Selain daripada hal tersebut, Amerika Serikat tentunya sudah memberi dan mengucurkan dana bantuan sebanyak 4,7 Triliun Rupiah pada 2016 (cnnindonesia.com, 2016). Kemudian pada tahun 2018, Amerika Serikat kembali mengucurkan dana sebesar 2,9 Triliun Rupiah untuk proses stabilisasi Suriah (tempo.co, 2018). Hal tersebut menjelaskan secara gamblang peran yang dimainkan oleh AS di Suriah sangat berperan besar bagi kehidupan warga Suriah di sana. AS telah berkontribusi besar dalam penstabilan Suriah dalam masa masa konfliknya. Sekali lagi bagian ini mengukuhkan pendapat Morgenthau bahwasannya sangat diperlukan otoritas sentral dalam hubungan internasional yang anarki, karena otoritas ini yang berperan besar serta membantu penyelesaian masalah negara yang terkena konflik tersebut.
Amerika Serikat beserta sekutunya juga melakukan serangan misil di Suriah terhadap para pasukan pro pemerintah Suriah yang sebelumnya telah melepaskan tembakan gas kimia pada 7 April 2018 yang menyebabkan warga sipil termasuk anak-anak serta perempuan terkubur massal (dunia.tempo.com, 2018). Hal tersebut tentu dilakukan oleh Amerika Serikat sebagai bentuk menimbulkan efek jera kepada para pasukan pro pemerintah yang terus melanggar HAM di wilayah konflik dengan menyerang warga sipil dan menggunakan gas kimia dalam serangannya.
Gambar 2.1 Korban Gas Kimia  Sumber    : dunia.tempo.co
Langkah yang dilakukan oleh AS pada konflik Suriah adalah semata semata untuk menstabilkan kembali negara tersebut setelah konflik yang berkepanjangan melanda negara tersebut. AS muncul sebagai pahlawan yang dibutuhkan oleh rakyat Suriah yang melawan rezim diktator Bashar Al-Ashad dan untuk menggulingkan rezim diktatoris tersebut yang sudah memakan ratusan ribu bahkan sampai jutaan korban.
Oleh karena itu penulis menegaskan sekali lagi bahwasannya peran AS di Suriah selain mendapatkan National Interest-nya, AS berperan aktif dalam menjaga perdamaian dunia sebagai otoritas sentral yang melindungi khususnya negara-negara yang lemah dalam perpolitikan internasional, karena asumsi penulis didasarkan pada teori realisme Morgenthau bahwasannya situasi anarkis di dunia membuat negara negara bertindak sesuka hati dan diperlukan otoritas sentral untuk mengatur serta melindungi perdamaian di dunia (Morgenthau, 1948). AS sudah sangat memainkan perannya dengan sangat baik di Suriah yaitu berperan dalam menstabilkan negara tersebut serta melindungi HAM yang telah dicabut secara paksa oleh negaranya sendiri.
2.5.2 Reaksi Jerman
Jerman merupakan sekutu terbesar AS dalam penyelesaian konflik di Suriah. Jerman dikenal akan kebijakan Open Door Policy oleh Angela Merkel (Liputan6.com, 2017). Kebijakan tersebut ditujukan untuk menerima pengungsi sebanyak munngkin dengann membuka pintu masuk ke Jerman. Hal tersebut tidak lain dan tidak bukan untuk menyelamatkan warga Suriah yang terkena konflik.
Tidak seperti negara-negara di Eropa, Jerman sangat terbuka terhadap para pengungsi yang berdatangan bukan hanya dari Suriah, tetapi dari negara negara lain juga. Ada beberapa alasan mengapa Jerman sangat antusias dengan gellombang pengungsi yang terus berdatangan ke negaranya. Menurut Wardhani pada 2015, Jerman menerima pengungsi sebannyak 52% daru Suriah dan sisanya adalah pengungsi yang berasal dari Iraq, Afhghanistan, Nigeria dan lain lain (Wardhani, 2017).
Salah satu dari sekian alasan tersebut adalah karena trauma masa lalu (Wardhani, 2017). Wardhani menuliskan bahwasannya peristiwa Holocaust yang terjadi pada masa perang dunia kedua di Jerman, telah membuat Jerman merasa simpati yang begitu besar kepada para pengungsi (Wardhani, 2017).
Selain daripada hal tersebut, Jerman juga mendapatkan pengalaman dari masa lalunya pada masa Perang Dunia II di mana banyak warganya yang mengungsi dari negaranya (bbc.com, 2015). Berangkat dari pengalaman masa lalu tersebutlah, Jerman kemudian memutuskkan untuk membuka negaranya untuk para pengungsi.
Analisis menurut teori National Interest menurut Morgenthau mengatakan bahwasannya Jerman berusaha mencitrakan nama baik dari identitas politiknya. Jerman selama masa perang dunia II dikenal sebagai negara fasis yang melakukan banyak pelanggaran HAM, berusaha untuk memperbaiki sejarah kelam tersebut dengan menerima pengungsi sebanyak mungkin. Dan konflik Suriah merupakan kesempatan terbaik Jerman untuk memperbaiki citra dari dirinya akibat trauma masa lalu dan pengalaman masa lalu.