Uighur yang merupakan sebuah etnis yang memiliki identitas yang berlainan dengan mayoritas Tiongkok pada umumnya, adalah sebuah masyarakat yang memiliki agama Islam sebagai agama yang dipeluk dan dipercaya.

Walaupun bukan hanya satu-satunya kelompok masyarakat yang memeluk Islam, terdapat juga etnis Hui yang memeluk Islam. Fakta itu tentunya tidak dapat menghentikan pemerintah Tiongkok untuk melakukan pelanggaran terhadap para penduduk Uighur, khususnya terhadap kebebasan beragama. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan dari tindakan yang dilakukan oleh para penduduk yang memiliki identitas Uighur, yang melakukan pemberontakan dan gerakan separatis dan berusaha memisahkan diri dari pemerintahan Tiongkok yang berdaulat dengan membuat dan memerdekakan negara sendiri terlepas dari Tiongkok di wilayah Xinjiang (Dewi & Masrur, 2020). Selain daripada itu, pemerintah Tiongkok mencurigai bahwa para penduduk Uighur terlibat dalam ajaran ekstremisme atau yang memiliki jenis yang sama dengan terorisme, yang menurutnya dapat membahayakan kepentingan dan warga Tiongkok di dalam daerahnya. Oleh karena itu, Tiongkok melakukan berbagai macam cara untuk meminimalisasi efek dan dampak yang dapat timbul akibat fenomena yang sedang terjadi di wilayah Xinjiang tersebut.

Terlepas dari langkah dan kebijakan serta pandangan yang dimiliki oleh Tiongkok, hal itu tidak menghentikan Tiongkok untuk melakukan berbagai macam pelanggaran HAM seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Adapun berbagai macam pelanggaran HAM  terhadap kebebasan beragama yang dimiliki oleh para penduduk Uighur yang dilakukan oleh pemerintahan Tiongkok seperti pada tahun 2016, Tiongkok secara ketat membatasi kegiatan aktivitas agama para penduduk Uighur dengan melakukan pelarangan para muslim Uighur untuk melakukan kegiatan ibadah seperti melakukan salat sebanyak 5 kali dalam sehari dan mempelajari agama Islam di sekolah seperti yang seharusnya dilakukan agar para generasi muda mengenal Islam sejak dini (Www.dw.com, 2020). Selain daripada itu, pemerintahan Tiongkok juga menuntut para orang tua Uighur untuk menjauhkan dan mengeluarkan anaknya dari pengaruh dan ajaran agama. Apabila tidak memiliki kemampuan untuk melakukan hal yang telah menjadi peraturan mutlak tersebut, maka pemerintah Tiongkok akan mencabut hak belajar dan menerima pendidikan kepada para anak dari orang tua tersebut, yang pada akhirnya pemerintah Tiongkok tidak hanya melakukan pelanggaran terhadap kebebasan beragama, namun juga kepada akses pendidikan, mengingat pendidikan juga merupakan salah satu hak dasar yang harus didapatkan oleh setiap individu yang ada.

Larangan keras itu juga disertai dengan berbagai macam ancaman hukuman yang dapat merugikan para penduduk Uighur seperti akan dimasukkan ke penjara dan berbagai macam sanksi dan hukuman berat yang menanti apabila terdapat berbagai macam indikasi praktik agama Islam yang seharusnya dapat dengan mudah, aman dan nyaman dilakukan oleh para penduduk Uighur, mengingat mempraktikkan agama merupakan salah satu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap orang apapun agama dan kepercayaan atau identitas rasialnya (Deesthania, 2016).

Tidak hanya berhenti sampai di situ saja, pemerintah Tiongkok juga menerapkan aturan yang semakin ketat dan merugikan para penduduk yang memiliki agama Islam di Xinjiang, terutama para penduduk Uighur. Salah satu warga yang memiliki etnis Uighur mengatakan bahwa beliau mengalami ketakutan yang sangat luar biasa ketika melaksanakan salat di masjid dan pada akhirnya memutuskan untuk sama-sama berkumpul dan melaksanakan salat di rumah. Selain daripada itu, warga itu juga menceritakan bahwa banyak dari masjid yang ada di wilayah Xinjiang dihancurkan dan kemudian diubah menjadi kafe atau bar yang dimiliki oleh salah seorang warga yang beretnis Han (Ramadhan, 2020).

Tak hanya sampai di situ saja, pemerintah Tiongkok juga menghancurkan berbagai macam masjid yang ada di wilayah Xinjiang, terutama masjid yang dimiliki oleh para penduduk Uighur. Semenjak tahun 2017 hingga 2020, tercatat sekitar 8500 masjid yang berbeda telah dihancurkan oleh Tiongkok, yang dapat dibuktikkan dengan berbagai macam gambar satelit yang ada (Ariyanti, 2020). Tentu penghancuran berbagai macam masjid yang ada di wilayah itu sangat merugikan bagi para penduduk Uighur, mengingat setiap individu yang beragama Islam akan mengalami kesulitan untuk melakukan aktivitas religius yang tidak hanya terbatas kepada melakukan salat 5 waktu saja, melainkan berbagai macam aktivitas seperti perayaan idul fitri dan idul adha, yang merupakan dua hari besar umat Islam.

Foto satelit yang dapat dilihat di atas adalah salah satu contoh dari pembongkaran masjid yang dilakukan oleh pemerintahan Tiongkok di salah satu bagian di Xinjiang. Dapat dilihat dengan jelas bahwa pada Maret 2011, sebuah masjid masih berdiri dengan kokoh, namun hampir 9 tahun berlalu, tepatnya pada bulan Juni 2020, masjid yang ada pada Maret 2011, telah hilang dan dibongkar menjadi lahan kosong. Hal ini merupakan salah satu dari masjid yang mengalami pembongkaran oleh pemerintahan Tiongkok di Xinjiang, terdapat berbagai macam masjid yang mengalami nasib yang sama dan tentu mempersulit akses para penduduk Uighur untuk melakukan kegiatan religius berdasarkan kepercayaan yang dianut.

Selain daripada yang telah disebutkan di atas, para warga Uighur selain dilarang untuk beribadah di masjid dan melakukan berbagai macam tindakan religius lainnya dan menjalankan aturan dalam agamanya, warga Uighur juga dilarang untuk mengenakan hijab atau niqab bagi perempuan dan bagi laki-laki, dilarang untuk menumbuhkan jenggot, yang merupakan salah satu bagian dari ajaran Islam yang bersifat wajib dan sunnah (KumparaNEWS, 2018). Kebijakan Tiongkok yang ketat tersebut semakin membatasi para warga Uighur untuk melaksanakan dan mempraktikkan keyakinannya.

Pemerintah Tiongkok pada akhirnya dianggap berusaha untuk menanamkan indoktrinasi kepada para warga Uighur agar semakin banyak dari para warga Uighur yang bersimpati kepada partai Komunis dan kemudian menerapkan ajaran dan doktrin dari partai komunis Tiongkok di kehidupan sehari-hari, yang langkah pertama dari indoktrinasi tersebut adalah dengan cara menjauhkan kehidupan sehari-hari dari agama. Terlepas dari semua alegasi atau tuduhan dan temuan yang telah ada, pemerintah Tiongkok menolak dengan keras bahwa semua tuduhan yang dilontarkan adalah omong kosong dan sebaliknya, pemerintah Tiongkok mengatakan bahwa Tiongkok adalah sebuah negara yang sangat menghormati kebebasan beragama dan berbudaya.

  • KAMP REEDUKASI

Selain daripada yang telah disebutkan, pemerintah Tiongkok juga semakin memperketat langkah dan kebijakan yang dilakukannya dengan menerapkan kamp reedukasi, yang merupakan sebuah tempat untuk mendidik kembali para Uighur agar memiliki simpati terhadap partai Komunis dan meninggalkan semua identitas agama dan kebudayaan yang dimilikinya. Sekitar ratusan hingga ribuan penduduk Uighur ditahan secara acak karena melaksanakan kebebasan agama seperti melaksanakan salat dan lain sebagainya yang kemudian dibawa ke kamp reedukasi (Sefriani, 2016). Kebijakan yang diterapkan oleh Tiongkok ini telah berlangsung selama 2014 dan telah memakan banyak korban selama kebijakan ini diterapkan.

Di dalam kamp reedukasi yang ditetapkan dan dibangun oleh Tiongkok, Tiongkok mewajibkan setiap peserta dan tahanan untuk melepaskan identitas agama dan dilarang untuk melaksanakan salat dan berbagai macam kewajiban sebagai umat beragama lainnya, memisahkan para penduduk Uighur dengan identitas aslinya (Republika, 2019). Kemudian para penduduk Uighur itu dipaksa untuk mempelajari ideologi komunisme, yang merupakan ideologi yang dipergunakan di pemerintahan Tiongkok oleh partai yang berkuasa. Para penduduk Uighur itu juga dipaksa untuk menyanyikan dan menyampaikan pujian kepada Xi Jin Ping selaku pemimpin tertinggi yang ada di Tiongkok.

Tidak hanya itu saja, dalam kamp reedukasi tersebut, pemerintah Tiongkok memaksakan integrasi kepada para penduduk Uighur dengan secara paksa memerintahkan setiap Uighur untuk mempelajari bahasa Mandarin dan menggunakan bahasa Mandarin dalam kehidupan sehari-hari, meninggalkan identitas Uighur baik secara kultural maupun religius. Selain daripada itu, pemerintah Tiongkok juga menikahkan paksa etnis Uighur dengan penduduk Tiongkok asli, yang bertentangan dengan keinginan penduduk Uighur tersebut (Watch, 2017).

Hal ini tentu diperkuat dengan pengalaman yang dialami oleh seseorang bernama Kayrat Samarkand, yang ditahan oleh pemerintahan Tiongkok selama 3 bulan hanya karena Samarkand mengunjungi beberapa wilayah muslim di Tiongkok dan karena identitasnya juga seorang muslim. Samarkand mengatakan bahwa terdapat sekitar 5700 orang yang ditahan di kamp reedukasi yang didirikan oleh pemerintahan Tiongkok dan dari semua orang-orang yang ditahan tersebut tidak satupun yang beretnis Han dan hanya orang Kazakh dan juga Uighur yang beragama Islam (Denyer, 2018). Samarkand menambahkan bahwa sekitar 200 orang dari 5700 orang yang disebutkan sebelumnya, merupakan individu yang dituduh sebagai ekstrimis, hanya karena para individu tersebut belajar di luar negeri, menerima telepon dari luar negeri atau bahkan hanya melaksanakan salat di masjid.

Samarkand mengatakan bahwa dirinya mengalami pengalaman yang tidak menyenangkan selama berada di kamp edukasi yang ditetapkan oleh pemerintahan Tiongkok. Dirinya menceritakan bahwa setiap hari para tahanan diwajibkan untuk mempelajari pidato Xi Jin Ping selama 2-3 jam dan kemudian dilanjutkan menyanyikan beberapa lagu yang memuja dan memuji pemimpin tertinggi Tiongkok tersebut, yang menurutnya merupakan salah satu bagian dari propaganda pemerintah Tiongkok dan sebagai salah satu cara untuk mencuci otak para tahanan agar tidak menyampaikan kebenaran yang terjadi di dalam negara tersebut. Tidak hanya itu saja, para tahanan tidak akan diizinkan untuk tidur, beristirahat atau mendapatkan makanan sehari-hari apabila tidak mampu menghapalkan lagu kebangsaan, komunisme dan lain sebagainya. Para tahanan harus dapat mengikuti setiap kata dan perintah yang telah ditetapkan oleh partai komunis pada kamp reedukasi tersebut. Para tahanan juga mengklaim bahwa kualitas makanan sangat buruk dan banyak tahanan yang keracunan akibat buruknya kualitas makanan tersebut. Bahkan di beberapa kesempatan, para tahanan yang memiliki identitas Islam dipaksa untuk makan daging babi, yang diharamkan dalam Islam.

Selain daripada itu, Samarkand juga mengatakan bahwa terdapat sebuah hukuman bagi setiap orang yang terlambat datang di saat jam belajar atau terlibat dalam sebuah perkelahian dengan para individu yang ada di kamp tersebut. Adapun menurut Samarkand hukumannya seperti kedua tangan diborgol dan atau dipasung. Orang-orang yang melanggar hukuman itu juga akan diletakkan di sebuah tempat yang dinamakan kursi harimau selama beberapa jam, yang menurutnya bahwa dirinya mengalami hukuman tersebut akibat dari pelanggaran dari salah satu aturan yang telah ditetapkan.

Selain daripada Samarkand yang telah menceritakan pengalamannya di kamp reedukasi, terdapat juga seorang yang beretnis Kazakh yang bernama Omir Bekali, yang mengklaim bahwa dirinya ditahan oleh pemerintahan Tiongkok selama 7 bulan dan menghabiskan sekitar 20 hari di kamp reedukasi. Bekali ditahan oleh polisi Tiongkok karena hanya mengunjungi orang tuanya di Xinjiang pada Maret 2017 (Denyer, 2018). Berkali juga sama sekali tidak mendapatkan akses terhadap pengacara dan proses peradilan langsung menjatuhkan Berkali hukuman yang berat. Bekali juga tidak diizinkan untuk tidur dan beristirahat selama 4 hari di saat dirinya sedang diinterogasi oleh para otoritas yang berwenang yang ada di sana, sebelum akhirnya dijebloskan ke penjara.  Menurutnya, selama berada di kamp reedukasi, kegiatan setiap hari selalu dimulai pada pukul setengah tujuh pagi yang dimulai dengan upacara penaikan bendera Tiongkok dan menyanyikan berbagai macam lagu kebangsaan dan lain sebagainya. Kegiatan selanjutnya setelah upacara adalah mengucapkan terima kasih kepada partai komunis dan Xi Jin Ping atas makanan dan tempat tinggal yang telah diberikan.

Kebijakan kamp reedukasi Tiongkok yang dilakukan terhadap para penduduk Uighur merupakan salah satu hal yang dapat dikategorikan sebagai tindakan yang melanggar HAM. Terdapat berbagai macam hak yang dilanggar seperti penahanan yang tidak berwenang dan tidak memiliki alasan yang kuat. Beberapa orang bahkan ditahan hanya karena menjalankan ajaran agama seperti yang diceritakan oleh Samarkand. Para tahanan juga dipaksa untuk memakan daging babi yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam seperti yang dijelaskan pada bagian sebelumnya dan para tahanan juga tidak mendapatkan porsi istirahat yang cukup serta kewajiban untuk menghapal semua prinsip dan lagu kebangsaan dengan hukuman yang sangat berat seperti yang telah dideskripsikan sebelumnya.

  • KEKERASAN FISIK

Selain daripada yang telah disebutkan pada bagian yang di atas, terdapat juga pelanggaran HAM yang melibatkan kekerasan fisik. Kekerasan fisik yang dilakukan terhadap para penduduk Uighur melibatkan tindakan seperti pemukulan, penyiksaan dan lain sebagainya yang menyebabkan luka fisik dan lain sebagainya terhadap para korban yang mengalami hal tersebut (Itasari, 2021). Adapun kekerasan fisik yang dilakukan disebabkan oleh identitas muslim yang dimiliki oleh Uighur yang dicurigai sebagai salah satu bagian dari para ekstrimis yang mengancam kedaulatan Tiongkok.

Hal ini tentu seperti apa yang dikatakan dan diakui oleh seorang yang bernama Jiang, yang merupakan mantan polisi Tiongkok yang mengungkapkan semua kejadian itu ke CNN. Jiang mengaku merupakan seorang yang pernah bekerja dan terlibat sebagai pihak otoritas yang bertanggungjawab atas penyiksaan yang dilakukan terhadap penduduk Uighur yang dibuktikkan dengan seragam, badge dan berbagai macam dokumen resmi yang menyatakan bahwa Jiang merupakan salah satu bagian dari kepolisian Tiongkok yang bertanggungjawab atas peristiwa itu dan menggunakan nama Jiang sebagai nama samaran untuk melindungi identitas aslinya karena keluarganya yang masih tinggal di Tiongkok (Wright et al., 2021).

Jiang mengaku bahwa satuannya diperintahkan untuk menggerebek rumah para penduduk Uighur dan kemudian melakukan penahanan terhadap orang-orang Uighur yang tidak bersalah tersebut. Para polisi yang melakukan tindakan itu juga membawa senapan laras panjang dan memberikan sebuah ancaman bahwa apabila perintah untuk ikut dengan para polisi itu tidak dipatuhi, maka para penduduk Uighur akan ditembak di tempat. Jiang juga mengatakan bahwa beberapa dari polisi itu juga memukuli para penduduk Uighur berulang kali sampai menimbulkan luka lebam dan bengkak di seluruh bagian tubuh.

Jiang melanjutkan bahwa selama proses interogasi oleh para polisi, segala metode penyiksaan digunakan. Mulai dari menyetrum dan bahkan melakukan pelecehan seksual, digantung secara terbalik dan hingga diletakkan di kursi harimau dipergunakan kepada para tahanan agar para tahanan itu mau mengakui kesalahan yang dituduhkan oleh pemerintah Tiongkok tersebut. Terlepas dari itu, Jiang mengaku bahwa tak satupun dari para tahanan yang ditahan dan disiksa melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan oleh pemerintah Tiongkok, yang menganggap bahwa para individu itu terlibat dalam berbagai macam gerakan teroris dan berbagai hal kriminal lainnya. Klaim yang dikatakan dan diucapkan oleh Jiang juga memiliki kemiripan dengan laporan yang dihasilkan oleh Amnesty International berdasarkan interview dan kesaksian dari beberapa mantan tahanan yang mengalami penyiksaan yang sama oleh pemerintahan Tiongkok.

Jiang mengatakan bahwa pertama kali mendapatkan tugas sebagai seorang perwira di wilayah Xinjiang adalah pada tahun 2014. Pada tahun itu, Jiang mendapatkan perintah dari atasannya untuk membantu menyelesaikan permasalahan gerakan separatis yang ada di Xinjiang. Jiang sama sekali tidak menaruh rasa curiga terhadap perintah yang diberikan, namun merasa senang, karena akan menjadi salah satu personil yang akan menangani kasus separatism yang ada di wilayah Xinjiang.

Jiang mengatakan bahwa dirinya mulai mengalami kecurigaan di saat masyarakat di sana tanpa terkecuali diawasi dan semua restoran serta fasilitas umum ditutup di saat operasi akan dilaksanakan dan terdapat daftar dari nama-nama orang tertentu yang harus ditangkap tanpa tindakan kriminal yang jelas. Selain daripada itu, Jiang juga menambahkan bahwa perekrutan anggota polisi yang akan ditugaskan di wilayah Xinjian dilakukan secara massal dengan sebuah program yang dinamai Bantu Xinjiang. Beberapa dari anggota polisi yang bertugas bertindak tanpa ampun dan tanpa rasa kemanusiaan sama sekali kepada para penduduk Uighur ketika melakukan penyiksaan dan interogasi.

  • PRAKTIK KERJA PAKSA

Selain daripada yang telah disebutkan dan dijelaskan pada bagian sebelumnya, Tiongkok juga diketahui telah melakukan jenis pelanggaran HAM lainnya. Adapun Tiongkok selain telah melakukan penyiksaan secara fisik dan juga verbal, menetapkan dan membangun kamp reedukasi dan berbagai macam hal lainnya, Tiongkok juga menerapkan kebijakan kerja paksa bagi para warga Uighur. Kerja paksa yang dilakukan oleh para warga Uighur ini sangat beragam (Shalihah & Fiqri, 2020). Para warga Uighur diperintahkan untuk memetik kapas yang kemudian digunakan sebagai salah satu bahan industri fashion di pasar internasional. Xinjiang sendiri merupakan salah satu provinsi Tiongkok yang paling mengutungkan mengenai sumber daya kapas, mengingat sebuah fakta bahwa Xinjiang menyumbang 85% kapas Tiongkok dan 20% kapas dunia internasional (BBC.com, 2020).

Tuduhan ini ditemukan setelah hilangnya transparansi tenaga kerja yang digunakan untuk memetik kapas dan dokumentasi dari beberapa warga Uighur yang dipekerjakan secara paksa oleh pemerintah Tiongkok untuk memetik kapas. Adapun pada tahun 2018, 210 ribu individu dipekerjakan secara paksa di berbagai macam perkebunan kapas yang dimiliki dan dikuasai oleh pemerintahan Tiongkok. Kemudian pada tahun 2020, sekitar 142 ribu orang juga ditransferkan dan dipindahkan ke berbagai macam wilayah untuk menjalani periode kerja paksa tersebut (BBC.com, 2020).

Terlepas dari tuduhan yang dilontarkan oleh dunia internasional dan temuan dari Amnesty International selaku organisasi independen, yang memiliki fungsi untuk menegakkan HAM di seluruh dunia, Tiongkok menolak tuduhan tersebut dengan tegas dan mengatakan bahwa program yang dijalankan oleh pemerintahan Tiongkok memiliki tujuan untuk mengentaskan kemiskinan di negaranya, terutama di wilayah Xinjiang. Pemerintah Tiongkok juga mengatakan bahwa negaranya sedang memberikan lapangan pekerjaan kepada orang-orang yang berada di jurang kemiskinan tersebut.

Kerja paksa sendiri sebenarnya adalah sebuah praktik yang mewajibkan setiap individu untuk mengeluarkan tenaga dan keahlian yang dimiliki secara profesional tanpa mendapatkan bayaran sama sekali atau bayaran yang sangat tidak layak dengan beban kerja yang sangat berta tanpa adanya jaminan dan hak yang diberikan oleh para pemberi kerja. Dengan adanya pekerja paksa, yang praktiknya sudah berlangsung selama ribuan tahun, para pemodal dapat mengalami keuntungan yang sangat besar, karena tidak harus membayar upah para pekerja yang sudah memberikan tenaganya di kegiatan komersialnya. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan oleh pemerintahan Tiongkok untuk mengeksploitasi sumber daya manusia yang ada di wilayah Xinjiang yang tidak hanya terbatas pada kepentingan politik saja, melainkan kepentingan ekonomi Tiongkok (UN Human Rights, 2022).

Tindakan Tiongkok yang secara konstan menolak semua alegasi tanpa terkecuali dari dunia internasional dan berbagai macam organisasi HAM yang ada di dunia adalah salah satu cara yang ditempuh oleh Tiongkok untuk menghindari membayar dan berhadapan dengan sanksi dan kewajiban untuk membayar retribusi atas apa yang telah dilakukan oleh Tiongkok terhadap para penduduk Uighur. Tentu dengan posisi yang dimiliki oleh Tiongkok, Tiongkok akan merasa aman dari segala marabahaya yang dapat mengancamnya dan oleh karena itu sebisa mungkin, Tiongkok menghindari dan tidak mengakui semua tuduhan yang diberikan oleh dunia internasional demi kepentingan nasionalnya di berbagai macam bidang kehidupan.

4.3 PERSPEKTIF DAN TINDAKAN AMNESTY INTERNATIONAL TERHADAP UIGHUR

Amnesty International merupakan salah satu organisasi transnasional yang bergerak dalam bidang HAM, yang juga turut memberikan perspektifnya dan melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap para penduduk Uighur, mengingat tindakan yang dilakukan oleh Tiongkok sedang dan telah dan akan selalu mengancam keberadaan atau eksistensi yang dimiliki oleh para penduduk Uighur yang berada di provinsi Xinjiang. Hal ini tentu tidak dapat dilepaskan oleh dari kebijakan dan langkah-langkah yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap para penduduk Uighur tersebut. Adapun selaku sebagai organisasi transnasional, Amnesty International memberikan beberapa perspektifnya dan tindakannya untuk menemukan sebuah resolusi yang definitif terhadap peristiwa ini. Bagian ini akan menjelaskan secara mendetail apa yang dilakukan dan dikemukan oleh Amnesty International. Adapun tindakan yang dilakukan oleh Amnesty International terhadap peristiwa itu adalah sebagai berikut:

4.3.1 PELANGGARAN HAM YANG SANGAT BERAT

Amnesty International mengeluarkan berbagai macam pernyataan terkait peristiwa yang sedang terjadi. Selaku organisasi yang bergerak di bidang penegakan dan perlindungan Hak Asasi Manusia di seluruh dunia terlepas dari negara, ras, bahasa dan keyakinan yang dimiliki oleh para korban, Amnesty International menyatakan bahwa pemerintah Tiongkok telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang sangat berat kepada para penduduk Uighur yang berada di wilayah Xinjiang. Pernyataan yang dilakukan oleh Amnesty International tentu tidak datang dengan begitu saja. Terdapat berbagai macam riset dan aduan yang diterima oleh Amnesty International yang kemudian dituangkan dalam bentuk laporan yang sangat komprehensif yang memperlihatkan dan menjelaskan korban-korban yang mengalami penyiksaan dan berbagai macam hal yang tidak manusiawi lainnya yang disebabkan oleh pemerintahan Tiongkok yang melakukan penindasan terhadap kelompok minoritas yang ada di Xinjiang tersebut.

Adapun berdasarkan pandangan yang diberikan oleh Amnesty International yang didapatkan oleh peneliti dari website resmi yang menjadi salah satu alat untuk mempublikasikan berbagai macam penemuan dari fenomena yang terjadi dan berdasarkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh PBB, terdapat berbagai macam hak dan posisi yang diambil secara paksa oleh pemerintahan Tiongkok dari para penduduk Uighur.

Salah satu aspek pertama yang dilanggar oleh pemerintah Tiongkok adalah aspek agama dalam masyarakat Uighur. Menurut temuan dari Amnesty International, para penduduk Uighur dilarang untuk melakukan aktivitas yang berhubungan dengan agama dan berusaha menggangu dan memberikan rintangan terhadap para penduduk Uighur agar dapat melakukan aktivitas ibadah. Hal ini dibuktikkan dengan berbagai macam persekusi para penduduk Uighur agar dapat menjauhi segala hal yang berkaitan dengan agama yang dianut dan dipercaya. Tentu kebijakan pemerintah Tiongkok yang sangat represif terhadap para penduduk Uighur berasal dari sebuah keinginan dan isu separatis yang melibatkan beberapa bagian dari para etnis Uighur yang ingin melakukan separatisme dari Tiongkok, namun pemerintah Tiongkok dalam hal ini menganggap bahwa agama Islam yang dianut oleh para penduduk Uighur telah tercemar oleh ekstremisme dan terorisme (Greitens et al., 2020). Oleh karena fakta itu, pemerintah Tiongkok berusaha membersihkan ancaman tersebut dengan melakukan kebijakan yang sangat represif dan tentu kebijakan yang dilakukan berusaha menghapus identitas religius yang dimiliki oleh para penduduk Uighur.

Tentu jika merujuk kepada Deklarasi Universal HAM yang dicetuskan oleh PBB, AI tentu berpandangan bahwa hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak dasar yang harus dimiliki oleh setiap manusia terlepas ras, budaya, warna kulit dan lain sebagainya dan siapapun tidak dapat memaksakan suatu agama terhadap seseorang atau sekelompok orang baik memaksakan agama dengan menggunakan ancaman atau kekuasaan yang dimiliki atau pun tidak. Kecuali orang tersebut memeluk dan berpindah keyakinan atas dasar keinginan sendiri tanpa adanya paksaan dan ancaman yang dapat membahayakan keselamatan dirinya atau keselamatan keluarganya atau orang-orang terdekatnya.

"The Chinese authorities have created a dystopian hellscape on a staggering scale in Xinjiang. Uyghurs, Kazakhs and other Muslim minorities face crimes against humanity and other serious human rights violations that threaten to erase their religious and cultural identities." (Amnesty International, 2020)

            Agns Callamard yang menjabat sebagai sekjen Amnesty International mengeluarkan sebuah pernyataan seperti yang tertulis di atas bahwa pemerintahan Tiongkok telah menciptakan sebuah keadaan yang sangat mengerikan di provinsi Xinjiang terutama bagi para etnis minoritas seperti Uighur, Kazakh dan berbagai macam etnis minoritas yang beragama Islam lainnya yang ada di daerah tersebut, yang saat ini sedang mengalami sebuah tindak kejahatan yang bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan juga sedang mengalami berbagai macam tindakan yang melanggar HAM yang suatu saat dapat secara utuh menghapuskan identitas agama dan kultural yang dimiliki oleh para etnis minoritas yang beragama Islam tersebut.

            Tentu dari pernyataan yang dikeluarkan oleh Callamard, dapat dikatakan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Tiongkok tidak hanya mengancam Hak Asasi Manusia yang dimiliki oleh para penduduk Uighur, melainkan juga dapat menghapuskan secara utuh identitas religius dan kultural yang dimiliki tersebut. Hal ini dibuktikkan dengan berbagai macam temuan yang dilakukan oleh Amnesty International seperti adanya pelarangan ibadah dan penghancuran berbagai macam masjid yang ada di Xinjiang serta pelarangan ketat untuk beribadah dan melakukan berbagai macam tindakan yang berkaitan dengan agama Islam. Selain daripada itu, pemerintah Tiongkok juga melakukan indoktrinisasi terhadap para penduduk Uighur dengan mewajibkan setiap orang menghapalkan himne komunisme dan berbagai macam hal lainnya yang dianggap sebagai tindakan yang mencuci otak para penduduk Uighur agar meninggalkan identitas asli yang dimilikinya.

            Dapat dikatakan bahwa Amnesty International memandang bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintahan Tiongkok adalah tindakan yang melanggar HAM dan merupakan kejahatan atas kemanusiaan dengan memaksa para penduduk Uighur untuk meninggalkan identitas agama dan kebudayaan yang dimilikinya dengan secara paksa dan tegas melarang para Uighur untuk melakukan apapun yang memiliki hubungan dengan agama yang dianut. Selain daripada itu, pemerintah Tiongkok secara ketat membatasi kegiatan agama yang dimiliki oleh para penduduk Uighur di wilayah Xinjiang tersebut.

            4.3.2 MELAKUKAN KAMPANYE DI INTERNET

Selain daripada memberikan perspektifnya terhadap pelanggaran HAM yang sedang terjadi dan beberapa poin yang dilanggar oleh pemerintah Tiongkok, Amnesty International juga melakukan berbagai macam langkah terhadap pelanggaran HAM yang sedang terjadi. salah satunya adalah dengan melakukan kampanye secara aktif terhadap peristiwa itu. Kampanye yang dilakukan oleh Amnesty International dapat dimengerti sebagai salah satu tindakan untuk menyebarkan informasi secara luas kepada khalayak ramai melalui dan memanfaatkan teknologi yang ada pada masa sekarang, internet. Dengan adanya internet, Amnesty International dapat dengan mudah menyebarkan informasi yang ditemukan kepada seluruh dunia agar dapat diakses oleh siapapun dan di manapun untuk kepentingan para pembaca agar para orang-orang yang membaca informasi tersebut dapat mengambil tindakan dan kontribusi.

Kampanye yang dilakukan oleh Amnesty International dilakukan di berbagai macam tempat digital. Terdapat beberapa kampanye dan informasi yang dilakukan dan disebarkan melalui website resmi yang dimiliki oleh Amnesty International. Adapun melalui Website yang dimiliki oleh Amnesty International, AI menyediakan laporan pelanggaran HAM terhadap para penduduk Uighur yang ada di Tiongkok secara komprehensif dan menyeluruh, dengan menyertakan berbagai macam data korban yang ditampilkan secara konsensual agar terdapat semacam transparansi mengenai korban dan apa saja yang dialami oleh korban dalam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok tersebut. Kampanye yang ada juga berusaha untuk menimbulkan kesadaran masyarakat internasional terhadap peristiwa yang ada.

Dari data yang didapatkan dari website yang dipublikasikan dan dimiliki oleh Amnesty International, dapat dilihat berbagai macam daftar orang yang ditahan oleh pemerintah Tiongkok beserta nama lengkap, foto dam alasan penahanan dan kapan orang tersebut terakhir dilihat. Hal ini tentu akan mempermudah para publik internasional untuk sama-sama melakukan tindakan terhadap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok seperti yang dideskripsikan oleh Amnesty International.

Artikel yang disediakan di website Amnesty International juga tersedia dalam berbagai macam bahasa yang dapat dengan mudah dibaca dan dimengerti oleh orang yang berasal dari seluruh dunia. Berdasarkan temuan penulis, artikel Amnesty International dengan judul dan isi yang sama juga tersedia dalam bahasa Inggris, Arab, Prancis, Mandarin dan lain sebagainya. Tentu kehadiran berbagai bahasa ini menjadi salah satu tanda bahwa perjuangan Amnesty International bersifat inklusif dan tidak eksklusif untuk kepentingan kelompok tertentu saja.

Selain daripada melakukan kampanye di website resmi seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, Amnesty International juga melakukan kampanye di media sosial. Salah satu media sosial yang dimiliki oleh Amnesty International adalah Instagram. Akun Instagram yang dimiliki oleh Amnesty International telah bercentang biru yang berarti telah diverifkasi dan memiliki pengikut yang memiliki jumlah 1 juta yang berasal dari seluruh dunia.

Akun Instagram yang dimiliki oleh Amnesty International merupakan salah satu jenis dari media sosial yang digunakan oleh Amnesty untuk melakukan kampanye dan menyampaikan informasi tentang pelanggaran HAM yang terjadi di seluruh dunia dan menjadi salah satu isu prioritas yang dimiliki oleh Amnesty International. Amnesty International melalui Instagram juga secara aktif menyampaikan apa yang sedang terjadi dan melakukan interaksi dengan para warga net mengenai HAM. Selain daripada itu, Amnesty International juga memberikan pendidikan gratis mengenai HAM agar dapat meningkatkan kesadaran terhadap penegakan HAM.

Di Instagram tersebut, Amnesty International menyampaikan pesan terkait penegakan dan keberadaan HAM di dunia internasional dengan gambar yang sangat menarik dan ilustrasi yang sangat memanjakan mata dan sangat akurat dengan apa yang terjadi, menggabungkan perpaduan seni dan pesan terhadap HAM. Seperti salah satu contohnya adalah apa yang terjadi dengan Uighur di saat Amnesty International membuat salah satu postingan yang membahas permasalahan tersebut, yang dapat dilihat pada bagian bawah.

Dapat dilihat bahwa Amnesty International memadukan ilustrasi dengan berbagai macam informasi yang relevan dengan ilustrasi yang digunakan di setiap slide-nya. Post tersebut memberikan informasi terhadap dunia luar mengenai apa yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok terhadap para penduduk Uighur dan mendaftar segala pelanggaran HAM yang terjadi. Amnesty International dapat dikatakan berusaha agar informasi yang disampaikan dapat dibaca dan diterima oleh semua kalangan dengan mengemas informasi menggunakan kata-kata yang sederhana.

Kampanye yang dilakukan oleh Amnesty International juga berhasil mendapatkan perhatian dari publik internasional dan berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pelanggaran HAM yang sedang terjadi di Tiongkok. Salah satu pelanggaran HAM yang ada di Tiongkok adalah pekerja paksa. Para Uighur yang dikirim ke kamp reedukasi juga diperintahkan untuk melakukan pekerjaan mengutip dan memanen kapas untuk keperluan komersial salah satu perusahaan yang ada di Tiongkok tanpa menerima bayaran sama sekali seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Laporan ini juga dimuat di salah satu artikel yang dipublikasikan oleh Amnesty International yang juga berperan dalam menyebarkan informasi yang ada.

Beberapa perusahaan dan juga negara pada akhirnya menemukan sebuah indikasi mengenai pekerja paksa yang ada di Xinjiang, mengingat wilayah Xinjiang merupakan salah satu wilayah yang memiliki industri kapas yang sangat banyak dan kontributif terhadap kapas Tiongkok. Perusahaan-perusahaan seperti H&M yang berasal dari Jerman dan juga merupakan perusahaan yang bergerak di bidang fashion memutuskan untuk menghentikan kerjasama impor kapas dari wilayah Xinjiang untuk keperluan pembuatan berbagai macam produk yang dijual oleh perusahaan itu (Purnama, 2020). Langkah yang dilakukan oleh H&M merupakan salah satu cara untuk menghentikan Tiongkok menggunakan tenaga kerja paksa dan memenuhi semua hak yang harus didapatkan oleh setiap karyawan, mengingat situasi yang ada di Xinjiang juga sedang panas seperti yang dilaporkan oleh Amnesty International.

Selain daripada itu, Amerika Serikat juga diketahui sebagai negara yang kemudian memutuskan untuk menghentikan impor kapas dari Tiongkok pada tahun 2020 setelah berbagai macam laporan dari organisasi yang bergerak di bidang HAM, yang salah satunya adalah Amnesty International mengindikasikan adanya kehadiran pekerja paksa di negara Tiongkok, tepatnya di Xinjiang tersebut (Aini, 2020). Pemberhentian ekspor kapas dari wilayah Xinjiang ini juga bertepatan dengan peristiwa Perang Dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Dapat dikatakan bahwa perjuangan Amnesty International yang dilakukan melalui internet dengan memanfaatkan website dan tentu media sosial membawakan dampak yang sangat luar biasa. Amnesty International berhasil menghadirkan informasi yang singkat, namun padat bagi setiap publik untuk mengambil tindakan terhadap apa yang sedang terjadi di Tiongkok. Jangkauan yang luas serta jaringan yang hampir tidak terbatas yang dimiliki oleh Amnesty International menjadi salah satu faktor yang tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan yang dimiliki oleh AI tersebut.

4.3.3 MELAKUKAN RISET

Selain daripada yang telah disebutkan di atas, Amnesty International tentu memerlukan berbagai macam informasi yang valid sebelum menyebarkannya ke dunia internasional dan ke masyarakat internasional. Adapun untk memverifikasi informasi yang akan disebarkan, Amnesty International melakukan riset terlebih dahulu. Riset yang dilakukan tentu melibatkan berbagai macam metode. Salah satu metode yang dilakukan oleh Amnesty International adalah dengan melakukan berbagai macam wawancara dengan penduduk Uighur yang menjadi korban kekerasan Tiongkok.

Salah satunya adalah peristiwa pemisahan anak dari orang tuanya. Pasangan yang berada pada gambar di atas adalah pasangan yang anaknya dipisahkan. Orang tua dari anak-anak tersebut berhasil mengungsi di Italia, sementara anak-anaknya masih tertinggal di sekitar wilayah Xinjiang. Untuk dapat mencapai orang tuanya, anak-anak tersebut harus menempuh perjalanan ratusan hingga ribuan kilometer ke kedutaan besar Italia yang ada di Shanghai. Dengan adanya data dan kesaksian yang didapat dari berbagai macam narasumber, hal itu tentu memperkuat posisi dan klaim Amnesty International mengenai peristiwa yang sedang terjadi di Tiongkok.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, N. (2020). AS Setop Impor Kapas karena Dugaan Kerja Paksa di Xinjiang. Iqra.Republika.Co.Id. https://iqra.republika.co.id/berita/qkrvkr1429878934/as-setop-impor-kapas-karena-dugaan-kerja-paksa-di-xinjiang

Alfarisi, H. (2022). Sejarah Romawi: Dari Berdirinya Romawi hingga Kehancuran Romawi Bara (H. Alfarisi (ed.)). PT. PENA PERSADA KERTA UTAMA.

Amnesty. (2009). China: Identitas Etnis Uighur Terancam di china.

Amnesty International. (2020). China: Draconian repression of Muslims in Xinjiang amounts to crimes against humanity - Amnesty International. Xinjiang.Amnesty.Org. https://www.amnesty.org/en/latest/news/2021/06/china-draconian-repression-of-muslims-in-xinjiang-amounts-to-crimes-against-humanity/

Amnesty International. (2022). Uyghur Families Separated From Their Children. Www.Youtube.Com. https://www.youtube.com/watch?v=PEzH3vfmfxA

Ariyanti, H. (2020). Foto Satelit Perlihatkan China Hancurkan Ribuan Masjid dan Makam Muslim di Xinjiang | merdeka.com. Www.Merdeka.Com. https://www.merdeka.com/dunia/foto-satelit-perlihatkan-china-hancurkan-ribuan-masjid-dan-makam-muslim-di-xinjiang.html

Battacharya, A. (2003). Conseptualising Uighur Separatism In Chinese Nationalism.

BBC.com. (2020). Bukti baru "kerja paksa" warga Uighur di ladang kapas ditemukan, apa dampaknya bagi industri fesyen global.

BBC. (2018). Xinjiang territory profile - BBC News. BBC News. https://www.bbc.com/news/world-asia-pacific-16860974

Damanik, J. M. R. (2021). Dampak Dikeluarkannya Edik Milano 313 bagi Kebebasan Gereja. LOGON ZOES: Jurnal Teologi, Sosial Dan Budaya, 4(1), 35--45. https://doi.org/10.53827/lz.v4i1.23

Deesthania, R. (2016). China Kembali Berangus Kebebasan Beragama Muslim Uighur. Www.Cnnindonesia.Com. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20161012020346-113-165025/china-kembali-berangus-kebebasan-beragama-muslim-uighur

Denyer, S. (2018). Former inmates of China's Muslim 'reeducation' camps tell of brainwashing, torture. The Washington Post. https://www.washingtonpost.com/world/asia_pacific/former-inmates-of-chinas-muslim-re-education-camps-tell-of-brainwashing-torture/2018/05/16/32b330e8-5850-11e8-8b92-45fdd7aaef3c_story.html

Dewi, N. S., & Masrur, D. R. (2020). Kejahatan Kemanusiaan (Crimes Against Humanity) Di Negara Republik Rakyat Tiongkok (Rrt) Terhadap Muslim Etnis Uighur. JCA of Law, 1(2). https://jca.esaunggul.ac.id/index.php/law/article/view/22

Greitens, S. C., Lee, M., & Yazici, E. (2020). Counterterrorism and preventive repression counterterrorism and preventive repression: China's changing strategy in xinjiang. In International Security (Vol. 44, Issue 3, pp. 9--47). MIT Press Journals. https://doi.org/10.1162/ISEC_a_00368

Groups, A. (2009). China: Uighur ethnic identity under threat in China.

Itasari, E. R. (2021). Legal Protection of Uighur Muslim Ethnics in China from Perspective Human Rights. Lambung Mangkurat Law Journal, 6(1), 26--40.

Kenway, E. (2021). Amnesty International. Nobelprize.Org. https://www.nobelprize.org/prizes/peace/1977/amnesty/history/

KumparaNEWS. (2018). 5 Larangan China untuk Uighur: dari Berjenggot hingga Nama Islami. Kumparan.Com. https://kumparan.com/kumparannews/5-larangan-china-untuk-uighur-dari-berjenggot-hingga-nama-islami-1545628777987788364

Purnama, B. E. (2020). H&M Hentikan Ekspor Benang dari Xinjiang karena Kerja Paksa. Mediaindonesia.Com. https://mediaindonesia.com/internasional/345273/hm-hentikan-ekspor-benang-dari-xinjiang-karena-kerja-paksa.html

Ramadhan, Z. M. (2020). Masjid-Masjid di Uighur Diubah Jadi Kafe dan Tempat Wisata. Www.Republika.Co.Id. https://www.republika.co.id/berita/qia59b335/masjidmasjid-di-uighur-diubah-jadi-kafe-dan-tempat-wisata

Republika. (2019). Nestapa Uighur, RRC, dan Indonesia.

Sefriani, P. H. I. (2016). Peran Hukum Internasional Dalam Hubungan Internasional Kontemporer. Jakarta: Rajawali Pers, 189.

Shalihah, F., & Fiqri, M. R. (2020). Overview of human rights violations against Rohingya ethnicity in Burma and Uighur tribe in China in international law perspectives. International Conference on Law Reform (INCLAR 2019), 48--53.

UN Human Rights. (2022). China responsible for 'serious human rights violations' in Xinjiang province: UN human rights report | | UN News. News.Un.Org. https://news.un.org/en/story/2022/08/1125932

Watch, H. R. (2017). China: Bebaskan tahanan Pendidikan Politik Xinjiang.

Welshans, K. C. (2007). Nationalism and Islamic identity in Xinjiang. NAVAL POSTGRADUATE SCHOOL MONTEREY CA.

Wright, R., Watson, I., Mahmood, Z., & Booth, T. (2021). Torture Inflicted on Uyghurs in Xinjiang Revealed by Chinese Detective in Exile. CNN. https://edition.cnn.com/2021/10/04/china/xinjiang-detective-torture-intl-hnk-dst/index.html

Www.dw.com. (2020). China's Uighur --- what you need to know. Www.Dw.Com. https://www.dw.com/en/chinas-uighur-what-you-need-to-know/a-51522777

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun